Kolom

Tentang Nama Belakang

AIDIL Liwa, saya dengar ditanya, “Liwa itu tempat tinggal orang tua ya?”

Saya ketawa saja. Saya memang lahir dan kadang-kadang pulang kampung ke Liwa. Tapi, sudah lama ‘tersesat’ di Kota Tapis Berseri.

Untungnya Aidil sigap menjawab, “Nama marga, Pak.”

Ya, selain nama ibu kota Kabupaten Lampung Barat, Liwa juga nama marga di Kecamatan Balik Bukit yang sekarang meliputi 12 pekon/kelurahan.

Dari sisi arti, Liwa memiliki makna yang positif. Dalam KBBI, kata “liwa” berarti bendera, panji-panji. Versi lain, dalam bahasa Lampung, “liwa” dari kata “meli iwa” (membeli ikan) . Ada juga yang bilang “liwa” dari “liwat” (lewat) karena Liwa menjadi perlewatan (persimpangan tiga) menuju Krui, Ranau atau Tanjungkarang.

Nama ini puitis, begitu kata teman-teman seperti Febrie Hastiyanto. Sempat terpikir untuk memakai marga di belakang nama saya. Toh, saya memang bermarga Liwa. Tapi, ijazah, nama pena, dll telanjur tidak mencantumkan marga.

Tahun 1987 teman saya yang menulis cerpen perdananya, “Warna Malam” di Majalah Keluarga, Jakarta memakai nama Awil Ilfikluz, yang kalau dibaca dari belakang menjadi Zulkifli Liwa.

Ai kidah, sekarang saya pikir-pikir, kenapalah mesti dibalik-balik begitu. Zulkifli Liwa atau Kifli Liwa malah lebih jelas dan enak didengar.

Sayang, saya tak bisa kasih saran lagi ke teman saya tersebut. Ia sudah mendahului berpulang ke rahmatullah. Alfatihah untuk almarhum Kifli.

Nama saya sebenarnya Zulkarnain Zubairi bin Zubairi Hakim bin Abdul Hakim. Di paspor ditulis: Zulkarnain Zubairi Hakim. Kalau memilih nama keluarga untuk anak-anak bisa Zulkarnain, Zubairi atau Hakim. Semua bagus. Tapi, keputusannya nama (marga) Liwa yang dipakai.

Begitulah, marga ini diterakan sebagai nama belakang anak-anak: Muhammad Aidil Affandy Liwa dan Raihan Herza Muzakki Liwa.

Tabik. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top