Jangan Panggil Aku Dadah
Oleh Udo Z Karzi
AKU sedang melangkah di Jalan Amir Hamzah menuju pulang ke tempat kos di Jalan Nusa Indah Nomor 14 Pakiskawat, Bandar Lampung ketika Densy Martusa memanggilku, “Zul…”
Aku menghentikan langkahku dan berbalik menoleh ke belakang.
“Ya?” sahutku.
Densy bersama seorang cewek mempercepat langkah mensejajariku.
Penuh tanda tanya, aku menunggu apa yang bakal terjadi. Terus terang, aku jarang… sangat jarang mendekati atau didekati cewek.
Aku grogi. Cuma ditegar-tegarkan saja biar tak kelihatan gugup. Densy teman sekelas di kelas satu dulu. Sekarang kami sudah naik kelas tiga SMAN 2 Bandar Lampung. Temannya, saya tahu kami seletingan. Cuma beda kelas dan tidak pernah sekelas denganku.
Begitu berada di sampingku, Densy berkata, “Ini teman minta dikenalin…”
Si gadis menyodorkan tangannya yang saya sambut dengan tanganku–aku tak tahu–mungkin gemetaran. Hati berdebar dan tak karu-karuan ketika saling menggenggam tangan walau sebentar.
“Gua Dahlia. Panggil Lia ya. Jangan Dah. Apalagi Dadah,” ujarnya.
Lucu juga. Aku tertawa. Densy dan Lia ikut tertawa.
Ketegangan yang terjadi denganku sedikit melonggar. Sambil berjalan, bertiga kami berbincang-bincang sampai di sebuah sebuah pertigaan.
Aku menunjuk ke gang yang lurus, “Saya lewat sini ya. Kalian?”
“Kami ke mau ke sana,” ujar Densy dengan tatapan ke arah lain mengikuti terusan Jalan Amir Hamzah.
“Ikut kami,” ajak Lia, entah serius entah basa-basi.
“Nggak. Saya mau langsung pulang,” jawabku.
Aku bergegas ke kosan. Lapar dan dahaga di bawah terik matahari membuatku mempercepat langkah agar segera tiba.
Setiap hari aku berjalan kaki pulang dan pergi ke sekolah. Serbatanggung untuk naik angkot dari kosan Jalan Nusa Indah ke SMA di Gotongroyong. Telanjur berjalan kaki sekitar 500 meter dari kosan sampai ke simpang Gereja HKBP, aku ogah naik angkot merah di Jalan P Diponegoro karena sebentar saja angkotnya berbelok di Jalan MH Thamrin, lalu tak lama berhenti di mulut Jalan Amir Hamzah, dan aku harus berjalan lagi menuju sekolah. Jadi, aku memilih berjalan kaki mencari jalan dan gang untuk mempersingkat jarak tempuh, walau sebenarnya relatif sama saja. Tapi, yang jelas jalannya tidak terlalu ramai karena tidak dilalui kendaraan umum.
Pulang sekolah, terpaksa jalan kaki lagi ke Pakiskawat. Naik angkot rasanya malas sekali karena harus berputar ke Tanjungkarang terlebih dahulu, melewati Terminal Pasarbawah, belum lagi ketemu macet, baru menuju simpang Pakistan (Pakiskawat Tanjakan, hehee…) untuk kemudian berjalan kaki lagi ke Nusa Indah 14.
Begitulah rutinitas hidupku sepanjang tiga tahun SMA.
***
Keesokan harinya, saat jam istirahat, astaga… dadaku dagdigdug, berdebar, tak karu-karuan. Ada Dahlia masuk kelasku. Mencarikukah? Ah, ge-er sangat dah aku.
Tapi, tidak ia menemui teman cewek di kelasku. Lalu, mereka ngobrol berhaha hihii… Eit, tetapi ia beberapa kali melihat ke arah tempatku duduk.
Aku pura-pura sibuk. Tak urung beberapa kali pandangan kami bersirobok ketemu. Tapi, aku tak beranjak mendekati, menyapa, dan mengajaknya bicara.
Hari itu lewat begitu saja.
Hari-hari berikut Lia beberapa kali datang ke kelasku. Sengaja ingin bersua dengankukah? Hatiku berbunga-bunga. Tapi, tetap saja aku tak punya keberanian untuk mendekatinya. Entahlah, apa benar Lia ingin bertemu denganku atau hanya kebetulan saja ia ada keperluan dengan teman sekelasku yang lain. Yang jelas, beberapa minggu kemudian aku tak paham kenapa ia tak lagi nongol di kelasku.
Beberapa kali berpapasan jalan di sekolahku yang luas, kami hanya berhai-hai saja. Tak lebih!
Selepas SMA, aku tak bertemu Lia. Kalau Densy, sejak ia memperkenalkan Lia denganku, rasanya kok tak lagi pernah bersua. Padahal ada tersirat harapan bisa bertemu lagi dengan Densy.
***
Hari-hari pun berlalu. Sebuah kabar mengejutkan sampai ke telingaku karena menjadi perbincangan di kosan. Seorang gadis yang aku kenal, meninggal akibat kanker otak. Katanya, orang Liwa juga, dari Sebarus. Rumah dukanya di Jalan HOS Cokroaminoto, Rawalaut. Artinya, masih di Pakiskawat juga.
Astaghfirullah. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Ternyata, Densy Martusa yang berpulang ke Rahmatullah memenuhi panggilan Ilahi.
Haa? Aku kira Densy Martusa orang Sulawesi atau daerah mana begitu. Alang kupernya aku yang selama ini tidak tahu kalau Densy sekampung denganku di Pakiskawat dan di Liwa hingga ia pergi menuju keabadian.
Aku tepekur sendiri! []
Kemiling, 29 April 2022