Panggung

Hanya pada Bulan Syawal ada Sekura di Lambar

Oleh Maspril Aries

BULAN Ramadan telah berlalu, bulan Syawal menjelang. Jika ingin merasakan Lebaran atau Hari Raya Idulfitri dengan nuansa berbeda, datanglah ke Kabupaten Lampung Barat pada 1 Syawal sampai 7 Syawal. Di sana ada atraksi tradisi budaya yang menarik dan membuat hati riang gembira.

Pada bulan Syawal 1443 H ada tradisi budaya yang datang kembali setelah sempat dua tahun ditiadakan karena pandemi Covid-19. Tradisi yang berlangsung bersamaan dengan perayaan Hari Raya Idulfitri tersebut bernama “Sekura”. Ya Sekura. Tapi, ada juga menyebutnya “Sakura” atau masyarakat di sana menyebutnya dengan “Sakukha” dengan dialek khas Lampung.

Sekura beraksi pada bulan Syawal 1443 H di Kabupaten Lampung Barat. (FOTO: Yolda Marizka/ Dok. Zulkarnain Zubairi)

Sastrawan Lampung Udo Z Karzi pada saat Lebaran atau Hari Raya Idulfitri kerap memilih mudik ke Liwa, Ibu Kota Kabupaten Lampung Barat (Lambar). Selain bersilaturahmi dengan handai taulan di kampung halaman, juga menyaksikan tradisi sekura yang sudah dua tahun tidak berlangsung karena pandemi.

“Alhamdulillah pada Idulfitri tahun ini tradisi sekura kembali diadakan. Suasana lebaran di kampung kami kembali meriah dan semarak. Sekura kali ini menjadi penghapus dahaga kami pada tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kami dahulu,” kata sastrawan yang meraih Anugerah Sastra Rancage pada 2017 ini.

Sekura sudah lama ada di kampung-kampung atau desa yang di Lambar disebut “pekon” sejak dulu kala. Menurut antropolog Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Antropologi (1980), sakukha ialah karya masyarakat hasil dari gagasan, kreativitas yang sekarang terjadi adalah akulturasi budaya dari yang awal tujuan dari tradisi sakukha ini adalah untuk penyembahan bagi nenek moyang pada masa hindu di Sekala Brak pada waktu itu menjadi ajang silaturrahmi setelah masuknya Islam di daerah tersebut dengan keluwesan ajaran Islam mampu masuk serta mengubah tujuan utama pesta sakukha itu menjadi ajaran keislaman tanpa menghilangkan khas dari sakukha itu sendiri.

Artinya, pada tradisi Sekura yang berada di Lampung Barat sekarang, meskipun telah terjadi akulturasi budaya, tetap memiliki nilai-nilai dan unsur-unsur yang tetap terjaga juga dilestarikan (kontinuitas) oleh masyarakatnya. Sakukha atau Sekura adalah tradisi pesta topeng Lampung Barat sebuah daerah kabupaten yang dimekarkan dari Kabupaten Lampung Utara.

Sekura” bisa disebut mereka yang berasal dari luar Lampung Barat atau “Sakhuka” yang kerap diucapkan warga lokal adalah bermakna sebagai penutup wajah atau penutup muka atau dalam makna lain sekura kerap disebut sebagai topeng atau tuping.

Topeng kayu Sekura. (FOTO: Yolda Marizka/Dok. Zulkarnain Zubairi)

Sekura juga ada yang menyebut sebagai pesta topeng dari Lampung Barat, pelaksanaannya satu tahun sekali pada bulan Syawal atau saat Idul Fitri tiba. Menurut Udo yang lahir dan besar di Liwa (Ibu Kota Lampung Barat), tradisi Sekura kini juga menjadi atraksi wisata yang banyak menarik perhatian wisatawan lokal dan asing.

“Pelaksanaannya pada bulan Syawal biasanya berlangsung selama sepekan secara bergantian di tiap pekon. Pesta sekura melibat seluruh warga pekon, baik mereka yang tua, muda serta anak-anak,” ujarnya.

Pesta sekura tidak hanya tradisi Pascaramadan, “Sekura juga menjadi ajang silaturahmi, berkumpul dan saling memaafkan. Tradisi sekura juga menjadi hiburan dan tontonan atraksi bagi orang-orang yang datang dari kampung atau daerah lain,” kata sastrawan yang juga wartawan senior di Lampung.

Setelah dua tahun vakum, tidak ada pesta Sekura setiap bulan Syawal, pada bulan Syawal 1443 H atau 2022, tradisi Sekura kembali berlangsung. Sekura kali ini mendapat perhatian Bupati Lampung Barat Parosil Mabsus. “Tradisi Sekura ini kebanggaan masyarakat Lampung Barat sebagai suka cita dan syukur setelah menjalani Ramadan,” ujarnya.

Menurut Parosil, tradisi Sekura yang ada setiap tahun ini merupakan pelestarian budaya warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan. “Pesta Sekura juga jadi ajang silaturahmi warga antar pekon saat merayakan hari raya Idul Fitri.”

Para Sekura beraksi warga pun terhibur gembira. (FOTO: Yolda Marizka/Dok. Zulkarnain Zubairi)

Tahun ini, pesta tradisi Sekura yang disertai acara cakak buah atau panjat pinang yang jadi puncak perayaan pesta Sakura dengan diikuti peserta Sekura secara berkelompok atau sistim beguai jejama (gotong-royong). Pada bulan Syawal 1443 H tradisi Sekura berlangsung di 16 pekon. Pada 1 Syawal Sekura dimulai di Pekon Sebarus Kecamatan Balik Bukit dan Pekon Muara Jaya II Kecamatan Kebun Tebu.

Pada 2 Syawal, Sekura digelar di Pekon Kenali Kecamatan Belalau, Pekon Way Mengaku Kecamatan Balik Bukit, Pekon Sukabumi Kecamatan Batubrak, Pekon Padang Dalom Kecamatan Balikbukit, dan Pekon Muara Jaya II Kecamatan Kebuntebu. Pada tanggal 3 Syawal Sekura berlangsung di Kutabesi Kecamatan Batubrak, Pekon Hujung Kecamatan Belalau, dan Pekon Sukarami Kecamatan Balik Bukit.

Tradisi Sekura masih berlanjut sampai 4 Syawal dilaksanakan di Pekon kegeringan Kecamatan Batubrak dan Pekon Sebarus Kecamatan Balik Bukit.

Pada 5 Syawal Sekura belangsung di Pekon Balak Kecamatan Baturak, Pekon Bakhu Kecamatan Batuketulis dan Pekon Negeriratu Kecamatan Batubrak. Pesta Sekura terakhir berlangsung 6 Syawal di Pekon Canggu Kecamatan Batubrak.

Hampir setiap pelaksanaan pesta Sekura, pekon di Lampung Barat kedatatangan banyak tamu, baik mereka yang berasal dari sekitar Lampung Barat bahkan ada juga yang dari Bandarlampung yang berjarak sekitar 250 km. Pesta Sekura yang meriah kerap juga memicu kemacetan terutama di pekon yang tengah belangsung pesta.

Trisno, warga Kotabumi yang hendak mudik pun terjebak dalam kemacetan saat hendak menuju Liwa. “Macet lumayan panjang karena ada pesta Sekura,” katanya. Pesta Sekura pada bulan Syawal telah menjelma menjadi pentas teater di “panggung teater terbuka.”

Tradisi Sekura sudah sejak lama ada dan hidup di lingkungan masyarakat Lampung Barat. Tradisi ini kemudian dikenal luas seiring dengan lahirnya Kabupaten Lampung Barat yang sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Lampung Utara tahun 1991.

Tradisi Sekura kemudian diadaptasi menjadi sebuah tarian “Tari Sekura” oleh koregrafer para aktivis mahasiswa Universitas Lampung (Unila) yang ditergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila. Tarian sempat ditampilkan pada Festival Tari Mahasiswa se-Sumatera di ASKI Padang Panjang.

Sejak saat itu tradisi Sekura dikenal luas seiring dan banyak liputan media massa seperti koran dan televisi yang mengangkat cerita tentang tradisi Sekura dan Tari Sekura juga tampil pada pembukaan Festival Krakatau pada tahun 1990-an. Di pentas nasional, tari Sekura pernah tampil pada Pesta Kesenian Bali tahun 2003. Sebagai tradisi yang diwariskan turun temurun, Sekura telah tercatat di museum rekor dunia.

Tradisi Sekura kini juga tampil menjadi sebuah tarian. Menurut Ahmad Susantri dalam Tari Sekura Sebagai Media Pelestari Topeng Sekura dari Liwa Lampung Barat (2019), Sekura yang menjadi elemen penting pada Pesta Sekura Cakak Buah mengalami perubahan dari sebuah performance art berbasis kesenian tradisi yang hadir dan dibawakan oleh masyarakat lokal menjadi sebuah performing art yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempelajarinya.

Mengenai asal-usul atau sejarah tradisi Sekura menurut Udo ada beberapa versi. Namun tokoh budaya Lampung Barat itu percaya bahwa tradisi Sekura sudah ada sejak awal masuknya agama Islam di daerah itu. “Tahunnya tidak jelas, tetapi Islam masuk dan menyebar di Lampung Barat sekitar abad ke-13. Jadi diperkirakan tradisi Sekura ini sudah ada sejak abad ke-13,” katanya.

Mengutip Fauzan dalam Makna Simbolik Topeng Sakura pada Masyarakat Adat Lampung (2016), dari aspek kesejarahannya, hingga saat ini belum diketahui secara pasti awal mula pesta topeng sakura ini dimulai, siapa penyelenggaranya, siapa pelaku, siapa pula yang terlibat. Kita hanya dapat menduga, karena tidak ada sumber yang benar benar bisa dipertanggung jawabkan.

Dari beragam penelitian dan kajian ilmiah, tentang sejarah asal-usul tradisi Sekura atau topeng Sekura ada dua versi. Versi pertama menyebutkan, tradisi Sekura sudah ada sejak zaman Hindu. Topeng Sekura adalah penjelmaan orang-orang yang dikutuk dewa karena berbuat tidak terpuji.

Versi kedua, menjelaskan bahwa pesta Sekura bermula pada zaman Islam. Alasannya, pelaksanaan acara ini diadakan untuk memeriahkan dan menyambut hari raya Idul Fitri dan umat yang dirayakan umat Islam.

Menurut I Wayan Mustika dalam Perkembangan Bentuk Pertunjukan Sakura Dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Lampung Barat Tahun 1986-2009 (2011), bahwa tradisi sakura yang sebelumnya digunakan sebagai media untuk pemujaan terhadap penguasa alam semesta dan roh-roh nenek moyang kini telah berubah menjadi media hiburan saja. Sakura yang pada awalnya sebagai sebuah bentuk upacara ritual (pesta panen), berubah menjadi sebuah tontonan biasa untuk menyambut hari raya Idul Fitri.

Mana yang benar dari dua versi tersebut? Biarlah para akademisi atau peneliti meneruskan penelitiannya. Justru kedua versi itu memperkaya story telling tentang Sekura yang bisa disampaikan kepada wisatawan saat mereka datang untuk menyaksikan pesta Sekura pada bulan Syawal.

Seseorang yang menjelma atau menjadi Sekura adalah orang yang memakai topeng menutupi wajahnya, kemudian menggunakan kostum busana yang disesuaikan dengan jenis atau kelompok Sekura, dan tercermin dalam gaya gerak atau tingkah laku pemakai topeng Sekura.

Bentuk Sekura terdiri dari dua jenis atau kelompok. Pertama, Sekura Kecah/Betik dan kedua, Sekura Kamak. Sekura Kecah mencerminkan kostum yang dikenakan, seluruh kelengkapan tata busana dalam keadaan bersih dan bagus. Sekura jenis ini sering memerankan adegan dan karakter manusia dengan kostum yang lengkap dan rapi. “kecah” artinya bersih.

Saat tampil ada beragam jenis Sekura Helau. Ada Sekura Pudak Upi, yaitu seseorang berpakaian dengan mode yang serius dikenakan oleh bayi dan bertingkah seperti bayi. Ada Sekura Kebayan, Sekura ini berpakaian dengan model seorang pengantin perempuan. Kemudian ada Sekura Tuha, yaitu penampilan seseorang yang berpakaian dengan model yang sering dikenakan orang tua, dilengkapi dengan atribut dan bertingkah laku sebagai orang tua/kakek dan sebagainya.

Sekura Kamak berarti sekura kotor. Kostum yang dikenakan Sekura Kamak semuanya serbakotor dan compang-camping dan ada yang berlumpur. Sekura Kamak biasanya menggunakan kaos yang sobek pada beberapa bagiannya, celana hitam dengan seluruh bagian badan ditempeli dan dihiasi dengan sampah, daun daun kering, ranting berdaun, rumput-rumputan. Menggunakan topi atau penutup kepala dari bahan ijuk dan menyembunyikan wajah aslinya.

Para peserta Sekura mengenakan topeng kayu yang menampilkan beragam ekspresi wajah. Menurut Zulkarnain Zubari ada beberapa bentuk topeng atau Sekura yang pernah digunakan, di antaranya, Sekura anak, Sekura tuha, Sekura ksatria, Sekura cacat, Sekura raksasa, dan Sekura Binatang.

Topeng atau penutup wajah tidak hanya terbiat dari topeng kayu ada juga berbentuk bahan polesan dan sesuatu benda yang dirapatkan ke wajah Sekura dengan aneka polesan berupa make-up atau atau bedak dan coretan pada wajah. Ada yang memakai kaca mata, kain, sarung dan aksesoris lainnya.

Sekura adalah tradisi budaya yang menjelma menjadi pentas seni yang menarik dan hanya ada satu tahun sekali dalam skala tahun Hijriah atau hanya ada pada bulan Syawal dalam putaran tahun kamariah.

Sekura juga menjadi ungkapan rasa syukur, suka cita kegembiraan masyarakat dan perenungan terhadap sikap dan tingkah laku. Tradisi Sekura yang berlangsung pada bulan Syawal tidak bertentangan dengan syariat ajaran Islam dan telah terjadi akulturasi budaya masyarakat di Kabupaten Lampung Barat. []

——————
Maspril Aries, Wartawan Utama/ Penggiat Literasi/ Konten Kreator/ Tutor/ Penulis/ Penerbit Buku, tinggal di Palembang

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top