Cerita Pendek

33 Tahun yang Lalu

BERTEMU kembali setelah 33 tahun kemudian dengan Pak Liswandi, guru SMKN 2 Bandar Lampung di sela-sela menjaga stand Bazar Buku Pekan Kebudayaan Daerah Lampung di Dewan Kesenian Lampung, Bandar Lampung, Rabu, 28/9/2022; membuatku terlempar ke masa lalu dalam sebuah peristiwa yang membuatku semakin meyakini masih banyak orang yang baik, tulus, dan penuh cinta-kasih.

Suatu malam di tahun 1989. Saat itu aku siswa kelas tiga SMAN 2 Bandar Lampung. Aku tak ingat persis tanggalnya. Sehabis Magrib malam Jumat, aku gelisah begitu tahu ada PR (pekerjaan rumah) Geografi yang belum aku kerjakan.

Tak tahu juga mengapa aku tiba-tiba menjadi rajin mengerjakan PR. Padahal, sebelum-sebelumnya aku tenang-tenang saja tak mengumpul tugas sekolah.

Nilai? Ais, pasrah saja mau dikasih guru berapa. Hahaa….

Balik lagi, aku belingsatan mencari cara agar bisa menyelesaikan PR-ku itu. Bolak-balik, bolak-balik ke depan, ke samping, ke belakang kamar kosku. Bagaimana ini?

Di depan, aku lihat ada Cikwo yang sedang sibuk mengerjakan skripsinya. Dia dibantu oleh Bang Lis, teman sekampus beda jurusan Cikwo.

Apa Bang Lis ini pacarnya Cikwo ya? Ah, bodok amat… Aku lirik di dekat gerbang, ada motor bebek bawaan Bang Lis.

Setelah mondar-mandir dan berupaya menguat-nguatkan hati biar berani, aku menghampiri Cikwo dan Bang Lis.

Sedikit gerogi, saya bilang, “Bang, saya pinjam motor ya?”

“Buat apa?” tanya Cikwo.

“Eee… saya punya PR. Cuma saya gak punya bukunya. Mau pinjam ke teman. Boleh ya?”

“O iyaa… ya… boleh,” sahut Bang Lis.

Berangkatlah aku ke rumah Joniwan, teman sekelasku di Gulakgalik. Omong-omong sebentar, pinjam bukunya, dan pamit pulang.

***

Tidak sampai di kosan, tahu-tahu aku antara sadar dan tidak, aku terbaring di atas kereta di lorong-lorong Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek.

Ada yang bertanya, “Telepon rumah berapa?”

Aku sebutkan.

Aku masih belum mengerti. Kesadaranku belum pulih. Perlahan aku membuka mata, astaga, tangan kaki, dan punggung kiriku sakit. Luka!

Ternyata, dari Gulakgalik, motor yang aku bawa tidak berbelok ke arah Lungsir. Tapi, lurus di Jalan Wolter Monginsidi menuju Jalan Kartini. Menjelang pertigaan Jalan A. Yani-Monginsidi-Kartini, sebuah pick up menyorotkan lampu ‘ngejim’, eehh… aku malah mengegas dan membanting stir motorku ke kanan. Maksudnya untuk menghindari tabrakan. Tetapi yang terjadi, justru motor menghantam keras bagian depan pick up.

Kata orang “adu kambing”. Eh, nggak ding. Satu kambing, satunya lagi kerbau. Ya, yang kecil jelas ringsek abis. Dan, aku yang bawa motor, untungnya… masih untung, hiks… terlempar di kiri jalan. Pingsan!

Menurut cerita orang-orang saat terlempar itu, aku menggelepar-gelepar seperti ayam yang baru dipotong.

Entahlah, aku tak tahu dan gak ingat apa-apa setelah motorku–maksudnya, motor Bang Lis yang aku pinjam–berciuman dahsyat dengan motor pick up itu.

Ngeri membayangkan itu.

Heboh deh! Kalang-kabutlah Pakbatin, Inabatin, Cikwo, Cikngah, Minan-Mamak, minak-muari, semua penghuni Nusa Indah 14 begitu menerima telepon yang mengabarkanku ke kecelakaan malam itu. Ayah-Ibuku dari kampung datang. Tak perlu aku ceritakan bagaimana reaksi mereka.

Sepuluhan hari lebih di rumah sakit. Luka-luka mengering. Tapi, ternyata tangan kiri patah tiga. Itu terlihat dari hasil rontgen. Dokter menawarkan operasi, tetapi ditolak. Sekeluarnya dari rumah sakit, aku diantar ke sangkal putung di daerah Panjang.

Tapi, tanganku masih bengkok. Lalu, dibawa ke Liwa. Oleh ayah, aku diantar ke Pakngah Zuber di Umbullimau.

“Waduh, ini sudah mulai nempel ini tulangnya. Mesti dipatahkan lagi. Cuma ketahan gak?” kata Pakngah Zuber.

Aku takut! Tapi, apa boleh buat, aku iya kan juga setelah diyakinkan.

Maka, aku didudukkan di sebuah kursi. Tangan kanan Pangah Zuber menarik kuat tangan kiriku, sedangkan tangan kanannya menahan badanku. Di belakang ayah ikut menahan badanku agar tidak tertarik ke depan. Sementara kakiku bertahan di kali sebuah pijakan.

Sakitnya luar biasa. Ya, bagaimana tidak, tulang yang patah hampir rekat kembali dan kini harus dipatahkan lagi agar pertemuan dua tulang yang patah lebih baik. Saking kuatnya tarikan dan rasa sakit yang luar biasa membuat kursi yang aku duduki sampai terlempar.

Alhamdulillah, kini tanganku sembuh walaupun tetap saja tidak sempurna.

***

Kurang ngajar memang aku ini. Gak mikir benar! Selama di rumah sakit, aku kok merasa hepi-hepi saja. Pelayanan di rumah sakit kok ya sangat memuaskan. Dokter, perawat, dan terutama  siswa-siswa Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) kok ya baik-baik.

Aku ge-er juga. Aku anak SMA ketemu anak SPK lo ya. Hahaa… Aku pikir, ada saja alasan cewek-cewek siswa SPK ini untuk mendekati atau berdekatan denganku dan mengajakku bicara.

Bahkan, ketika aku mau diantar foto rontgen, ada siswi SPK yang berkata, “Ikut ya!” sambil tersenyum padaku.

Pamanku ngeledekku, “Kau dulu tak ambil SPK. Sekarang cewek-cewek itu ikut merawatmu. Coba pacari salah satu di antara mereka!”

Aku tertawa. Dan, kini aku lagi tersenyum mengingat beberapa teman kuliah seangkatan denganku berpacaran dan menikah dengan perawat.

Selepas kuliah, oleh kakekku, aku pun sempat dikasih foto seorang bidan. Tapi, tak aku tanggapi dengan sebaik-baiknya. Aii… entahlah!

Saat di rumah sakit pula, aku ditengok seorang perawat senior. Dia kenal baik dengan ibu dan mengobrol lama karena memang sudah lama tidak bertemu.

Di sela-sela itu, ia bercerita bahwa anak gadisnya baru saja pulang dari RSUDAM. Sama denganku karena kecelakaan sewaktu mengendarai sepeda motor.

Aku tahu, gadis itu. Dia pernah sekelas denganku. Mungkin dia tak tahu ihwal ini. Aku kisahkan saja. Hehee…

***  

Merasa berdosa, aku tak tanya-tanya mengenai beaya rumah sakit, dan lain-lain. Aku tahu kemudian jika pemilik mobil yang aku tabrak sangat bertanggung jawab dengan mengantarkanku ke rumah sakir, membeayai sumua beaya rumah sakit, memberikan ganti rugi, dan perbaikan sepeda motor yang ancur. Padahal aku yang menabrak, tidak punya SIM, dan motor minjem juga.

“Kau tak ingat? Saya tak mungkin lupa. Motor saya yang kau tabrakkan dulu. Saya juga yang ikut ke rumah sakit,” ujar Bang Lis saat bertemu dengannya lagi tempo hari.

Aku cengengesan!

Banyak yang menyayangiku, ternyata.

Agaknya, aku orang beruntung yang tak tak tahu diuntung. []

——–
* Gambar cuma pemanis. Gak ada kaitannya dengan cerita. 😛

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top