Belum Ada Titik! #1

Cerpen Ari Sucianto Siregar
Senin, 27 Oktober 2003
Jl. Margonda Raya, Ramadan pertama 1424 Hijriah, pukul dua lewat tiga puluh delapan, pagi. Sekumpulan anak remaja belasan tahun menabuh beduk keliling kampung, membangunkan sahur tanpa ragu, dengan semangat,suara-suara kegembiraan mereka lepaskan disepanjang jalan, menyambut indahnya puasa di hari pertama. Bintang-bintangberkedip dengan indah dan masih ada sedikit pecahan cahaya bulan yang mengintip meskipun malam sempat turunkan hujan. Aku terbangun sendiri dalam kostan, semua rekankumemilih untuk pulang, mereka rela menempuh jarak yang jauh denganwaktu yang berjam-jam hanya untuk sampai di rumah, berkumpul bersama keluarga di hari pertama mereka puasa.Tidak seperti aku,yang memilih untuk tetap sendiri.
“Kamu tidak pulang, Nak?” SMS dari Ibuku tercinta, mengetuk hati untuk bertanya, apa arti sebuah rumah jika hanya suara ibu yang ku rasakan. Meski ada rindu, bertahan aku, untuk tidak pulang. Kalimat bohong ku, dalam sepi sunyi ku, tercipta.
“Masih banyak tugas kuliah, Bu, Maaf belum bisa pulang,” hanya bohong itu yang aku sampaikan. “Ibu, aku ingin sendiri bersama sepi, sunyi dan sisa-sisa dinginyang bertahan di hati. Ibu, apa artinya pulang?”kataku kepada ruang, sendiri.
Aku punya cita-cita, punya keinginan, tidak besar, tidak banyak, dan hanya satu. Diakui sebagai anak. Aku memang tidak sepintar dan secerdas kakakku yang dari umur 5 tahun sudah dapat membaca, menulis dan berhitung, sudah dapat menghafal nama-nama menteri kabinet orde baru. Tidak seperti aku, yang hanya hafal satu nama Menteri Penerangan, yaitu Harmoko. Karena hanya nama itu yang selalu ada dalam setiap pergantian kabinet.
Aku cemburu? Tidak! Aku hanya ingin kata yang aku ucapkan didengar, dipercaya, sebagaimana ayahku selalu percaya kepadakakakku, meskipun ungkapannyaitu, bohong!
Aku masih ingat waktu aku SMP, ayahku tiba-tiba saja mencambukku berkali-kali dengan ikat pinggangnya hanya karena dia mendapatkan kabar fitnah, aku bolos sekolah.
“Anak goblok! Tolol! Mau jadi apa kamu! Bukannya sekolah malah bolos mainBilliard!” bentak ayahku yang semakin kuat mencambukku.
Dalam rasa sakit itu, aku mencoba bertahan untuk tidak menangis dan bersuara. Aku terus melihat wajah ibu yang tertunduk menahan pilu, dalam hati aku berkata, “Ibu, aku tidak pernah berbohong, hari ini kami memang pulang lebih cepat dan di tempat billiard itu aku hanya mengantarkan dompet pemilik tempat billiard yang terjatuh, Ibu aku tidak pernah berbohong.”
Semakin kuat cambuk itu, semakin kuatlah tangis ibu, tapi tak bisa melawan. Aku beri senyum kepada ibu.
“Aku kuat Ibu! Ayolah, Ayah! Ganti sabuk itu! Dengan palu! Pukul kepalaku! Cepat!” amarahku dalam hati tak kuat melihat ibu, menangis.
Meski aku berbeda dan dibedakan oleh ayahku, aku tetap sayang. Meski luka akan tetap menjadi luka.Pernah suatu ketika kakakku pulang dari Pondok dengan wajah memar, dia bercerita kepadaku bahwa dia baru saja dikeroyok oleh teman-teman satu kamarnya hanya karena masalah sepele, masalah perempuan, masalah cinta segi tiga, masalah yang cengeng bagiku, tapi aku sebagai adik tidak terima kakakku diperlakukan seperti itu. Pagi harinya setelah salat subuh, aku pergi ke Pondok tempat kakakku belajar di daerah Sawangan, Depok, sampai disana jam 1 siang, tetapi tidak satupun dari pelaku pemukulan itu yang aku temui, rupanya mereka semua sudah tahu tentang kedatanganku. Setelah salat Asar akupun pulang, sesampainya di rumah,kakakku menyampaikan kepadaku bahwa, ketigapelaku meminta maaf atas kejadian kemarin. Mereka takut karena kedatanganku.
Dengan rasa kesal aku mengatakan “Sampaikan ke teman loe, jadi cowok jangan pengecut!”
Mungkin mereka mengira aku adalah kakak dari kakakku atau mungkin mereka takut melihat samurai kecil dalam tas yang aku bawa. “Tolol, itu samurai plastik! Seribu lima ratus,” kataku dalam hati, kemudian tertawa.
***
Keluarga selalu mengatakan kalau aku ini anak yang temperamen dan tidak bisa diajak diskusi, bagaimana bisa aku berdiskusi dengan mereka jika semua dalam pembahasan ituujung-ujungnya harus mengikuti kata mereka. Kini apa yang aku takuti akhirnya terjadi, usaha orang tuaku bangkrut, semua yang dimiliki termasuk rumah dan seisinya harus disita bank.
“Kenapa kalian semua tidak percaya! Om Nyoto itu, penipu!”
Dalam hening aku rebahkan tubuh, melepas lelah seisi kepala, melihat langit-langit, menghitung waktu.
***
Aku mulai menyukai kesepian, menjauhi diri dari keramaian, bicara tentang waktu pada diri sendiri, membaca puisi-puisi Khalil Gibran atau novel-novelPaulo Coelho sebagai referensi teman berbagi.
“Tuhan, aku mencintai dingin dan berharap tetap sepi,” kataku.
Pukul tiga pagi, aku menikmati perjalananku sendiri, dibawah cahaya bulan yang mengintip, kakiku menapak basah jalan-jalan beraspal, kepada jalan berlubang, aku berkaca, ada genangan air dari sisa hujan semalam, seperti apa wajahku?aku mirip siapa? Ternyata aku mirip sekali denganayahku, dan kedua mataku ada wajah Ibu. Aku tersenyum, kemudian berjalan menuju warung Padang langgananku, disana seperti biasa, aku pesan rendang, dan teh tawar hangat.
“Da, dibungkus ya” pesanku
“Siap Mas…” balas Uda penjaga warung yang dengan cekatan menyiapkan pesananku. “Sendiri lagi Mas?” tanya Uda.
“Iya Da…”kataku.
“Biasanya Ramadan pertama Mahasiswa disini pulang, memilih sahur bersama keluarga di rumah, tapi kalau Mas sendiri, kenapasetiap puasa pertama ga pernah pulang?”
“Kalau aku pulang, itu rendang ga ada yang ngabisin,” kataku yang disambut tawa.
“Bukan rendang, tapi nasinya. Cuma Mas aja yang selalu minta ukuran jumbo,”sebungkus nasi ukuran jumbo Uda masukkan ke dalam plastik, “Nih, Mas nasinya,” lanjutnya.
“Tehnya, Da?”
“Oh ya, Saya lupa, Mas,”bergegas dia mengambilnya, “Nih, Saya kasih dua,” candanya.
“Terima kasih,” balasku.
Tak lama dari itu, seorang mahasiswi datang dan memesan sebungkus nasi padang yang sama sepertiku. Tapi, sayang rendang yang dia minta sudah habis. Aku yang berdiri tidak jauh darinya menawari sebungkus nasi milikku,
“Ambil saja punyaku, ini rendang juga kok isinya?” aku menyodorkan kearahnya,
“Are you sure?” tanyanya kepadaku.
Dan aku jawab, “Sure banget Mba!”
Mahasiswi itu tertawa, “Terima kasih,” katanya.
Setelah itu dia membayarnya dan kemudian pergi.
“Mas, itukan nasinya jumbo!” kata Uda, sembari tertawa.
“Bulan puasa, biar dia kenyang!” jawabku yang membalas tawa.
“Itu, perempuan. Bukan tukang gali sumur!” kata Uda sembari menggelengkan kepala.
“Ya udah, Mas mau pesan yang mana nih, tinggal ikan sayur sama ayam goreng?”
“Ikan sayur Da, jangan lupa teh tawarnya,”
***
Menjalani sahur pertama sendiri dari tahun ke tahun adalah sebuah hal yang biasa bagiku, akumenikmatinya, bagiku sendiri itu lebih baik, tidak ada kebisingan, dan canda-tawa yang membosankan.
Setelah Salat Subuh, aku sempatkan diri untuk mengecek HP, apakah ada SMS dari ayahku? Dan ternyatatidak, tidak pernah ada, kecuali dari ibu, “Ibu masak rendang, kapan kamu pulang?” tak pernah ku jawab, karena aku tak biasa memberi harapan.
***
Aku menyambut matahari pagi melepaskan nafasku dan kemudian menghirupnya kembali, menyentuh setiap daun-daun disepanjang jalan, menjatuhkan yang sudah tua dengan jemari, aku merasakan dingin ditanganku, saat sekumpulan embunmeresap halus kedalam kulitku. “Aku merasakan dingin Ibu,” kataku.
Hampir setiap hari aku menghabiskan waktuku dengan berharap pada bumi untuk berhenti berputar, bertahan pada porosnya, agar sunyi sepi selalu ku nikmati.
Dua hari lagi teman-temanku tiba, itu artinya aku harus kembali bersandiwara. Sebab selama ini mereka hanya mengenaliku sebagai Mahasiswa yang ceria.
***
“Woi jadul!” sapa bahagia teman satu kamarku, Hazuardi.
Jadul adalah nama panggilanku di kostan dan kampus, mereka yang memberikan nama panggilanku itu, karena lagu-lagukesukaanku, lagu-lagu tempo dulu.
Aku suka Bob Tutupoli, Iwan Fals, Broery Pesolima, Ebit G Ade, dan lain-lain. Karena menurutku lagu-lagu tempo dulu itu tidak membosankan untuk selalu didengar, selain musiknya yang simpel dan liriknya yang puitis, karakter suara penyanyinya pun dapat menghidupi setiap suasana yang aku jalani, aku selalu merasa tidak sendiri, ada suara-suara merdu mereka yang menemaniku, saat aku sedangsendiri bersama novel-novel lawasku.
“Aku merindukan dingin Ibu,” kataku dalam hati saat semua teman-temanku telahberkumpul.
“Dul, besok kita ajak Silvi sama Irna bukber yuk!” pinta temanku, Hazuardi.
“Malas ah! Mending kumpul dikostan, lagi pula mana mereka mau? Mereka itukan aktifitasnya cuman dua, kalau ga kuliah yang pulang ke rumah. Ini bukan ide yang bagus brother,” kataku
“Terus, ide loe apa Dul?”
“Makan di warteg, murah!”
“Ah! Parah loe! Serius nih!” sembari melempar jaket ke arahku. Kemudian, “Dul kemarin gua dapat info dari Zal Amir. Kalau disepanjang jalan Margonda Raya, ga jauh dari kampus, ada tempat makan baru yang enak, menunya ada kentang yang dalamnya diisi daging, keju, susu sama mayones terus masaknya dengan cara dipanggang dalam open. Kata Zal Amir rasanya enak banget! Besok kita ke sana yuk?”
“Keuangan gua menipis Zu!” balasku, sembari menggantung jaket yang di lemparHazuardi.
“Tenang si, gua yang bayar! Kan selama ini kalau kemana-mana gua yang selalu bayarin loe,”
“Zu, mending kita bukber di Prasmanan Bu RT,”
“Itu bukan bukber, Dul!”
“Sorry Zu, hari ini gua mau dengerin lagu Broery Pesolima. Wiiiiduriiiii engkau bagaikan rembulan ohhhhh sayang” nyanyianku, membuatnya kesal.
“Ah payah loe! Dasar jadul!” sembari mengoceh, dan keluar dari kamar.
***
Entah sampai kapan aku menipu diri, menutup semua kenyataan dengan terus berpura-pura ceria dan tertawa. Ini bukan diriku yang sesungguhnya, tapi jika aku tidak seperti ini, aku tak akan memiliki seorang teman.Waktu aku kecil, aku seperti makhluk asing. Ibu mengubahku, menjadikan aku bisa bergaul seperti saat ini. Aku menipu diri, untuk bisa diakui.
***
Di pertengahan puasa semua teman-temanku berkumpul, sebab akan ada bukber besar yang didanai oleh tiga orang teman kostanku, Hazuardi, Tonny dan Amar.
“Bos penyandang dana besar!” kata temanku Mono.
Semua ceria, semua tertawa bebas dan aku tinggal mengikutinya, karena memang itu bukan duniaku, makan-makan, on the road ditengah-tengah kota, nongkrong dibilangan Kuningan dan mendengarkan musik terbaru disepanjang jalan. Sejujurnya aku tidak pernah menikmati masa-masa itu. Tapi aku tetap bersyukur karena aku memiliki teman-teman terbaik sepanjang masa seperti mereka.
“Dul kecilin musiknya, sebentar lagi buka,” pinta Hazuardi yang saat itu masih sibuk menyetir mobilnya, mencari tempat yang pas untuk berbuka.
“Disini tempat makannya enak, tapi untuk parkir mobilnya sudah penuh, woi kalian ada yang punya ide ga? Kita bukber dimana?” kata Zal Amir.
“Zu ke sana aja, tempat makannya enak,” kata Tonny, diikuti semua teman-teamanku.
“Iya Zu disana aja, tempat buat parkir mobilnya juga luas,”
“Deal ya kita meluncur,” sahut Hazuardi.
***
Semua menikmati perjalanan, akuberpura-pura menikmati, aku seperti aktor yang sedang bermain karakter mengikuti jalannya cerita, tawa-tawa itu bukan aku. Kenapa?Aku selalu berharap disetiap sceneyang aku perankan cepat berhenti. Aku ingin rebahkan isi hatiku, menikmati duniaku yang tersembunyi.
Dalam suka-cita mereka, aku terus memikirkan isi handphoneku,Adakah SMSdari Ayahku,bertuliskan “Ari kapan kamu pulang?” aku terus memainkan handphoneku membolak-balikkan dengan tangan kananku dan tidak pernah berhenti berharap datangnya SMS dariseorang ayah yang tak pernah terwujud.
***
Alhamdulillah acara bukbernya selesai, sebagian dari temanku ada yang tertidur di bangku belakang mobil dan sebagiannya ada yang tetap fokus menjawab SMS darisang pacar, sedang aku dan Hazuardi masih serius pada arah jalan pulang,
“Sudah jam berapa, Dul?”
“Jam dua belas malam Zu, sudah terlalu lama kita melintasi kota, membuang energi untuk tertawa,”
“Gimana kabar Band Loe sama Kuncoro?”
“Bubar! Sebelum berkembang!”
***
Lampu-lampu penerang pinggir jalan seperti memberikan gambaran kehidupan buatku, warnanya yang kuning terang membawaku pada kisah-kisahlama dalam sekumpulan novel-novel yang pernah aku baca. Aku besarkan volume radio, mencari lagu-lagu lama kesukaan ayahku.
“Dul, kenapa si Loe suka lagu-lagu lama?” tanya Mono yang sempat terbangun.
“Gua suka syairnya yang puitis, apa adanya, suara musiknya juga simpel, tapi tetap mengena pada setiap suasana,”
“Benar juga Ya,Dul, Gua sampai sekarang ga pernah bosan mendengarkan lagu-lagu lama,” kata Hazuardi yang masih terus mengatur laju mobilnya. “Dul, tolong volumenya dibesarkan lagi,” pintanya, dan sama sekali tidak mengganggu mereka yang tertidur. Mungkin mereka terlalu lelah atau terbawa suasanamalam.
“Baik, Zu,” katakusembari terus memandangi indahnya lampu-lampu penerang jalan.
***
Puasa Ramadan tinggal 5 hari lagi, semua teman-temanku sudahpulang ke kampung halamannya, di kostan yang tersisa hanya aku, dan beberapa senior yang memang biasa pulang dua hari sebelum hari raya, karena kebanyakan dari mereka semua sudah bekerja.
Aku biasa menghabiskan waktusendiri dalam kamar,hanya keluar pada saat sahur, salat, dan berbuka puasa, selebihnya aku kembalisendiri bersama lagu-lagu lama dan separuhisi novel Paulo Coelhoyang belum sempat terbaca, Alchemist.Menjalani hidup seperti ini,kadang membuatku merasakosong, tidak pernah merasakan waktu, tiba-tiba saja semua sudah berubah.
Sore hari, tanggal 20 November 2003, aku mencoba melepaskan diri dari kebiasaanku sendiri di dalam kamar, berjalan menuju keramaian disepanjang Jalan Margonda Raya,sekedar melihat aktifitas warga menghabiskan waktu sebelum berbuka puasa.Anak-anak kecilmemainkan petasan, seorang ibu datang menegurnya,
“Hei! Jangan main petasan di pinggir jalan, bahaya!” anak-anak itu berlarian, dan aku tertawa melihat tingkah nakal mereka,
“Dasar anak nakal! Awas ya kalau main petasan lagi disini, Gua bejek sampai habis!” amarah ibu itu semakin menjadi tatkala salah satu anak meledakkan petasannya kembali tepat dibawah kakinya. Aku terus berjalan sembari menikmati waktuku,
“Jika waktu bisa kembali, aku ingin ke masa-masa mereka. Main petasan,”
Di depan Gramedia Depok aku sempat berhenti, ingin sekali hati membeli novel terbaru, tapi apa daya uang di saku tak lagi cukup.
Aku menyeberang jalan menuju stasiun Pocin (Pondok Cina). Sesampainya disana,
“Hai!” seorang perempuan menegurku,aku terdiam mencoba mengingatnya.
“Kamu yang waktu itu kasih Aku rendang, kan?” perempuan itu mengingatkan aku pada pertemuanpertama di warung Padang.
“Iya,” balasku, sembarimengingatnya. “Kenapa dunia selalu terlihat baru?” kataku dalam hati, “Perempuan ini siapa ya?” lanjutku.
“Mau kemana?” tanya perempuan itu.
“Stasiun,” jawabku.
“Mau pulang kemana, ke Bogor atau ke Kota?” tanyanya kembali.
“Mau main aja,”
“Main kemana?”
“Stasiun,”
“Main di Stasiun?” Perempuan itu tertawa, “Ups, Sorry! Stasiun itu bukan tempatnya bermain.”
“Cuma mau duduk aja,” balasku.
“Cuma mau duduk aja?”
“Iya,”
“Dari pada Loe bengong sendiri di Stasiun, lebih baik Loe ikut Gua ke danau UI disana ada acara buka puasa bareng anak-anak jalanan, mau?”
“Boleh,” kataku.
“Tapi, Loe harus bantu bawain tuh buku!” Perempuan itu mengarahkan jari telunjuknya ke arah dua kardus buku yang diletakkan di pinggir jalan.
“Dua kardus buku!” kataku.
“Masa Loe tega sih, puasa-puasa begini biarin perempuan bawa dua kotak kardus, berjalan dari sini sampai danau UI?”
“Teman-teman Kamu mana?” tanyaku kembali
“Ada, tapi semua teman-temanku berkhianat, mereka lebih memilih membawa takjil dan nasi kotak,”
“Bawa satu-satu ya?” pintaku
“Loh kok gitu?”
“Emansipasi, kesetaraan, biar perempuan ga dikatakan lemah, Aku bawa yang ini,”aku pilih kardus yang paling ringan.
“Tapi kenapa Loe bawa yang itu!”kata Perempuan itu.
“Perempuan bukan makhluk yang lemah, kan?”tanyaku.
“Ya!”balas kesal perempuan. Sembari perlihatkan wajah kesalnya,iamembawa satu dus buku yang bobotnya lebih berat dari yang aku bawa.
Sesampainya ditempat yang kami tuju, tiba-tiba ayahku meneleponku,
“Ari kamu pulang ya, ditunggu dirumah!”kata yang singkat, tapi membuatku bahagia.
“Saya harus pulang, maaf ga bisa ikut bukber,” aku pamit pada perempuan itu,
“Hai, bawa ini untuk buka puasa di jalan!”kata perempuan itu.
“Terima kasih, aku harus buru-buru pulang!”balasku sembari berlari.
Dalam perjalanan pulang, aku membayangkan indahnya berbuka puasa bersama keluarga, dalam satu meja, menikmati setiap menu yang dimasak ibu, tanpa ada yang dibedakan. Semua sama dalam porsinya.
“Ari, ini rendang kesukaanmu, mana mangkoknya? Biarayah ambilkan,” suara ayahku dalamkhayalan.
Tepat sebelum azan magrib aku telahsampai di depan rumah, aku berjalan pelan menuju teras, melihat banyaknya tetangga yang berkumpul, membuat hati tak nyaman, dan aku bertanya,
“Ada apa? Kenapa ramai?” kataku lirih, semua orang melihatku.
“Yang sabar ya,” seorang tetangga terbaik mengusap-usap punggungku, membuat hati semakin tak nyaman, dan tak lama kemudian ayah menghampiriku dengan wajah seperti biasa. Tak bersahabat.
“Kamu kemana aja, ibumu kangen sama kamu, dia terus memikirkanmu,” suara dan sikap ayah membuatku tak bisa menahan amarah, tatapanku tajam ke arah wajahnya.
“F**k!” kataku yang mungkin telah di dengar semua orang. Baraku memang tak mungkindidinginkan.
Aku seperti sudah mengerti apa yang sebenarnya terjadi, aku berjalan pelan menuju ke kamar ibu, melihat tubuhnya yang sudah tidak bisa digerakkandengan sempurna, ibu lumpuh dalam kerinduan kepada anaknya yang datang bersama bara api yang menjadi neraka di hatinya.
“Sini Nak, peluk Ibu,” suara ibu pelan tertatih,bibirnya kaku mengucap kata, ada air mata, ada mata air mata di pipinya. Dengan rasa sayang hanya kepada ibuku, aku rebahkan kepalaku menjadikan semakin dekat dengannya,
“Maafkan Aku Ibu, maafkanAku,” dan aku bertahan untuk tidak meneteskan air mata, aku jaga amarah, aku tak ingin ibu semakin terluka terbawa suasana.
Ayah menghampiriku, mataku tertunduk dengan kepalan tangan yang kutunda. Aku hanya bisa berkata,
“Terima kasih Ayah, kau sudah mau meneleponku,” kataku. []
