Sajak-sajak Ardhi Ridwansyah
SEPASANG MATA MENANAM JANJI
Jantung berdebar mengingatmu,
Pada secangkir kopi hangat yang sendu,
Menyemai senyum ketika waktu seolah terhenti,
Dan melangkah pelan dibanding kita,
Yang terlentang di hamparan rumput hijau,
Menunjuk langit berawan kelabu.
Pun belalang tua menatap iri,
Kita yang berlari saling bergurau tentang hari,
Saat sepasang mata menanam janji,
Tak akan luntur meski cinta telah mati.
Jakarta, 2022
SEBELUM MAWAR MEKAR
Membunuh kata-kata yang tersimpan,
Dalam hati usang berantakan selepas,
Kasih kini tersisih, pecah jadi serpihan,
Rasa yang membasi.
Tewas ucapan mesra,
Terkubur dalam sanubari yang sempit,
Menutup pintu bagi cinta minim asa,
Hanya sekadar datang lalu pulang,
Ketika mawar belumlah mekar.
Jakarta, 2022
RABU KELABU
Rabu kelabu menewaskan rindu,
Mata ibu kini selamanya mengatup sendu,
Sebab amarah yang rekah dalam dada ayah,
Menuntun tangannya membekap hidung,
Yang kerap mencium pipiku,
Dan bibir
yang acapkali memuji aku,
Ketika tumbuh dari merangkak hingga berjalan tegak,
Menantang waktu.
Bercinta tanpa cinta,
Tak disangka
ayah merobek keheningan,
Dengan darah ibu yang tubuhnya terbujur kaku.
Terakhir kali kulihat, matanya terpaku,
Pada dinding rumah yang tergores,
Kisah lama tentang rasa dan asa,
Serta janji sehidup semati.
Tetapi kain sarung menjadi saksi,
Saat ayah meninggalkan ibu terkapar sendiri,
Membawa napasnya bersama dendam,
Yang terpendam di sanubari..
Sedang aku hanya menyusun,
Perkataan ayah ihwal cinta dan benci berjalan
seirama,
Menuntun langkah menuju surga atau neraka,
Dan kupandang,
Jahanam ada di jemari ayah,
Yang kini meringkuk dalam jeruji besi,
Mengingat ibu yang telah mati,
Di tangannya sendiri.
Jakarta, 2022
MELEPAS RINDU
Menabur doa di makam sepi,
Ia merajut kasih,
Yang perlahan tersisih.
Sebab mata yang sembab,
Berkata jujur dengan air mata,
Yang memancur basahi pusara,
Dengan nisan berdiri kukuh,
Jadi saksi bisu; kembang kemboja,
Berjatuhan, terkapar, menjamah.
Mewangi air mawar bersama jasadi
Yang mesra dengan para cacing,
Menikmati setiap kenang,
Di bawah pohon rindang.
Dan sendu dalam dada meranggas,
Jadi kata rindu,
Yang belum terbalas.
Jakarta, 2022
PUISI MALAM HARI
Hinggap di rambutmu sebagai lalat,
Yang kau usir dengan sentuhan kasar,
Dari tangan yang gersang kasih,
Menyepak tubuh ringkih,
Sejauh
mungkin dan tak kembali,
Sebab sibuk hati menyusun lagi,
“Wajah lamur tak dikenali, ‘
Menjelma puisi malam hari.
Jakarta, 2022
MEMBUNUH RESAH
Masih tandus ragamu dari cinta,
Berkumpul noda-noda derita,
Yang sukar luntur,
Menebar hampa dan bimbang terlintas,
Melinjak dada yang sesak asa.
Lesu matamu memandangku
Yang sedang liar dengan gairah menggebu,
Menyapa setiap jengkal tubuhmu,
Dengan badan penuh peluh.
Dan ingin kubunuh segenap resah,
Dengan jilatan dari lidah yang bergoyang lincah,
Menyeretmu dalam dunia antara surga dan neraka,
Mendengar keluh menjadi desah menuai kisah.
Berharap runtuh jenuh dalam dadamu,
Bangkit dari tidur
Mengecup bibirku tanpa malu.
Jakarta, 2022
PELANGI DAN KEBUN MAWAR
Sekadar menyapa pagi,
Lalu menikamnya dengan elegi,
Angka-angka yang berbeda,
Terserak di kalender tua,
Tahun kelabu telah mati,
Berguguran dan kini,
Rekah kembali tahun yang lain,
Menuai harap dalam dada,
Tentang pelangi dan kebun mawar.
Jakarta, 2022
—————–
Ardhi
Ridwansyah kelahiran Jakarta, 4 Juli 1998. Puisinya “Memoar dari Takisung” dimuat dalam antologi Banjarbaru’s
Rainy Day Literary Festival 2019. Puisinya juga dimuat di media seperti kawaca.com, catatanpringadi.com, apajake.id, mbludus.com, kamianakpantai.com,
literasikalbar, ruangtelisik, sudutkantin.com, cakradunia.co, marewai,
metafor.id, scientia.id, LPM Pendapa,, Majalah Kuntum, Majalah Elipsis, Radar
Cirebon, Radar Malang, Minggu Pagi, Bhirawa, Dinamika News, Harian SIB,
Harian BMR FOX, Harian Fajar, koran Pos
Bali, Riau Pos, Suara Merdeka, Radar Madiun., dan Radar Banyuwangi. Instagram: @ardhigidaw.