Cerita Pendek

Pecahkan Air dalam Genangan

Cerpen Ari Sucianto Siregar

“Sebenarnya untuk apa Tuhan ciptakan cinta? Jawabnya, semua tergantung bagaimana dirimu mengimani-Nya…”

Namaku Ari, aku menulis tentang kisah lamaku ini dengan tidak ada maksud apa pun, selain hanya sekadar berbagi cerita tentang bagaimana cinta itu didefinisikan oleh manusia dari pengalamannya yang berbeda-beda.

***

Semarang, 12 Januari 1997

Kak Mell, masih ingatkah dengan garis cahaya yang menembus kaca jendela rumahmu dan jatuhnya buah bukan pada musimnya? Saat itu kau berkata bahwa akan selalu ada takdir Tuhan pada setiap benda-benda yang bergerak,maupun yang terdiam, dan semua tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi pada masa depan. Hanya sebatas mengira, tetapi tak mampu melawan jalannya waktu yang kadang membawa kita pada suatu ruang yang tidak pernah kita harapakan. Tapi, semua harus kita hadapi kerena kita hanya sebatas manusiayang diuji atas kepemilikan akal dan hati.

“Pernahkah kamu berpikir? Kenapa kita mampu menginjak bumi?” katamu saat di ujung jariku terluka, tertusuk serpihan kayu seperti duri.

“Karena ada gravitasi” jawabku sambil menghisap darah kecil di ujung luka jariku.

“Kenapa ada gravitasi?” tanyamu kembali yang membuat aku berhenti sejenak menghisap darah kecil di ujung luka jariku.

“Karena semua benda bermassa besar termasuk bumi memiliki gravitasi,” jawabku sembari menunggumu yang baru saja masuk ke dalam rumah untuk mengambil obat luka dan beberapa perlengkapan perban.

“Mana lukamu?” kau kembali datang menghampiriku.

“Ini!” kataku sembari menunjukan lukadijariku.

“Kenapa gravitasi di beberapa planet berbeda?” katamu kembali, yang mempersiapkan perban untuk luka kecilku.

“Kenapa kita membahas ini?”

“Karena, sebelum jarimu terluka. Kamu mempertanyakan tentang takdir Tuhan?” jawabmu.

Dan, aku terdiam.

Aku terdiam karena aku terlalu kecewa, puisi-puisi hasil karyaku ditolak oleh semua penerbit yang aku temui, bahkan di antara mereka ada yang mengatakan bahwa tulisanku hanya selevel dengan harga gorengan. Inilah yang membuatku berhenti menulis dan berpikir kalau hidup itu tergantung faktor keberuntungan karena kadang tingkat perjuangan seseorang tidak sesuai dengan hasil yang dia dapakan. Tapi, setelah aku mendengar penjelasan darimu terkait masalah takdir, menjadikan aku kembali percaya, bahwa akan selalu ada tangan Tuhan pada setiap sesuatu yang kita lakukan.

“Kamu hanya butuh waktu untuk bersabar dalam mencari tahu apa yang sebenarnya kamu cari selama ini, selain puisi-puisi cintamu dan kehadiranku,” katamu.

“Kenapa kau mengatakan itu?” tanyaku yang membuatmu berhenti pada awal balutan luka kecil di ujung jariku.

“Karena kamu terlihat kesepian, meski selalu ada aku di sampingmu,” katamu, dan kemudian kau lanjutkan kembali membalut luka kecil di ujung jariku.

“Jujur aku takut dan kecewa pada setiap keinginan yang tidak pernah bisa terwujud,” jawabku sembari memperhatikan caramu membalut luka kecil di ujung jariku.

“Jangan emosi saat menghadapi kenyataan sepahit apa pun. Jalani saja. Jika tak sanggup jangan dipaksakan. Mungkin yang terbaik buatmu nanti bukan seperti apa yang kamu pikirkan saat ini,” balasmu yang merapikan balutan luka kecil di ujung jariku.

Kemudian dengan kesabaranmu, kau berikan aku sebuah gambaran, dari sebuah pertanyaan yang aku anggap konyol, “Apa yang membuatmu jatuh cinta kepadaku?” katamu.

“Kecantikanmu,” jawabku dengan sedikit senyum meledek, karena dalam pikirku buat apa pertanyaan itu kau ajukan untukku, karena sudah jelas kau adalah wanita yang cantik dan disukai banyak orang.

“Cantik seperti apa yang kamu inginkan, dan adakah yang lebih cantik lagi dariku? Sesuai dengan apa yang ada dalam setiap tulisan-tulisanmu?”

Pertanyaanmu, membuatku kembali terdiam untuk kedua kalinya, tertunduk dan tidak bisa berkata-kata lagi. Tajamnya sorotan di kedua bola matamu, memenjarakan semua pikiranku, untuk menjawab semuapertanyaanmu.

Setelah lama menunggu, tak ada lagi jawaban dariku, kau kembali berkata, “Aku tidak pernah tahu kenapa aku bisa jatuh cinta kepadamu, mengingat jarak umurku yang terlampau jauh lebih tua darimu, dan aku juga tidak pernah tahu kenapa aku temukan damai pada saatmembalut lukadi ujung jarimu. Dari mana rasa ituada, bisakah kau menjawabnya?”

Kau secara berlahan-lahan mulai mengikat perban kecil di ujung luka jariku, saat aku mencoba pindahkan bangku dari ruang tamu ke teras depan rumahmu.

“Selesai!” katamu setelah lukaku terbalut rapih.

“Terima kasih,” kataku.

Kepikiran ga? Jarimu akan terluka karena bangku itu!” tanyamu.

Ga!” balasku.

“Itulah takdir! Seperti datangnya cinta yang tidak bisa diprediksi,” timpalmu.

Aku terdiam, kembali sadar tentang takdir Tuhan.

***

Kini setelah 23 tahun kita berpisah dan tidak pernah lagi bertemu, aku mencoba mengingat dan menulis kembali tentang pertemuan dan jalannya perpisahan yang kita alami. Mungkin tulisanku tak sempurna dalam bahasa, kata, dan juga ingatanku. Tapi, setidaknya ada suatu cerita dalam sebuah buku, sebelum aku menemukan apa yang sebenarnya aku cari selama ini. Dan benar katamu, aku hanya butuh waktu untuk bersabar dalam semua pencarian ini.

Kita berdua memang memang tidak pernah menyangka jika saat itu aku yang masih duduk di bangku SMA kelas dua bisa menjalin hubungan cinta dengan seorang mahasiswa semester empat, selama tiga tahun lamanya.

Masih sedikit teringat jalannya waktu sebelum kita berdua berpisah karena adanya perbedaan dalam kenyakinan yang kita miliki. Saat itu kau mencoba menarikku untuk duduk bersama dalam satu bangku di sebuah stasiun, tempat dimana kau memintaku untuk tidak bicara sama sekali tentang semua yang kita pikirkan dan kita rasakan. Entah apa yang ada dalam pikiranmu, aku hanya dapat mengikuti semua keinginan yang kau pinta untuk tetap diam tanpa kata sebagai tanda dariku yang menerima segala bentuk rasa yang kau berikan, meskipun keadaan saat itu sangat membingungkan bagiku. Mungkin karena aku baru belajar untuk yang pertama kalinya bagaimana cinta itu di jalankan sehingga sangat sulit bagiku untuk membaca semua pikiran, perasaan dan emosi dalam hati, pada saat itu.

***

“Kenapa perbedaan ini memisahkan kita, bukankah Tuhan ciptakan perbedaan untuk melengkapi datangnya cinta?” kataku sebelum keputusanmu untuk mengakhiri semuanya.

“Tapi bukan bagi dua keyakinan yang berbeda?” balasmu.

“Kau lupa! Kau yang mengatakan bahwa pelangi tak akan indah jika tak ada penyatuan dari warna-warna yang berbeda. Tapi, kenapa saat ini kau ragu akan perbedaan itu?” tanyaku.

“Logika perbedaan pelangi itu tidak sama dengan apa yang kita alami saat ini. Pelangi itu sebuah perumpamaan dari sebuah komunitas masyarakat yang berbeda. Tapi yang kita alami saat ini adalah perbedaan dalam sudut pandang yang lain. Ini tentang penyatuan rasa antara kamu dan aku yang berbeda keyakinan. Dalam hidupku aku selalu berharap suatu saat nanti aku akan beribadah ke gereja bersama dengan pasanganku tanpa ada batasan perbedaan keyakinan. Bukankah apa yang aku pikirkan sama dengan apa yang kamu inginkan?” katamu.

“Iya,” jawabku, yang menyadari.

“Itu artinya, kita harus akhiri ini semuanya, meski jika melihat dari sudut pandang cinta, itu sangat berat bagi kita, tapi bagiku cinta yang sesungguhnya adalah cinta terhadap pencipta cinta itu sendiri,” balasmu.

“Tapi, tidak sedikit diluar sana yang sanggup menyatukan rasa cinta meskipun mereka berbeda dalam keyakinan dan mereka temukan bahagia pada keputusan mereka” kataku.

“Itu mereka! Bukan aku!” timpalmu.

“Kini aku bingung, cinta itu apa?” tanyaku

“Cinta adalah yang selama tiga tahun ini kita jalani bersama.Apakah perlu ditanyakankembali rasa itu?” tanyamu balik.

“Bisakah kita bertahan meski berbedadalam keyakinan?” tanyaku.

“Mungkin untuk yang lain, bisa. Tapi, tidak bagiku yang menjalani hidup tidak hanya sebatas cinta tapi juga mimpi. Mimpi untuk beribadah bersama pasangan hidup dalam satu kenyakinan yang sama,” jawabmu.

“Baiklah, aku sepakat untuk kita akhiri rasa cinta ini, besok aku akan kembali ke Jakarta, salam buat Bude Yustin (ibumu)sampaikan kepadanya, aku suka sayur gudeknya. Rasanyasamasepertibuatanibuku” kataku sebelum aku pamit pergi meninggalkanmu.

“Itu sayur gudek buatanku!” jawabmu membuatku terkejut karena setahuku selama ini kau tak pandai memasak.

“Kenapa? Kagetya? Aku bisa masak sayur gudek, seenak itu?” katamu.

“Iya!” jawabku yang masih tidak menyangka kau bisa memasak sayur gudek seenak itu.

“Aku belajar masak sayur gudek setelah aku membaca suratmu yang aku terima dua bulan yang lalu. Dalam surat itu kamu menulis tentang enaknya sayur gudek buatan ibumu. Dan, aku belajar cara membuatnya. Puji Tuhan kamu menyukainya,” katamu.

“Hari ini aku benar-benar menikmati masakanmu. Terima kasih untuk rasanya,” kataku.

“Aku bahagia kamu menikmatinya,” jawabmu.

Lalu aku pamit pergi meninggalkanmu dengan sedikit kupasan senyum yang aku tinggalkan untukmu. Tapi, belum sempat aku melangkah, kau memanggilku dan lalu kau berjalan mendekat kearahku.

“Besok aku antarkan kamu ke stasiun. Tapi, aku mohon kepadamu untuk yang terakhir kalinya. Jangan ada kata di sepanjang jalan saat aku mengantarkanmu ke Stasiun. Aku izinkan kamu bicara setelah kereta yang kamu tunggu, tiba,” bisikmu di telingaku.

“Baiklah! Jangan ada kata sampai kereta yang aku tunggu tiba!” jawabku dan kau tersenyum.

“Salam buat buat paman dan tantemu” katamu.

“Ada lagi?” tanyaku.

“Terima kasih,” katamu.

“Terima kasih untuk apa?” tanyaku.

“Sudah sana! Hati-hati di jalan. Jangan lupa besok datang kembali, aku ingin menemanimu ke stasiun” balasmu.

Dan aku hanya menjawab dengan anggukan kepala, lalu berjalan meninggalkanmu.

***

Keesokan harinya aku menunggumu di teras depan rumahmu sesuai janji. Tapi sudah hampir satu jam lamanya aku menunggu, kau belum juga datang menemuiku, sampai akhirnya Bude Yustin, Ibumu, dan Pakde Yul, ayahmu, datang menghampiriku, menyampaikan pesan darimu bahwa kau membatalkan niatmu untuk mengantarkan aku ke Stasiun.

“Sebenarnya Bude sama Pakde, sudah sejak lama tahu hubungan kalian berdua. Tapi mengingat umur Nak Ari yang terlalu muda, membuat Pakde sama Bude menyarankan untukkkkk…” Belum selesai kedua orang tuamu menjelaskan maksudnya, aku langsung mencium tangannya dan lalu berpamitan kepada mereka berdua.

“Saya paham Bude. Saya ucapkan terima kasih untuk Pakde dan Bude yang sudah baik sama saya selama ini, saya mohon pamit. Ini sudah hampir jam dua, kereta yang menuju Jakarta sebentar lagi tiba. Salam buat Kak Mell, saya akan baik-baik saja dengan semua keputusan ini,” kataku.

“Terima kasih ya Nak Ari, hati-hati di jalan dan jangan lupa sampaikan salam kami untuk ibu sama bapak setelah sampai di Jakarta nanti,” kata ibumu.

“Iya Bude” jawabku.

***

Sepanjang perjalanan menuju stasiun, di bawah hamparan bayangan gedung-gedung tua peninggalan Belanda, aku kenang semua kenangan indah bersamamu, termasukkenangan masa kecil kita dulu. Saat kau sering kali menggandeng tanganku, mengantarkan aku ke Sekolah Taman Kanak-kanak Krisna Jakarta Timuryang letaknya tidak begitu jauh dari Sekolah Dasar tempatmu belajar. Aku tersenyum, tersipu sendiri di sepanjang jalan saat mengenang masa-masa itu.

“Nanti, kalau ada yang nakal sama kamu, bilang sama Kak Mell ya. Biar nanti Kak Mell jitak kepala anak itu” katamu sambil mencubit kedua pipiku.

“Anak TK di sini, sekarang baik-baik semua kok Kak, tidak ada yang nakal lagi” jawabku.

“Ya sudah, jam sembilan tunggu Kak Mell di kantin SD, Kak Mell kemarin pesanpenghapus pensil untukmu, bentuknya mobil balap. Kamu pasti suka!” katamu.

“Iya Kak,” jawabku.

“Setelah itu jangan langsung pulang. Tunggu sampai Bule Nah datang jemput kamu. Hari ini Kak Mell ga bisa pulang bereng sama kamu karena ada tambahan les matematika di sekolah,” pesanmu.

Kenangan itu masih membekas di sepanjang jalan menuju Stasiun, apakah itu suatu hal yang aneh? Tidak, ini bagian dari suatu yang sudah diatur oleh-Nya. Aku tersenyum memandang langit dan lalu berhenti seketika ketikatiba-tiba saja aku melihat dirimu sudah berdiri tepat di hadapanku, persis di depan sebuah kedai kopi yang menyimpan banyak kenangan di antara kita berdua.

“Kak Mell?” sapaku kepadamu yang tak lepas memandang ke arahku.

“Maafkan aku, lima belas menit setelah kamu pergi, aku meminta ayahku untuk mengantarkan aku ke stasiun dengan mobilnya, dalam perasaanku yang kalut dan serbasalah ini, aku melihatmu berjalan sendiri di sisi jalan, lalu aku meminta kepada ayahku untuk segera menurunkan aku persis di depan kedai kopi ini, karena aku yakin, kamu pasti akan melewati kedai kopi ini, tempat dimana kita sering menghabiskan waktu dengan cerita-cerita konyolmu yang menghibur. Ari, maafkan aku yang telah membingungkan jalan pikiranmu dengan sikap-sikapku yang tak pernah pasti dalam mengambil sebuah keputusan. Jika kau ingin marah, marahlah padaku saat ini sebelum habis semua waktu yang akan kita akhiri bersama,” katamu.

Ngomong opo?” jawabku yang membuat kau tertawa dan lalu berjalan mendekatiku.

“Boleh aku menggandeng tanganmu. Tiba-tiba saja aku teringat waktu kita kecil dulu,” katamu.

Aku balas dengan anggukan kepala bersama senyum kecilku yang memandangmu.

“Masih ingatkah, penghapus pensil berbentuk mobil balap pemberianmu?” tanyaku saat kau mulai menggandeng tanganku berjalan menuju stasiun.

“Ke mana benda antik itu sekarang?” tanyamu.

“Aku buang! Karena aku sedih, Kak Mell pindah rumah ke Semarang” jawabku.

“Iya, toh? Sesedih itukah kamu saat aku pindah ke Semarang?” tawamu meledek.

“Pastinya setelah Kak Mell pindah, aku tak lagi punya teman, semua teman-teman di TK menjauh dariku. Ternyata mereka semua baik sama aku karena takut sama Kak Mell,” kataku yang membuatmu kembali tertawa.

“Kenapa tertawa?” tanyaku.

“Entah kenapa saat mendengar ceritamu, aku jadi merasa seperti ibunya Nobita!” katamu yang membuat kita tertawa bersama di sepanjang jalan.

“Kapan ya pertama kali kita saling jatuh cinta?” tanyaku.

“Ga tahu! Semua mengalir begitu saja!” jawabmu.

“Aku ga pernah menyangka jika akhirnya aku bisa menemukanmu kembali” kataku.

“Masa sih? Dari TK kamu nyariin aku!” balasmu.

“Iya! Aku serius! Waktu itu aku tidak menyangka kita bisa bertemu kembali setelah 12 tahunberpisah. Saat pernikahan saudara sepupumu di Temanggung tiga tahun yang lalu, aku bisa menebak kalau yang jadi pagar ayu saat itu adalah dirimu” kataku.

“Kok bisa sih? Aku aja lupa dengan wajahmu, bahkan saat itu aku mengira kamu itu tamu udangan biasa, aku baru tahu jika laki-laki yang berdiri di depanku adalah dirimu,itu pun setelah ibumu cerita. Jujur sih saat itu aku sempet kesengsem waktu kamu mengambil dan kemudian memasangkan bros kebayaku yang terjatuh, kamu itu? Ya, gitu deh! Pastinya, entah kenapa aku selalu saja merasa nyaman saat dekat denganmu” katamu.

***

Aku terus memandangi senyummu yang lepas bebas diantara rimbunan pepohonan dan bangunan-bangunan tuadi sepanjang jalan Cendrawasih, saat itu kau benar-benar telah lupa dengan kata-katamu sendiri bahwa tidak boleh ada kata sebelum kereta yang aku tunggu tiba, kau terus menggandeng tanganku mengupas semua cerita-cerita masa lalu kita sampai akhirnya kau tersadar bahwa ternyata kita berdua telah berada tepat di depan Stasiun kereta yang di tuju.

“Stasiun kereta” katamu yang tiba-tiba saja berhenti dan lalu secara perlahan-lahan melepaskan gandengan tanganmu.

“Jam setengah tiga, itu artinya setengah jam lagi keretaku tiba” kataku lirih disampingmu.

***

Dalam kesunyian hati yang tiba-tiba saja datang, dan dalam diammu yang seketika itu ku rasakan, pada kedua bola mata kita yang saling memandang dengan sedikit anggukan kepala bersama, secara perlahan-lahan itu pula,tangan kananmu kembali menggandeng tangan kiriku, dan lalu menuntunkuberjalan pelan menuju ruang stasiun.

Resah menatap segala arah, mengisi yang sudah mulai berbeda, tidak ada lagi tawamu dan tidak ada lagi kata-kata konyol yang terucap dariku, semua telah menjadi sepi dalam hati, mencoba tetap tersenyum memandang langit bersama, pecahkan air dalam genangan, yang terinjakbersama.Hatikalut, basah kaki tak terasa.

Masih pada diam yang tak berbeda, mencoba mencuri sedikit isyarat dalam lirikan mata, lalu suara hati yang tersembunyi dalam sunyi, berkata “Tidak semua cinta itu menyenangkan, tapi tidak semua hal yang menyenangkan itu adalah yang terbaik untuk cinta itu sendiri.”

    Kamu tetap bertahan dengan diammu, dan aku sendiri mencoba menulis puisi dalam ketidaktahuan tentang maknacinta yang aku rasakan pada saat itu, meski kita berdua telah duduk di bangku yang sama.

DALAM DINGIN

Sepasang kekasih duduk dalam satu bangku, tapi diam
Sama-sama menunggu, tapi beda

Saling tersenyum memandang langit, tapi tak terarah
Bersama mencoba menahan kata, dalam gundah.

“Inikah cinta?”
“Aku takut merindukanmu!”

Sepasang kekasih masih duduk dalam satu bangku, mulai gelisah
Mencuri sedikit isyarat dalam lirikan yang sama
Setelah teringat janji, kembali menghela nafas

“Aku belum siap melepasmu. Kereta sudah tiba!”

Jarum jam stasiun tak berhenti berputar
Dengar nada yang sama mata dipejamkan
Tanda-tanda suara hati, warna langit mulai berubah
Angin mulai bermain memutari wajah
Ada sedikit keraguan akan kata

“Kita berdua dihantui cinta!”

Lonceng gereja tak jauh dari stasiun berbunyi
Perempuan cantik bersimpuh khusuk membaca doa dengan rosario di tangannya.
Laki-lakinya menemani dengan tasbih dalam heningnya
Satu harapan mereka, tetap terjaga
dalam maknanya cinta yang bukan berarti penyatuan
dalam maknanya cinta yang bukan berarti kesamaan
dalam maknanya cinta yang bukan berarti pemaksaan
dalam maknanya cinta yang bukan berarti selalu ada
cinta hanya sekadar rasa dari penerang kebaikan
cinta hanya sekadar rasa dari petunjuk kebimbangan
cinta hanya sekadar rasa dari jalan keseimbangan
cinta hanya sekadar rasa  dari Pemilik Kehidupan
cinta hanya sekadar rasa dari makna penciptaan Alam Semesta

“Sebuah keyakinan tidak bisa dikalahkan!”

Selepas asar kereta yang dinantinya pun tiba
Matahari mulai menampakkan garis-garis sinarnya
Masuk kesela-sela ruang membentuk bayangan
Cahaya kecil bersembunyi dibalik air mata

“Inilah yang terbaik”

Laki-laki itu pun pergi, meninggalkan kekasihnya…

Dalam puisi itu aku membayangkan wajahmu yang tertunduk dan tidak pernahlagi mengarahkan pandanganmusedikitpun ke arahku. Sampai akhirnya aku pergi meninggalkanmu bersama kereta yang tidak pernah diharapkan kedatanganya.

“Ari, aku suka gaya rambutmu yang panjang ikal terurai,” katamu dalam kenanganku.

Kak Mell, terima kasih, karena telah mengajarkan aku bagaimana menjalankan cinta dan memaknai pada setiap luka yang ada. []

————
Ari Sucianto Siregar,
lahir di Jakarta, 26 Februari 1979. Pernah mengenyam pendidikan di TK Krisna Cililitan Jakarta Timur, SD Negeri 01 Pagi Ciracas Jakarta Timur, SMP Negeri 9 Jakarta, MAN 2 Jakarta, SMA MIPHA Parakan Temanggung Jawa Tengah, Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, tidak selesai. STT Duta Bangsa Jurusan Teknik Informatika, tidak selesai. Aktif menulis sejak duduk dibangku SMA.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top