Pustaka

Nano-Nano Nikmat ‘Pandemi Pasti Berlalu’

Oleh Muhammad Alfariezie

SEJAK  intens mempelajari ilmu sastra, saya sering keluar masuk perpustakaan daerah. Tentu yang saya cari berbagai buku sastra, baik teori mau pun karya sastra.

Banyak sekali buku yang saya dapat. Kumpulan puisi tunggal, kumpulan puisi dari berbagai penyair hingga kumpulan cerpen tunggal maupun kumpulan cerpen dari berbagai prosais.

Akhir-akhir ini, menurut saya sudah sejak satu atau satu tahun setengah, banyak sekali penyelenggaraan antologi buku yang isinya berbagai genre. Ada puisi, cerpen, curhatan, features hingga celoteh. Salah satu antologi buku yang ‘nano-nano’ tersebut ialah buku Pandemi Pasti Berlalu terbitan Pustaka LaBRAK, Juni 2021. Terhitung dan tercatat 60 penulis dari berbagai usia dan daerah serta profesi dan latar belakang menuliskan perasaan dan pikirannya tentang masa-masa pandemi. Entahlah apakah suatu prestasi. Yang jelas, puluhan penulis hebat yang namanya terdengar luas di kalangan masyarakat mau pun penulis, turut ambil bagian untuk mencatat masa-masa Pandemi. 

Pelajaran Berharga

Saya sebut antologi Pandemi Pasti Berlalu adalah karangan nano-nano. Di sana, ada puisi, ada cerpen, bahkan curahan hati.

Harga buku setebal 247 halaman terjangkau, mungkin juga bisa melakukan tawar-menawar dengan penerbitnya. Tapi, isinya tidak bisa ditawar-tawar. Isinya mutlak memiliki pelajaran bernilai, baik bagi pembaca mau pun penerbit.

Buku Pandemi Pasti Berlalu menawarkan kekhasan tersendiri. Saya belajar langsung dengan penyair yang menulis esai. Selain itu, saya juga belajar dengan jurnalis bagaimana dia meramu perasaan menggunakan kata-kata yang berbeda dari berita. Tulisan itu milik Dahta Gautama. Saya mengenalnya sebagai wartawan dan sastrawan. Namun, kuranglah elok jika saya memberi tahu tulisannya di sini atau membahas karangannya itu. Lebih baik langsung saja membeli bukunya. Karena, rangkaian kalimat yang Dahta tulis cukup bagus. Baik untuk bahan pembelajaran bagi penulis pemula.

Buku ini memang beraneka sensasi. Andai tidak ada buku ini, mungkin saya hanya membaca puisi dari penyair. Tapi karena buku ini, saya membaca tulisan tulus dari penyair yang tentu saja bukan puisi. Saya juga membaca karangan khas dari jurnalis, tentu saja karangan itu lepas dari aturan baku berita.

Asyik. Beraneka rasa dan sensasi yang luar biasa. Dalam buku itu, ada tulisan-tulisan ringan yang hanya menceritakan peristiwa dan perasaan. Tapi, ada juga tulisan-tulisan penuh data yang dirangkai menggunakan kalimat-kalimat yang teratur sehingga ketika membacanya, kita enggan berhenti sebelum sampai ke titik terakhir.

Memahami Berbagai Kehidupan  dari Cerita Tulusnya

Jika membaca kumpulan cerpen saja maka tidak heran jika yang didapat hanya karangan yang dibuat oleh pengarangnya. Memang karangan itu tidak lepas dari kehidupan sehari-hari pengarang. Namun, yang namanya karangan tetaplah mengarang. Ada aturan-aturan tertentu dalam menceritakan. Berbeda dengan antologi ‘nano-nano’.

Antologi ini menawarkan kesegaran dan ketulusan menulis. Rata-rata penulis dalam buku tersebut, semua menceritakan pengalaman menariknya. Tanpa dikarang-karang. Sehingga tentu saja sebagai pembaca saya dapat memahami dan mengetahui fragmen kehidupan mereka. Ada yang dapat mengambil hikmah pandemi tapi ada juga yang belum move on.

Karena buku ini telah diserahkan ke publik dan saya membacanya maka patutlah atau berhaklah  untuk menyampaikan reaksi. Saya merasa panitia penyelenggara antologi buku Pandemi Pasti Berlalu tidak merancang strategi khusus, misal meraup keuntungan atau demi eksistensi. Yang saya tangkap setelah membaca karangan-karangan yang ada di buku ini, pendapat saya mengatakan, panitia antologi tersebut secara tulus dan sadar ingin menyimpan sejarah, baik itu yang tertuang karena isi hati, pemikiran, kepuitisan dan lain halnya.

Sukses. Buku Pandemi Pasti Berlalu telah terbit dan tersebar ke lingkungan juga media sosial. Di dalamnya terdapat fragmen-fragmen dari berbagai kalangan ketika hidup di masa pandemi. Tentu saja ini sejarah bagi generasi yang akan datang, yang mungkin tidak akan lagi menemukan atau mendengar kata Pandemi.

Sejarah ini tentu akan menjadi pelajaran yang berharga bagi penulis mau pun pembaca. Untuk itu, penting buku-buku bergaya baru seperti ini tetap dan terus terbit dan jika ada kesempatan, disebarluaskan ke berbagai sekolah untuk menjadi bahan renungan dan pembelajaran para siswa. Sebagaimana kita tahu bersama, tiap catatan memiliki sejarah yang bernilai jika dipelajari dan berusaha memahami. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top