Bunuh Diri Kepenyairan

Oleh Budi Hatess
DODDI Ahmad Fauji, penyair yang membuka pertandingan sepak bola dengan pembacaan puisi, itu memperkenalkan “kematian penyair” (baca: “Kematian Pakar dan Penyair”, LaBRAK.CO, 7/8/2022) sambil membayangkan orang-orang berduit yang sukacita mengeluarkan uang hanya agar karyanya masuk ke dalam buku antologi puisi para penyair. Aku tak terperanjat, tapi tidak setuju dengan konsep “kematian penyair”, dan menawarkan “bunuh diri kepenyairan” sebagai penggantinya.
Kenapa bunuh diri? Karena para penyair kita yang membayarkan rupiah (dalam jumlah tertentu) adalah orang-orang yang tahu bahwa menjadi penyair itu sangat murah, seharga ongkos kirim sebuah buku, jauh lebih mahal harga secangkir kopi di coffee shop. Untuk menjadi penyair, hanya perlu tidak usaha minum kopi di coffee shop.
Semurah itukah? Tidak. Tapi, semurahan itu. Ya, karena penyair kita — mereka yang suka bikin antologi puisi bersama dan mewajibkan bayar ongkos kirim atau bantingan (saweran) biaya operasional pencetakan buku — menggelar kegiatan sebagai tindak bunuh diri. Apa yang mereka lakukan telah membunuh kepenyairan.
Dulu, penyair di Jawa Barat, misalnya, lahir dari sebuah ruang kecil (beberapa kolom) di Pikiran Rakyat yang diasuh Saini KM. Generasi baru penyair era 80-an lahir dari Ruang Sastra Diha Hadaning di SKM Swadesi. Memasuki dekade 1990-an, generasi penyair lahir dari ruang sastra Kompas, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Mitiara, dll.
Menjadi penyair itu sukar, sulit, dan melelahkan. Kau tak akan mudah membaca puisimu di Suara Pembaruan, misalnya. Di sana ada Poppy Donggo Hutagalung dan AD Donggo yang tekun mencari generasi baru penyair. Mereka telah menghasilkan banyak penyair sejak bekerja di Sinar Harapan, koran sore yang menyediakan ruang untuk kaderisasi sastrawan.
“Kita berdarah-darah untuk jadi penyair,” kata Endang Supriadi ketika kami bertemu di Jakarta, Juli 2022 lalu.
Ya, babak-belur untuk jadi penyair. Kenapa?Yang dipertaruhkan adalah teks sastra. Teks yang asal-asalan akan dibuang redaktur. Aku merasakan itu, dan aku pun melakukan itu. Tidak mudah menulis puisi.
Tapi, sekarang, orang tak perlu menulis puisi untuk disebut penyair. Di Jakarta, orang yang tak pernah menulis puisi tapi mau ke panggung untuk baca puisi, sah dipanggil penyair. []
————-
Budi Hatees, sastrawan
