Human

Mengasah Diri di Kampus Oranye

Oleh Milana Lastri Mandala

TANGGAL 17 Agustus 1998 hari pertama kami para mahasiswa baru berkumpul dan bertemu di lapangan besar samping Gedung Serba Guna (GSG) Universitas Lampung. Upacara bendera 17 Agustus  pertama di kampus tercinta. Universitas Lampung. Berkumpul seluruh mahasiswa baru yang berjumlah sekitar 6.000 waktu itu.

Baju putih Rok hitam. Plus jaket almamater kebanggaan. Jangan lupa name tag. Kalau itu benda tidak terpasang rapi di muka sisi samping dasi hitam, waduh… bisa dicaci-maki dan dibentak-bentak si Bapak Ketua Pelaksana Propti yang satu itu. Pak Arif, kalau tidak salah ingat namanya. Dosen Pertanian. Galaknya luar biasa. Rambut hitam Kumis tebal. Mata bulat tajam. Jangan harap melihat senyum manisnya. Justru kalau ia sudah menyeringai itu tanda ada kesalahan tengil yang membuatnya kesal. Siap-siap rambut tumbuh halus di atas telinga ditarik ke arah lain. Pedihnya nauzubillah…

Rambut harus diikat rapi bagi yang perempuan atau dicukur rapi apa polisi bagi yang laki-laki.

Berdiri, berjalan, bahkan duduk pun kami diatur sedemikian rupa. Dari pukul 07.00 WIB sampai dengan 17.00 WIB aktivitas Propti selama enam hari full di dalam Gedung GSG. Mulai dari materi umum, pengenalan perangkat kampus sampai dengan aktivitas intrakampus, semua diperkenalkan.

Selesai enam hari, penderitaan belum selesai, kawan. Para mahasiswa baru mulai diperkenalkan fakultas masing-masing. Maka tiga hari berikutnya ada “penggodokan” mahasiswa baru di lingkungan fakultas.

FISIP. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung. Dari namanya saja tergambar bahwa fakultas ini sangat ramah sosial juga sangat bernuansa Politik. Ditambah lagi tahun 1998 adalah tahun ketika Reformasi baru saja berkobar dan bergolak.

Senior-senior yang saya temukan di kampus terlihat berpenampilan terbalik. Utamanya, untuk senior dua dan tiga tingkat di atas kami, yaitu angkatan 96 dan 95.

Yang perempuan kebanyakan berambut pendek. Yang laki-laki kebanyakan berambut panjang’’’.

Uda Iman, Bang Edi, Bang Arif Kurniawan, Bang Rudi “Troy”, Bang Erwin, dan masih banyak Bang lagi. Mereka begitu bangganya punya rambut panjang. Diikat karet gelang.

Aku mau cerita sedikit nih, khusus Bang Troy. Sebenernya namanya Rudi Sugih Arto. Waktu dia ngajak kenalan gayanya anak FISIP banget.

“Dek kenalan dong. Nama kamu siapa?”

“Mila, Bang. Nama abang siapa?”

Dia mengulurkan tangan sambil balik tanya, “Mau nama kampung apa nama kampus?”

Bang Troy nyengir. Untung orangnya ganteng. Kulit putih. Mata sedikit sipit. Berkaca mata. Rambut hitam lebat melebihi pundaknya. Duh, ini definisinya ganteng apa cantik ya? Hahaha…

Pake punya dua nama lagi. Kan aku jadi ikutan jahil. Akhirnya mulai timbul rasa rileks ngobrol sama beliau.

“Nama kampungnya siapa, nama kampusnya siapa bang? Kenapa jadi ada dua. Dan beda nama. Harus ya punya dua nama?”.

“Oiya, dong. Biar keren gitu loh hahaha…”

Lucu banget sih ni senior.

“Nama kampung gue Rudi Sugih Arto. Namu kampus gue Troy. Keren kan?”

Aku jadi tertawa geli. Duh ni orang ada-ada aja.

“Rudi kan bagus lho Bang. Kenapa jadi senengnya dipanggil Troy sih?”

“Hadeuh Mila. Rudi itu kampungan banget. Malu-maluin lho. Troy baru ok….”

“Troy itu nama apaan?”

“Yaaa… nantilah kapan-kapan kalau kita ngobrol lagi gue ceritain ya.”

Yeee… bilang aja pingin berlanjut ngobrolnya buat besok-besok. Modus banget. Tapi ga apa-apa juga sih. Aku juga suka ngobrol sama kamu. Kataku dalam hati, hehehe…

“Nih lu kan udah jadi mahasiswa FISIP. Denger dong kalau kemarin ada gerakan mahasiswa yang kami-kami lakukan untuk menumbangkan kekuasaan rezim otoriter model Soeharto. Nah, menurut lu bentuk otoritas yang gue maksud tadi yang gimana tuh. Lu tau ga. Kita share dong ya kan!”

Mati deh gue. Dia ngajakin ngobrol seserius itu. Gubrak. Secara gue ini lulusan SMA perhotelan. Dia nanyain soal kepemimpinan. Alamak… FISIP oh FISIP.

Tapi, bukan Mila namanya kalau ga bisa ngeles.

Emang Soeharto otoriter Bang. Bukannya dia presiden yang dicintai rakyat. Bertahun-tahun dari saya lahir sampe kuliah dia terus presidennya. Kharismatik. Penampilannya itu wibawa banget. Nyaman gitu lihat sosok pak Soeharto itu sebagai presiden kita. Kenapa harus disuruh mundur sih. Kan sedih jadinya. Beliau itu baik, tutur katanya lemah-lembut. Ngayomi banget. Rakyat makmur. Setelah reformasi. Kita jadi susah. Apa-apa mahal. Gorengan yang biasanya cuma 25 rupiah, sekarang jadi harga seratus rupiah. Jauh banget naiknya Bang.”

“Nah ini contoh mahasiswa yang ga ketipu. Baca buku yang banyak. Eh… kamu jurusan apa? Pemerintahan apa sosiologi? Atau, komunikasi?”

“Bukan, Bang. Saya D3 Administrasi Perkantoran dan Sekretaris. Mana ngerti saya soal pemerintahan. Apalagi saya ini lulusan perhotelan. Jauh banget.”

“Ga bisa gitu, Mil… Lu kan sekarang anak FISIP. Jangan malu-maluin. Lu harus tau itu. Gampang kok. Tinggal lu banyak-banyak aja ngobrol ama senior-senior yang ada di kampus ini. Perpustakaan se-Unila ada. Di FISIP juga ada. Atau, kalau lu mau juga nanti gue bawain buku-buku gue. Tenang. Yang penting lu mau baca. Ok! Ngomong-ngomong gw ke kelas dulu ya. Udah jam 10 nih. Waktunya bercengkrama ama dosen. Bay.. see you next time ya. Tos dong!”

Kami pun tos tangan.

“Ok, Bang. Dagh.”

Dalam hati… Yes, akhirnya pergi juga ni orang. Kalau masih lama habis deh gua di-“telanjangi”. Betapa minimnya pengetahuan gue di lingkungan FISIP ini. Mana dia bilang nanti kalau ketemu mau ngajakin ngobrol lagi soal presiden. Waduh… perpustakaan sebelah mana ya. :p

Dan itu bukan satu-satunya senior yang kalau ketemu ngajakin ngobrol soal pemerintah. Masih banyak lagi senior-senior super sksd (sok kenal sok dekat). Ada Bang Levi, ada (alm) Bang Mario. Ada Bng Ayib. Ada Bang Arif Kurniawan. Ada Kak Teguh, Ardi Umum, Bang Dedi, Bang Imbron, dan lain-lain. Fix. Aku kudu banyak-banyak “melalap” buku. Kalau ga, bisa KO dan ga punya muka berhadapan sama para senior-senior penggila ilmu sosial dan politik. Sesuatu yang selama ini tidak pernah aku sentuh.

Jangankan dalam bentuk buku. Berita-berita sosial di TV aja aku abai. Tapi sejak menjadi mahasiswa FISIP setiap ada berita aku tonton lekat-lekat. Kadang tidak jarang aku catat info terkini sosial dan politik Indonesia. Luar negeri sedikit-sedikit juga aku tampung dalam memori.

Niatnya cuma satu. Jangan sampe ketemu senior yang bertebaran di kampus itu aku planga-plongo dan blingsatan di deket mereka. Padahal mereka itu pinter-pinter, lucu-lucu. Ada juga beberapa yang sebenarnya masuk kategori ganteng lho.

Sayangkan kalau aku sampai menutup diri dari senior-senior yang ramah-tamah dan suka bergaul itu. Hanya karena aku minim pengetahuan. Justru, jadi tertantang untuk bisa duduk berlama-lama dengan mereka di depan gedung E di sela-sela jeda kuliah ke kuliah berikutnya.

Dan, betapa dunia kampus itu seperti dunia rimba. Kita bisa bergaul dengan siapa saja. Dari jurusan apa pun. Angkatan berapa pun. Dan menyerap ilmu apa pun. Asalkan punya kemauan.

Di lingkungan FISIP terasa ada tarik-menarik masSa antara organisasi ekstern. Ada yang namanya SML, Serikat Mahasiswa Lampung, perwakilan anak-anak kiri. Yang kalau ketemu tuh ya. Selain tos, mereka suka mengepalkan tangan kiri sambil bilang, “Salam.” Beugh… itu udah kayak film-film perjuangan tempo dulu. Tapi, asik juga berserikat seperti itu. Dengan anak-anak kiri yang selalu bilang “Kuliah paling banyak 2 SKS.  Kalau demo 4 SKS.”

Kemudian ada KAMMI, yang ini rada kearab-araban. Yang cowok pakai celana cantung. Yang perempuan jilbaber. Manggilnya “ana-antum” dan jangan harap mau tos akrab. Pandang mata aja tidak. Hehehe.

Yang paling menarik hati bagiku keberadaan HMI. Aku amat-amati keilmuan mereka lumayan jago. Jangan kata diskusi jadi moderator penengah dan pengatur diskusi aja mereka sanggup. Di antara dosen dan kumpulan mahasiswa yang banyak.

Tahun-tahun saat aku sedang berkuliah saat itu tahun sedang hangat-hangatnya berdiskusi, bedah buku, seminar nasional. Pembicara yang didatangkan juga pembicara nasional seperti Arbi Sanit, Eep Saifullah patah, Nurcholis Madjid. Semuanya tokoh-tokoh nasional.

Dari semua gelaran kegiatan diskusi itu dalam amatanku penyelenggaranya adalah anak-anak HMI yang juga sebagai penjabat struktur senat kemahasiswaan kampus. Dunia kampus benar-benar hidup.

Di lorong-lorong. Di kantin. Di bawah pohon diskusi-diskusi hidup. Bahkan, di masjid dan perpustakaan. Organisasi maju. Perkuliahan juga lumayan memberikan waktu untuk berekspresi dan berorganisasi bagi mahasiswanya. Tidak melulu kuliah saja.

Dosen dan mahasiswa saling menghormati dan setara. Paling tidak itu dalam amatan pribadi saya. Walaupun ya masih ada juga mahasiswa yang sekadar kuliah, dapat nilai bagus, cepat lulus, dan bisa bekerja.

Tapi, pernak-pernik mencari jodoh juga penambah serunya kuliah di FISIP. Melatih skill juga banyak. Mengasah hobi juga ada.

Ada Cakrawala dan Mapala tempat mahasiswa pencinta alam. Ada Cendikia khusus kajian. Ada wartawan kampus. Ada Kopma tempat melatih jiwa enterpreneur dan bisnis. Dan lain-lain.

Yang jelas makin kupahami mengapa mahasiswa betah berlama-lama di kampus. Bahwa dunia rimba kampus tidak seseram hutan rimba. Justru sebaliknya, bisa sangat menyenangkan dan sangat bermanfaat bagi hidup selanjutnya selelah tidak lagi menjadi mahasiswa. Relasi di dunia kerja justru banyak didapat saat bercengkrama mesra di kampus Unila, khusus FISIP tercinta. []

————————–
Milana Lastri Mandala. A.Md., lahir 25 Oktober 1978. Alumnus  Jurusan Administrasi Perkantoran dan Sekretaris FISIP Unila (1998—2001). Semasa kuliah aktif di berbagai organisasi intra dan ekstrakampus. Pernah bekerja di Lembaga Advokasi Perempuan Damar, Lembaga Advokasi Anak (LAdA) Lembaga Advokasi Kawan Tani, PPK Pilwakot (2015), Panwascam Pilkada dan Pemilu (2017—2019), Panwascam Pilwakot (2019-2020). Kini berwirausaha di bidang properti.

* Ditulis untuk buku Romantika Kampus Oranye: Dinamika FISIP Univversitas Lampung dari Kisah Alumni (proses terbit).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top