Disleksia (Belum Ada Titik #2)
Cerpen Ari Sucianto Siregar
Ayah,
aku beda,
kenapa?
ini bukan keinginan,
Aku siap untuk tidak dibesarkan.
(Ari, SMPN 09 Jakarta, kelas 1-III)
ALAMsemesta, bersama isinya, merupakan terjemahandari kitab suci suaraTuhan yang kitayakini.
“Apa yang sedang kalian pikirkan?” aku hanya mengenal bentuk dan warna keindahan, dari berbagai macam perbedaan,yang menurutku tidak ada yang dapat berdiri sendiri untuk bisa dikatakan “Sempurna”.
Jangan pernah memaksakan untuk sama. Sebab, semua yang lahir dan tumbuh pasti berbeda. Wajah, kulit bisa sama, tetapi hati dan kemampuan? Apakah sama?
Biarkan semua yang lahir dan tumbuh berjalan dengan sendirinya mengikuti waktu, mengembangkan bakatnya masing-masing. Untuk menjauhi para pendusta yang merasa telah menjadi Tuhan didalam ketidak tahuannya. Teriak semaunya, bertindak sesukanya, sampai pada akhirnya kedua bola matanya menjalar ke mana-mana seakan-akan mereka sedang melihat terang, padahal di dalam dirinya banyak sekali kegelapan yang mengantarkan mereka pada kebodohan.
Selalu menahan datangnya perubahan, perbedaan, memaksakan diri untuk bertahan pada pemikirannya sendiri.
Aku melihat daun tua yang dulunya hijau, kini terjatuh, bersama angin yang mengajaknya menari, mengikuti irama alam semesta, sebagai penutup perjalanan waktu hidupnya. Sebab, tiada lagi ranting yang sanggup mengikatnya kembali, tetapi Tuhan yang aku tahu, tidak pernah menyia-nyiakan ciptaan-Nya, meskipun telah rapuh menyatu, berbaur dengan tanah. Dan, daun tua itu akan tetap memberi manfaat, sebelum tubuhnya benar-benar mengurai, menjadi asupan sari pati generasi selanjutnya. Tunas-tunas yang terhampar bebas, mulai tumbuh mengikuti kehendak-Nya.
“Sungguh tiada yang sia-sia dari semua ciptaan-Nya”
Mungkin, begitu juga dengan aku, yang masih belajar menulis di atas batu, menghafal susunan huruf demi huruf dalam setiap kata berulang-ulang kali, dan kata yang pertama aku tulis adalah “Ayah”. Bersama maknanya.
Aku mengenal kata “Ayah” dari temanku, saat aku memintanya menuliskan kata “Ayah” pada selembar kertas.
“Tolong tuliskan kata Ayah buatku,” kataku.
“Kenapa kamu menyuruhku menuliskan kata ayah.Bukankah ayahmu kerap sekali membuat luka ditubuhmu?”
Mendengar itu aku terdiam untuk beberapa menit. Kemudian aku berusaha menjelaskan dengan apa yang aku rasakan dan inginkan.
“Aku ingin ayahku tahu, kalau aku sangat mencintainya, meskipun dia kerap sekali menghukumku, karena sampai kelas 2 SD, aku belum bisa membaca dan menulis seperti kalian. Siapa tahu, dengan dia melihat aku menulis kata ayah di depannya, dia akan berbaik hati denganku,” kataku.
“Ayah” Susunan simbol bentuk dari a, y, a, dan h, sebuah simbol bentuk huruf yang pertama kali aku hafal rangkaiannya.
Aku perhatikan, aku resapi maknanya. Itu ayah, aku tulis, aku ingatkan simbol hurufnya berulang-ulang kali sampai akhirnya, aku ingat dengan sendirinya. Jadi saat aku menulis, aku tidak membacanya, aku hanya menyusun simbol-simbol dari sebuah kata yang aku ingat.
Aku tidak bisa mengeja seperti teman-temanku pada umumnya, aku hanya bisa menghafal susunan huruf demi huruf.
Aku menyebutnya sekumpulan simbol-simbol yang tersusun dan memiliki artinya masing-masing.
Aku selalu bertanya kepada temanku “Ini dibacanya apa?” dan setelah aku tahu, aku menulis dan menghafalnya.
Aku sadar, aku beda!
Aku ingat saat guruku tersenyum gembira ketika melihatku dapat menulis sebuah kalimat, di depan kelas.
Ini mobil Budi.
Tapi ketika dia memintaku untuk mengeja kalimat tersebut, aku hanya terdiam, melihat simbol-simbol yang berdiri di depanku.
“Ari, kenapa diam?” katanya sembari jalan mendekatiku.
“Aku ga bisa mengeja, Bu,” kataku, seluruh kelas tertawa.
“Huuuuu payah! Payah! Kelas dua SD belum bisa ngeja!” teriak salah satu teman kelasku yang berbadan gembul.
Aku terdiam, sadar aku bodoh.
“Sudah! Sudah! Jangan ribut!” guruku berusaha menenangkan keadaan, kemudian dia memintaku untuk duduk kembali.
“Ari silakan duduk. Yang lainnya Ibu mohon diam,” pintanya.
Saat aku berjalan, mataku menatap tajam ke arah mereka yang mengejekku, mereka menunduk, menghindari beradu mata denganku, tapi tidak untuk satu temanku yang berbadan gembul,dia justru semakin kuat menatapku.
“Apa! Dasar orang aneh!” katanya sembari mengepalkan tangan ke arahku.
Tanpa ragu aku lari menghampirinya, aku jambak rambutnya, kutarik ke belakang,kemudian dengan cepat aku balikkan arah ke depan sehingga wajahnya beradu keras di atasmeja. Darah segar pun mengalir dari bibir dan hidungnya. Kegaduhan dimulai, beberapa dari mereka lari menarik bajuku, membuat kancing baju seragamku terlepas, amarahku semakin memuncak, aku tendang dan hantam mereka yang berusaha membantunya, di bagian muka, badan serta kemaluan, sebagian dari mereka jatuh terdorong sampai kepala terbentur meja dan tembok kelas.
Guruku panik, dia lari menghampiriku, menarik tanganku, tapi sebisa mungkin aku melepaskannya, aku masih terus berusaha supaya kakiku bisa menendang orang yang baru saja menantangku.
“Ari! Ari! Sudah! Sudah! Sudah!”
Kegaduhan semakin keras membuat semua guru dari kelas yang lain berdatangan. Mereka berusaha melerai keributan yang terjadi.
Aku marah sejadi-jadinya.
“Brengsek kalian semua!” teriakku sampai terdengar ke ruang kepala sekolah.
Kedua tanganku ditahan oleh beberapa guru yang datang, aku tak bisa bergerak sama sekali, kemudian semua guru menarikku, berusaha menjauhkan aku dari mereka. Amarahku tidak bisa berhenti, sampai aku puas melihat mereka semua terkapar dan merasakan sakit.
“Aku memang bodoh! Bodoh! Bodoh!” suara dan nafasku terbata-bata.
Semua terdiam, termasuk guruku yang terus menenangkan aku dengan pelukannya, dan setelah kejadian itu, tak ada lagi yang berani mengejekku. Tapi, setelah kejadian itu mereka melihatku seperti hantu. Inilah yang tidak aku sukai. Aku menangis di tempat sepi.
“Ada apa denganku, Tuhan? Ada apa denganku Tuhan!”
***
Aku adalah penghafal simbol-simbol yang gemar menyendiri, membentuk ulang huruf demi huruf dalam setiap kata, supaya maksud dan suaranya, tak keluar dari makna aslinya.
Pernahkah kalian bertanya tentang rembulan? Kenapa keindahannya tak dapat dinikmati pada siang hari? Bagaimana denganmatahari? Dan pernahkah juga kalian berandai-andai tentang perubahan alam? Seperti kata penyair yang berharap. “Seandainya malam ini turun hujan, mungkin bisa menjadi alasan buatku, untuk dapat berlama-lama lagi denganmu,” kata penyair yang tak berani mengungkapkan isi hati kepada pujaannya.
Aku sadar, Tuhan tidak suka dengan manusia yang berandai-andai, biarkan alam berjalan dengan sendirinya, kita cukup mengikuti dan mempelajari setiap perubahan yang terjadi. Tuhan suka pada mereka yang bermimpi dan belajar meyakinkan mimpinya bahwa suatu saat mimpi itu dapat diwujudkan. Percayalah, duhai para pemimpi yang mencintai kata-kata indah.
Tuhan akan selalu menyiramkan rahmat-Nya di sepanjang jalan hidup makhluk-Nya. Maka terciptalah rembulan di malam-malammu sebagai teman tidurmu, untuk merenung, belajar dan berkeluh kesah kepada-Nya.
Biarkan matahari membakar semangatmu, mengajakmu berlari, menerangi harapanmu. Tuhan tidak akan pernah berpaling pada hamba-Nya yang taat.
“Pasti akan selalu ada jalan!” kuterjemahkan kata-kata indah dalam kesunyian dari suara hujan yang terdengar di telingaku. Seperti suara musik Ludwig van Beethoven,“Fur Elise”.
Semangatku tak boleh terhisap bumi, dalam kesendirian aku terus menghafal kata, dan tanpa sadar, aku sudah banyak merekamnya dikepala, aku sudah bisa menerjemahkan setiap kata,meskipun pelan dan perlahan-lahan.
Aku sangat senang, karena aku bisa tahu isi semua buku yang selama ini akuketahuidari gambarnyasaja, seperti lembaran koran-koran yang biasa dibeli ayahku. Meskipun aku, masih sering salah dalam memahamisetiaphurufnya. Terutama pada kata-kata serapan dari bahasa asing.
Apakah aku beda?
Apakah aku bodoh?
Tapi kita sama, ingin bahagia, menjadi manusia seutuhnya.
Mungkin, bisa juga digambarkan, kalau aku pelangi, kamu hujan, dia laut, mereka bukit, yang disana awan dan itu langit, kita adalah sekumpulan karya Tuhan yang memiliki peranannya yang berbeda. Tuhan ciptakan ini untuk sebuah tujuan.
Untuk apa? Untuk apa yang kalian cari selama ini, yaitu:
“Keseimbangan yang tidak dilebih-lebihkan.”
***
Suara ting tang tung memanggilku. Saat aku melihat wajah ayahku yang tersenyum, memeluk hangat tubuh kakakku, di saat kakakku dapat membaca dan menghafal isi kitab suci dengan sangat baik.
Dalam persembunyian, aku melihatnya, tanpa adanya rasa cemburu sedikit-pun. Ya? Mungkin, karena aku sudah terbiasa dengan keadaan ini. Dibedakan memang menyakitkan, tetapi justru dari situ, aku banyak belajar, bagaimana aku menjadi seorang ayah.
Aku selalu bersama renungan-renunganku di sepanjang hari, mencerna tentang semua kejadian yang aku lihat dan aku alami. Hidup memang seperti itu. Tanpa sadar kita telah dibesarkan oleh pengalaman kita sendiri, seperti anak burung yang belajar terbang, kemudian terjatuh berkali-kali. Apakah anak burung itu mengeluh? Tidak, dia akan terus mencoba,sampai bisa, sang induk hanya dengan sabar mengamati, sampai akhirnya dia membiarkan burung muda ituterbang setinggi-tingginya, membawa tanggung jawab sebagai penjaga generasi berikutnya.
Diriku bersama tumpukan batu, mengamati anak-anak kecil mandi di kali, mereka pecahkan arus air dengan tubuhnya dari ketinggian, byarrrr! Terciptalah butiran-butiran air yang hampir saja mengenai wajahku.
Aku bahagia melihat kejadian itu, dan kini giliranku.
“Minggir semuanya, anak setan mau terjun bebas!” teriakku dari kejauhan.“Minggirrrrr!” Suaraku semakin keras semuanya pun lari berhamburan, dengan bahagia aku ciptakan pecahan air yang lebih besar lagi dari mereka, dan semua bebanku terlepas.
“Om sadar! Om! Baju kami jadi basah semua!” Suara mereka terdengar dari dalam air dan saat aku menampakkan diri ke permukaan,“Wah!” Mereka kaget dan tertawa.
Tak lama kemudian terdengar kembali suara dari ketinggian.
“Awas anak wewe mau terjun bebas!” teriak seorang anak berbadan gempal dari ketinggian dan siap-siap mau terjun bebas membuat semua menjadi panik.
“Awas Om! Itu bukan anak wewe! Itu karung goni!”
Semua lari berhamburan, dan byarrrr! Pecahan airnya jauh lebih besar dari pecahanku.
Semuatertawa, terlepas bersama tenggelamnya anak itu, dan kemudian“Buhhh!” Dia muncul ke permukaan air seperti anak kuda nil.
“Segerrrr!” Dia sapu wajahnya yang basah dengan kedua tangannya.
“Aku mau terjun lagi ah!” teriaknya.
Tapi, dibalas oleh rekan-rekannya.
“Jangan! Jangan! Stop! Stop! Stop!” sembari buru-buru mengemas pakaiannya.
“Besok kalau mau terjun di sana aja! Jangan di sini!” pinta seorang anak kepada temannya yang bertubuh gempal itu.
“Ni lihat bajuku basah semua!” sambutrekannya yang berdiri tidak jauh dariku.
Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka.
“Kita cari makan yuk!” kataku yang langsung disambut oleh mereka.
“Horeeeee! Mantap! Om yang bayarkan!” kata mereka, dan anak yang berbadan gembul pelan-pelan menghampiriku.
“Om, nanti aku boleh nambah ga?” pintanya dengan sedikit tertawa.
Aku menjawab, “Sepuasnya, kamu boleh makan sepuasnya.”
“Om, nanti abis makan kita main PS yuk?”
“Om, ga bisa PS. Hari ini mau beli tiket ke Jakarta. Kalian aja yang main, nanti Om kasih uang untuk main PS.”
“Om! Om! Om yang kemarin manggung di depan mal ya? Rambutnya gondrong sama kayak Om, Tos Band kan!”
“Mirip kali? Dah yuk kita cari makan!”
Kadang kita juga perlu kembali menjadi anak-anak, bukan untuk melarikan diri, tapi untuk belajar menikmati perjalanan hidup ini, sebisa mungkinkita mengikuti suara hati, yang tanpa sadar, sering kali kita lukaikarena kesombongan kita sendiri. Merasa telah menjadi makhluk yang selalu dewasa adalah sebuah penipuan. Dan itu sangat menyakitkan, sebab hidupmu akan selalu terkurung dengan pemikirannya sendiri. “Ingatlah, bahagia itu adalah keseimbangan yang tidak dilebih-lebihkan.”
***
Waktu SMP guruku pernah menanyakan langsung kepadaku di dalam kelas,“Ari, apa cita-citamu?”
Aku jawab,“Ingin jadi penulis Bu!”
Dan semua teman-teman kelasku tertawa, sembari berkata, “Belajar nulis dulu Ri, nanti pembacanya bingung ini bahasa apa?”
Aku tertawa dan mereka ikut tertawa dalam ketidakpahaman mereka terhadap kondisiku.
Aku adalah makhluk sosial, aku butuh seorang teman. Asalkan tidak melampaui batasan, aku masih bisa tetap tersenyum.Pengalamanku waktu di SD, telah mengajarkan ku, bahwa kemarahan kepada mereka hanya membuat hidupku semakin tidak nyaman.“Jangan pernah menuntut pengertian pada orang yang tidak mengerti dengan kondisimu, karena itu akan sangat menyakitkan, hidup ini tidak akan pernah berjalan normal jika kita selalu memikirkan hal-hal yang menyakitkan, hidup ituke depan bukan memikirkan bagaimana kita menghadapi, tapi bagaimana caranya kita melewati.”
Aku tumbuh sama seperti mereka, pernah juga merasakan jatuh cinta juga yang samaseperti mereka.
Aku pernah menuliskan puisi kepada gadis impianku dan memberikan langsung kepadanya. Seingatku,nama panggilannya,“Des” dan aku menulisnya seperti ini:
UNTUK KAMU
Musim semi di Kanada, aku pernah mendengarnya
tentang ladang bunga tulip di Lembah Frase
dipertengahan bulan April, matahari menyapu dingin
dengan sangat lembut, warna-warna keemasan ditebarkan
sama seperti dirimu,
ketikamelintas tepat di depanku
…
Harus diakui dunia
untuk yang pertama kali
keindahan Lembah Frasepada musim semi
dikalahkan oleh kehadiranmu.
…
Namaku, Ari
terima kasih
untuk secuil senyummuitu,
yang sempat terjatuh,di hatiku.
…
Pagi,
Tapi entah kenapa, setelah kiriman puisi itu, dia justru semakin menjauh. Mungkin karena penulis puisi itu adalah nama siswa yang telah masuk dalam daftar siswa bermasalah yang selalu dalam pengawasan guru BP. Sedangkan gadis itu, adalah calon pengurus OSIS. Jelas tidak sama sepertiku, bagian dari sekelompok siswa yang harus selalu melakukan ritual hormat bendera di tengah lapangan setiap hari, selama 15 menit, hukuman ini berlaku selama 1 bulan setelah aku ketahuan bersama teman-temanku merokok di kantin sekolah pada jam belajar.
“Hai kalian anak-anak OSIS, di hari tua nanti, kalian semua akan menyesal, karena belum pernah merasakan berjemur di tengah lapangan dan ditonton banyak orang!” kata temanku yang bernama Andrian.
Karena kesal dengan semua pengurus OSIS yang telah melaporkan kegiatan kami di kantin sekolah pada jam belajar.
Aku dan beberapa temanku mencoba menenangkan kekesalannya, tetapi Andrian tetap menggerutu.
“Gara-gara mereka, kita semua disuruh bawa nasi dari rumah!” kata Andrian sembari melempar gumpalan kertas ke arah anak-anak OSIS yang berjalan di depannya.
“Dah, dah dilihat Guru BP tuh!” kata Boim, teman satu kelasku.
“Nanti kita cegat mereka pas di Haji Salih. Jangan koar-koar di sini, bikin runyam masalah,” sambut Robi.
“Gimana Ri?…” lanjutnya.
“Daftar kasus gua dah banyak. Gua ga ikut!” balasku.
“Kalau loe ga ikut, gua juga ga ah!” ujar Robi dan diikuti semua anak yang dijemur di lapangan sekolah.
Dunia ini memang lucu serta unik. Di kemudian hari Andrian dan Robi, telah menjadi seorang guru di salah satu SMA Negeri. Sedangkan boim, terakhir aku temui di festival musik Bandung yang disponsori dan diselenggarakan oleh perusahaan rokok ternama di Indonesia.
***
Pada acara perpisahan sekolah, tanpa disangka-sangka, Des datang menghampiriku,“Kak Ari, maafkan Des, jika selama ini Des cuekin Kak Ari, dan ini untuk Kak Ari.”
Dia memberiku apel washington yang diberi pita kuning dan terselipkan selembar kertas kecil yang terlipat sangat rapih bertuliskan“Terima kasih untuk puisinya. Jangan nakal, Des sayang sama Kak Ari.”
Hatiku berbunga-bunga. Tapi, cukup di situ saja karena setelah aku SMP, aku melanjutkan SMA ke Jawa Tengah, dan tidak pernah lagi bertemu dengannya, aku lebih suka menghabiskan waktuku bersama teman-temanku. Saat aku kuliah semester tujuh, aku bertemu dengan gadis bernama Asnia Pane yang mengajari aku menulis dan bagaimana membaca puisi. Dan, di kemudian hari menjadi istriku.
“Hidup yang mengasyikkan itu adalah berjalan sesuai dengan masanya.”
***
Tapi saat bersama keluarga, aku tetap merasa seperti orang asing. Ayahku hanya mau bicara dan berdiskusi dengan kakakku saja. Aku harus akui kakakku adalah anak yang pintar yang menguasai dua bahasa, Arab dan Inggris. Tidak seperti aku yang menguasai tiga bahasa, Jawa, Betawi dan sedikit Bahasa Melayu yang dipaksakan.
Kadang aku kasihan melihat ibuku yang hanya sebagai pelengkap yang mengikuti arah pikiran mereka berdua. Dan, ketika aku mencoba untuk ikut mengeluarkan pendapat, ayah dan kakakku mengabaikan keberadaanku, mengalihkan wajahnya seperti menganggapku tidak ada. Ya memang aku anak yang bodoh.
Inilah yang membuatku selalu merasa aneh dalam menyikapi arti sebuah keluarga di dalam keluargaku sendiri. Kenapa? Hanya karena aku tidak sepintar kakakku, aku diperlakukan beda seperti ini?
Kondisi seperti inilah yang membuatku selalu menghabiskan waktu di luar atau menyendiri sendiri di dalam kamar selama berjam-jam lamanya, membaca novel karya pujangga Angkatan 66.
***
Pernah suatu ketika, aku perhatikan wajah ayahku tidak seperti biasanya, cenderung lebih banyak diam dan melamun. Ingin sekali hati menghampirinya. Tapi, “Ah! Sudahlah, sudah ada ibuku,” pikirku. Dan, tak lama kemudian, aku mendengar percakapan mereka berdua di ruang keluarga.
“Sakit hati saya, dengar ucapan Dayat kemarin, Bu,” lirih suara ayahku.
“Jangan diambil hati, biarkan saja,” kata ibuku.
“Kini setelah kita tidak punya apa-apa lagi, semua orang yang dulu dekat dengan kita, tidak ada lagi yang mau menghargai dan menghormati kita seperti dulu, mereka semua bersikap seperti tidak pernah mengenal kita, terutama si Dayat itu, dia benar-benar sudah lupa kalau dulu dia pernah kita bantu sampai akhirnya dia berhasil seperti saat ini, dia itu benar-benar tidak punya perasaan mengatakan itu didepanku.”
“Sabar yah, sabar,” kata ibuku kembali mencoba menenangkan ayahku.
“Saya benar-benar tidak terima dengan ucapannya Bu!”
Lalu, ayahku beranjak pergi menuju kamarnya. Aku yang mendengar percakapan singkat mereka berdua, mencoba mencari tahu ucapan apa yang sebenarnya dikatakan Om Dayat kepada ayahku hingga ayahku begitu kecewa dan sakit hati kepadanya. Aku masih ingat benar saat Om Dayat masih hidup menumpang di rumahku. Semua kebutuhan dan beaya dalam usahanya mencari kerja di Jakarta sepenuhnya dibantu oleh ayahku. Tapi, kini setelah dia berhasil, dia benar-benar telah lupa semuanya.
Entah kenapa tiba-tiba saja hatiku memendam rasa yang begitu kesal kepadanya karena telah membuat ayahku kecewa. Meskipun secara pribadi aku tidak pernah dekat dengan ayahku, pada kenyataannya hatiku memang tidak pernah bisa terima jika ada orang yang menyakiti ayahku. Mungkin karena harapanku terlalu besar kepada ayahku, untuk bisa dicintai dan diperhatikan seperti kakakku.
Setelah seharian penuh aku mencari Om Dayat. Akhirnya pada sore hari aku bertemu dengannya di perempatan jalan yang tidak jauh dari tempat usahanya di daerah Kebon Nanas, Jakarta Timur. Melihat gayanya yang sombong membuat aku semakin muak dan tersulut emosi, ditambah lagi ucapannya yang seakan meremehkan kedatanganku, membuat aku tanpa pikir panjang lagi menendang tepat dibahu kirinya.
“Monyet!” makiku keras.
Dan, dia pun terjatuh. Dia mencoba berdiri tapi terjatuh lagi, terlihat sangat jelas kekagetan di wajahnya saat dia perlahan-lahan mundur menjauh dariku. Mungkin dalam pikirannya dia tidak menyangka jika aku yang terkenal pendiam ini bisa bertindak segila itu.
“Diri!” bentakku.
“He! Saya ini orang tua, yang sopan!” dia mencoba menggertakku.
“Kamu ngomong apa sama ayahku!” bentakku kembali.
“Jangan bentak-bentak! Saya ini orang tua!” dia kembali menggertakku.
“Setan!” aku tendang lurus ke badannya dan dia terjatuh mundur. Kali ini dia benar-benar ketakutan melihatku saat aku mengambil batu.
“Tunggu, ini masalahnya apa?”
Dia mencoba menenangkanku. Tapi, tak lama kemudian dia lari dan berteriak minta tolong ke semua orang.
“Tolong pak! Tolong!”
Belum sempat semua orang tahu, aku dengan cepat meraih kerah bajunya dari belakang dan menariknya dengan kuat ke bawah sampai akhirnya ia terjatuh untuk yang ketiga kalinya.
“Maafkan saya, Ri, jika saya ada salah. Tapi tolonglah jangan perlakukan saya seperti ini. Saya ini pamanmu. Jauh lebih tua dari pada kamu. Tolonglah Ri,” pintanya.
“Ngomong apa sama ayahku? Sampai ayahku sakit hati mendengarnya!”
Aku dekatkan wajahku sambil kukunci kencang lehernya dengan kedua tanganku bersama batu yang siap menghantam kepalanya.
“Saya hanya menyampaikan ke ayahmu, percuma ayahmu berutang selama ini untuk biaya kuliahmu jika akhirnya kamu hanya jadi pengamen di terminal. Saya sampaikan apa adanya ke ayahmu dan ga bermaksud apa-apa. Saya benar-benar minta maaf jika apa yang saya katakan telah menyinggung perasaanmu dan ayahmu. Kamu harus ingat Ri, saya ini masih pamanmu. Jadi tolong jangan perlakukan saya seperti ini. Lepaskan tanganmu Ri, aku mohon lepaskan,” pintanya.
Aku pun terdiam setelah mendengar penjelasannya, aku biarkan dia berlari menjauh dariku. Kini, aku sadar betapa tololnya aku dalam menyikapi perjalanan hidup ini.
“Ayah, maafkan aku.”
Aku menangis dan pergi menjauh dari rumah.
***
Setelah beberapa tahun kemudian, aku beranikan diri untuk kembali ke rumah, mencoba menghampiri ayahku dan membawakannya sepasang baju koko putih bersama sarung tenun merah untuknya, hasil dari kerja kerasku selama pergi dari rumah.
“Ayah, ” kataku.
Ayahku hanya diam. Wajahnya dingin tanpa ada kata sedikit pun di hadapanku. Kemudian aku letakkan baju koko putih itu bersama sarung tenun merah di dekatnya.
“Maafkan aku, Ayah. Terima kasih atas usahamu menyekolahkanaku.”
Aku yang memahami kondisi saat itu, perlahan-lahan berjalan menjauh meninggalkannya. Belum sempat langkah kaki ini keluar pintu, ayah memanggilku dan lalu mendekatiku.
“Kamu mau kemana? Tolong bantu ayah lepaskan logo di baju koko dan sarung tenun merah ini,” katanya.
Senyum kami berdua pun pecah dengan sisa air mata.
“Kenapa waktu itu kamu tidak sekalian lempar si Dayat itu ke kali?”
“Ga sempat yah, dia keburu lari,” sambutku sembari memakaikan baju koko untuknya.
Semenjak kejadian itu hubunganku dan ayahku semakin dekat selama 15 tahun hidup bersamaku. Sampai akhirnya, pada 24 Mei 2022, jam 18:00 ayah menghembuskan nafas terakhirnya setelah istriku membacakan Surat Yasin untuknya.
Aku hantarkan ayahku pulang ke tempat kelahirannya seperti keinginan ayahku yang begitu merindu akan indahnya kampung halaman.
Aku masih ingat, tiga hari sebelum ayahku meninggal, ayah mengacungkan jempol kanannya ke arahku dengan senyum dan suara, Alhamdulillah.
“HIDUP KADANG TIDAK SESUAI YANG KITA INGINKAN. TAPI, ITULAH CARA TUHAN MENGAJARKAN KITA MENJADI MANUSIA.”
Ari Sucianto Siregar
—————-
Ari Suciyanto Siregar, lahir di
Jakarta, 26 Febuari 1979. Pendidikan terakhir di Universitas Gunadarma Fakultas
Ekonomi Jurusan Akuntansi, tidak selesai. Saat ini bekerja di PT. Cikarang
Listrindo, sebagai Coal Checker. Suami
dari Asnia Pane dan ayah dari dua putri, Fathimah Az-Zahra Cahaya Revolusi
Siregar dan Maryam Az-Zahra Cahaya Revolusi Siregar yang juga merupakan sparring partner dan best
friends di rumah.