Esai

Menulis Kolom, Apresiasi Karya, Honorarium…

SEBUAH quote di WAG yang saya ikuti, saya kutipkan kembali di sini: “Menulis bukanlah mencari uang, menjadi terkenal, menjadi mapan atau memperoleh banyak teman. Pada akhirnya menulis adalah untuk memperkaya hidup orang-orang yang akan membaca karyamu dan memperkaya hidupmu sendiri pula,” kata Stephen King.

Saya timpali quote itu, “Tentu. Itu karena Stephen King sudah terkenal, banyak penggemar, dan banyak uang. Lah, saya….”

Secara substansial benarlah yang dikatakan Stephen King di atas. Memang tujuan orang menulis tentu beragam. Termasuk, yang paling mulia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, berbagi cerita dan ilmu pengetahuan, dan untuk kepuasan batin. Namun, nyatanya doeloe pun saya keranjingan menulis karena tahu bahwa tulisan yang dimuat di koran atau majalah ada honornya.

Nyatanya pula akhir-akhir ini ada gonjang-ganjing tentang honor tulisan di media massa. “Jangan kirim tulisan ke media (besar) yang tidak menghargai penulis!” Kata lain, jangan kirim tulisan kalau tidak ada honornya.

Saya setuju! Sebab, pada dasarnya saya termasuk ‘matre‘ dalam kaitannya dengan pekerjaan yang menguras pikiran dan air mata eh… perasaan ini. Sewaktu menjadi redaktur opini dan budaya Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Universitas Lampung, saya sok-sokan memberi wejangan kepada penulis dalam judul “Bagaimana agar Cerpen Anda Dimuat” (Teknokra, Februari 1992) begini: “Menulis fiksi tampaknya mudah, tetapi di baliknya lebih banyak sulitnya. Itulah sebabnya, para penulis tampak kurus kering seperti cacingan (tidak semua, red) dan rambut cepat ubanan karena perasaan dan pikirannya sudah terkuras habis-habisan oleh perkara menyusun naskah agar pembaca menjadi ‘senang’. Bukan itu saja, pengarang lewat tulisannya harus pandai membuat pembaca menjadi sedih, gemas, dan geram, bahkan cemas. Dan pengarang harus jeli merampok hati pembaca.”

Lebay, saya kala itu ya. Hehee… Sebab, dalam realitasnya banyak juga pengarang yang tidak kurus, malah subur-subur makmur badannya. Jauh dari kesan kurang gizi atau gibur (gizi buruk).

Tapi, bukan itu letak masalahnya. Esensinya adalah penulis atau pengarang mesti mendapat apresiasi yang sepantasnya dari media yang mempublikasikan karyanya. Apresiasi itu tentu bukan seperti di Facebook dengan kasih jempol yang banyak dan bilang “Keren!”, “Mantap”, “Luar biasa” saja, melainkan dalam bentuk yang konkret bernama honorarium atau royalti.

Iya dong!

Apalagi, saya sudah berketetapan, bertekad, dan tentu nekat untuk bisa hidup dan menghidupi keluarga dari menulis. Sudah saya rasa-rasa, sudah saya pikir-pikir, sudah saya timbang-timbang, … saya bisanya cuma menulis. Dan, memang benar rezeki saya dari menulis. Lainnya, mungkin ada. Tapi, agak susah…

Meskipun demikian, tentu saja saya tak melulu menulis demi uang. Kadang saya perlu juga berkorespondensi, berinteraksi, dan bersilaturrahmi melalui tulisan. Bisa juga untuk mendukung gerakan antikorupsi, kegiatan amal, dan menggelorakan literasi. Itu penulisnya tidak dibayar. Meski begitu, saya suka-suka saja. Di sini senang di sana senang gitu.

Maka, saya sudah hepi bukan kepalang ketika sebuah pesan masuk: “Assalamualaikum, Udo. Saya dari Koran… Kalau berkenan, ada opini Udo, kami siapkan kolom opini Udo.”

Asyik! Ada redaktur yang pesan tulisan kepada saya. Ini sebuah kehormatan. Sudah lama juga saya tidak memesan — apa lagi diminta — tulisan. Dulu, di koran tempat saya bekerja, honor tulisan berkisar Rp150.000–Rp500.000. Itu bukan tulisan pesanan. Nah, kalau tulisan yang diminta untuk kolom pakar misalnya, atau untuk even atau edisi khusus, honornya bisa mencapai Rp1 juta–Rp2,5 juta.

Tapi, sekali lagi itu, itu doeloe. Sekarang, media, baik cetak maupun daring, yang menyediakan halaman publik (opini) dan sastra semakin minim. Beberapa media yang masih memuat opini dan sastra pun dikabarkan tidak lagi berhonor.

Dalam kondisi seperti ini, tentulah saya senang hati menerima permintaan untuk menulis di media. Seperti saya meminta tulisan seseorang untuk dimuat di halaman koran yang saya gawangi, mestilah ada sedikit uang lelahnya.

Eitt…, nanti dulu. Saya masih belum begitu jelas dengan “Kami siapkan kolom opini Udo”. Pertama, menyiapkan kolom. Maksudnya, ada ruang khusus buat saya menulis di koran tersebut? Kedua, kolom opini. Saya diminta menulis tulisan bentuk kolom (column) atau artikel biasa yang dimuat halaman Opini koran seperti pada umumnya?

Keduanya sama berupa opini. Namun, dari segi penggarapan berbeda. Artikel pada umumnya diartikan sebagai jenis tulisan yang berisi pendapat, gagasan, pikiran, hingga kritik terhadap suatu persoalan yang sedang berkembang di masyarakat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), artikel merupakan suatu karya tulis yang ditulis secara lengkap. Tujuan secara umum menulis artikel ialah untuk memengaruhi, mendidik, memberitahu, meyakinkan, serta menghibur pembacanya.

Menulis kolom tak sekadar itu. Kolom, seperti yang saya tulis dalam buku Menulis Asyik (2014), biasanya bercorak komis, komedis, anekdotis atau humoris, bahkan sarkastis atau bisa satiris sehingga jenis tulisan ini lebih otonom.

Lalu, Alif Danya Munsyi–nama lain dari Remy Sylado–dalam buku Jadi Pengarang? Siapa Takut (2012) menulis: “Pada penghujung bahasan tentang esai, kita masukkan ‘kolom’ sebagai bentuk istimewa dari esai… membaca kolom yang ditulis Goenawan Mohamad di majalah Tempo. Goenawan sangat piawai menggabungkan keindahan bahasa puisi di dalam prosanya…”

Menulis kolom sebagai salah satu bentuk karya jurnalistik tentu tidak sembarang orang bisa. Tidak semua orang bisa disebut kolumnis. Itu hanya dilekatkan pada beberapa penulis/jurnalis yang sudah pada tingkat “advance“.

Entah benar kolom atau bukan, setidaknya saya sudah menghimpun kolom-kolom saya dalam tiga buku: Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012), Ke Negarabatin, Mamak Kenut Kembali (2016), dan Ngupi Pai: Sesobek Kecil Ulun Lampung (2019).

Jadi, saya mesti menulis yang bagaimana? Dan, pertanyaan yang paling penting–berhubung saya tadi bilang memang hidup dan menghidupi diri dari menulis—adalah ada honornya tidak? Bukankah juga saya yang diminta menulis. Tulisan pesanan harganya spesial juga geh. L

“Soal honor, nanti kami rapatkan dulu, Do,” kata yang menghubungi tadi.

Agui! Baiklah, kalau begitu. Saya tunggu kabar baiknya. Sementara ini, saya nulis-nulis saja dulu di Facebook. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top