Cerita Pendek

Maaf, Ruang Kita Berbeda!

: Sepotong Memoar

Cerpen Ari Suciyanto Siregar

“Sendiri itu dingin, dan jika kita tak paham akan makna kata itu maka jangan pernah mengikuti, karena akan sangat menakutkan, ketika makhluk-makhluk astral itu ingin menjadikanmu teman.”

SEBENARNYA aku tak ingin menulis cerita ini. Tapi, entah kenapa, tiga hari sebelum aku menulis  cerita ini, seperti ada dorongan dalam hati untuk segera berbagi cerita tentang hantu, makhluk astral yang tak kasat mata. Mereka ada di antara kita pada dimensi yang berbeda, dalam sunyinya hati mereka dapat menyentuh tubuh kita, merabanya, dan kemudian mencium bau tubuh kita tanpa kita sadari. Konon, jika makhluk astral itu menampakkan diri, ada dua kemungkinan, mereka merasa terganggu dengan kehadiran kita,atausekedar ingin berinteraksi saja sebagai bukti keberadaan mereka.

Siapakah sesungguhnya mereka itu, makhluk yang tak tampak oleh mata? Bagaimana bentuknya? Apakah menakutkan? Semua tergantung pada pola rekaman cerita yang tersimpan dalam pikiran kita. Menakutkan atau menakjubkan.

***

Aku adalah anak laki-laki nomor dua dari sebuah keluarga yang sangat memegang tinggi nilai-nilai agama, dan percaya juga pada cerita leluhur yang disampaikan secara turun-temurun yang penuh dengan misteri.

Aku mengawali cerita ini dengan sadar, saat aku mengingat masa kecilku. Saat itu, aku mendengar suara gamelan di belakang rumah nenek, di sebuah pekarangan, tempat biasa keluarga besar kami menjemur padi.  Persis di bawah pohon belimbing dekat sumur tua aku melihatnya, sesosok bayangan seperti perempuan jawa, yang bernyanyi dengan suara menggumam namunmerdu sekali,diiringisuara gamelan yang tak nampak bendanya. Saat itu umurku baru tiga tahun, dan belum mengenal arti dari sebuah ketakutan.

Aku mendekatinya, tubuhnya wangi melati, dingin terasa tiada senyum menyapa, sosok itu terus bernyanyi dan aku menikmati suaranya, meski aku sendiri tak tahu artinya, tapi yang pasti makhluk itu sangat sempurna dalam bernyanyi, aku terus mengamati dengan kekagumanku pada sosok itu.

Kemudian aku mencoba mencari tahu seperti apa rupanya yang tertutup bayangan dahan pohon belimbing. Jujur, saat itu tidak ada ketakutan sedikit pun padaku, aku mencoba semakin mendekat, sosok itu ternyata hanya sebuah bayangan yang jika kita lihat dari kejauhan nampakseperti perempuan Jawa pada umumnya dengan menggunakan kain kebaya dan selendang merah penutup kepala, tapi ketika kita melihat lebih dekat, ternyata sosok itu hanya sebuah bayangan, seperti sebuah kumpulan kabut berwarna merah, sedikit hitam bercampur biru dan sangat dingin ketika aku rasakan dengan tanganku.

Setelah itu, aku melihat rembulan mulai menampakkan diri dengan sangat jelas ketika awan malam yang menutupinya bergeser perlahan-lahan, memberikan suatu ruang pada cahaya bulan untuk dapat menerangi setiap sisi gelap di mana hanya ada aku dan sosok misterius itu. Tepat pada saat cahaya bulan berpendar, sosok itu pergi seperti kabut atau asap tipis yang terhisap bumi, diiringi suara burung, ayam dan lolongan anjing. 

Aku mencari tahu kenapa dia pergi, seperti ada pesan yang ingin disampaikan, meski tak sampai terdengar kata, tapi aku bisa merasakan keinginannya, untuk bisa berteman dan berlama-lama dengan ku, tapi ternyata terangnya sinar rembulan yang meraba bumi telah membuatnya pergi. 

“Ari, kamu ngapain di situ?” Bulikku bertanya dan menghampiriku. 

Wajahnya penuh kebingungan ketika melihatku berdiri persis di samping sebuah sumur tua yang sudah lama tertutup kayu jati dan tumpukan sisa jerami. 

Rene-rene, ojo dewean wae ngeri mengko ono wewe,” Bulik segera menarik tanganku dan mengajakku ke dalam rumah, kemudian menutup semua pintu dan jendela belakang rumah yang mengarah ke tempat penjemuran padi. 

“Wewe itu apa, Bulik?” tanyaku. 

“Hus! Meneng!” bulik memarahiku atas pertanyaan itu, seperti ada ketakutan di wajahnya, dan bulik melarangku untuk kembali ke sumur tua itu, apalagi bermain-main sendiri di malam-malam dingin seperti ini. 

Ojo sering dewea. Mainlah sana sama saudara-saudaramu di teras depan opo di ruang tamu sana, jangan sendirian disini,” kata Bulikku.

Aku ra duwe konco, Bulik,” sahutku. 

“Pokoknya bulik ngelarang kamu main sendirian disana! Bulik lagi marah lho ini! Dari tadi kamu itu digole’i ke mana-mana malah ga tahunya main sendiri di belakang rumah!” balas Bulikku.  Setelah semua pintu tertutup, bulik menggandeng tanganku ke ruang tamu untuk berkumpul bersama keluargaku. 

***

Aku adalah anak laki-laki yang terlahir disleksia dan ada kecenderungan autis, memiliki kesulitan dalam mengenal huruf, menghafal nama-nama orang yang baru aku kenali, memiliki kesulitan dalam mengingat arah jalan pulang, dan tidak suka dipeluk. Bahkan, sampai saat ini setelah aku menikah dengan istriku, Asnia Pane aku masih tidak suka dipeluk. Pelukan bagiku seperti suatu sentuhan yang aneh dalam jiwa dan batinku. Cara aku berpikir pun berbeda, aku hanya bisa fokus pada satu hal yang aku anggap menyenangkan. Mungkin karena kondisiku ini, aku sering kali menyendiri dan terlihat aneh.Membuat semua saudara sepupuku banyak yang tak ingin bermain denganku, sehingga dimanapun aku berada, aku selalu berjalan sendiri mengikuti sebuah bayangan pemberi petunjuk tempat dimana yang aku suka, sepi, dingin, dan tidak terlalu terang.

Pernah suatu ketika kakakku, saudara sepupuku, bersama teman-temannya meninggalkan aku sendirian di tengah persawahan karena mereka kesal melihatku yang sulit diajak berkomunikasi dan senang dalam menentukan sikapnya sendiri, seperti tidak pernah menghiraukan apa kata mereka yang lebih tua dariku. Aku hanya ingin melakukan apa yang aku suka dan tidak suka mengganggu, apa lagi diganggu, apakah aku manusia dungu? Aku jawab, tidak! Karena aku juga berpikir, hanya cara berpikirku saja yang beda. Seutuhnya aku tetap sama seperti mereka. Karena mereka kesal dengan sikapku,mereka pun pergi meninggalkanku sendiri di tengah persawahan yang masih terfokus pada keindahan bunyi suara gemericik air sungai yang menyejukkan. Setelah aku merasa puas mendengarkannya aku pun pulang sendiri dengan berjalan mengikuti sebuah bayangan yang tiba-tiba saja datang dan memberikan petunjuk ke arah jalan pulang. Anehnya aku bisa lebih cepat sampai ke tujuan dibandingkan mereka yang telah lebih dulu meninggalkanku di tengah persawahan.

“Lho, kok dah sampai?” semua terkejut dan tak menyangka jika aku sudah berada di depan TV bersama nenekku yang tak pernah lepas dari tasbihnya.

“Kalau pergi bersama-sama ya pulang juga sama-sama jangan ada yang ditinggal, kalian ini kan yang paling tua, harus jaga adiknya jangan ditinggal sendirian ditengahsawah, ra patut yang lebih tua bersikap seperti itu sama yang muda!” wajah nenek muram menatap kakak dan saudara sepupuku yang hanya berdiri menunduk terdiam. 

“Nek, aku yang salah,” kataku yang membuat Nenek mengarahkan pandangannya ke arahku.

“Kamu itu mirip sekali dengan kakek buyutmu, dari wajah dan sikapnya sama persis tidak ada bedanya sama sekali,” kata nenekku sembari mengusap lembut rambut di kepalaku. Sedangkan saudara-saudaraku masih dibiarkan berdiri oleh nenekku dan mereka masih saling beradu mata, dalam kebingungan.

***

Aku yang menyukai kesendirian, masih terus mencari sosok bayangan itu, sosok bayangan seperti sekumpulan kabut merah yang pernah aku temui di tempat penjemuran padi belakang rumah nenek, di bawah pohon belimbing, dekat sumur tua. Tapi sudah tujuh hari setelah pertemuan itu, aku tidak pernah lagi menemuinya. Aku masih merasa ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadaku, tapi apa yang ingin dia sampaikan kepadaku, aku tidak pernah tahu, hanya sebuah kilasan mimpi yang tiba-tiba saja datang dan memberikan aku sebuah petunjuk untuk tetap berada di rumah nenek, meskipun sore harinya aku harus pulang ke Jakarta karena masa libur sekolah kakakku telah berakhir.

“Bu, aku belum mau pulang,” kataku kepada ibuku yang sedang mengemas pakaian untuk dimasukkannya ke dalam koper. 

“Besok senin kakakmu sudah mulai aktif sekolah, kasihan kalau harus pulang hari sabtu kakakmu ga bisa istirahat nanti,” jawab ibuku. 

“Biarkan aku sendiri disini Bu,” ucapku kembali.

“Ga nak, kamu harus ikut sama ibu,” jawab ibuku dan lalu dia pun menutup kopernya.  “Bajumu sudah ibu rapihkan. Persiapkan dirimu, nanti sore kita pulang ke Jakarta.”

Ibu mengusap kepalaku  bersama senyumannya, dan aku hanya terdiam sambil melihat ke arah tempat biasa nenekku menjemur diri di depan teras rumahnya, melalui kaca jendela aku melihat nenek terdiam, persis seperti dalam mimpiku. Aku mencoba mendekatinya, berjalan ke arah pintu depan dan pada saat pintu itu akan ku buka, nenek sudah ada dibelakangku.

Ono opo, Le?” nenek menyapaku dari belakang dan sontak membuatku terkejut, siapa sebenarnya yang tadi berjemur di depan teras rumah.

“Nenek,” kataku sambil membolak-balikan penglihatanku ke arah nenek, dan ke arah teras rumah berulangkali, sampai akhirnya sosok misterius itupun menghilang.

“Kamu lihat opo Le?” tanya nenekku kembali.

Aku geleng-gelengkan kepala, mencoba merahasiakan apa yang aku lihat saat itu, nenek mengusap-ngusap rambutku dan tak lama kemudian dia menyanyikan tembang jawa, suara dan liriknya sama persis seperti apa yang pernah aku dengar sebelumnya. 

***

Sesampainya aku di Jakarta, aku bermimpi nenek menangis. Dia menatapku, memberikanku sebuah pesan untuk tidak menerima apa yang diturunkan kakek buyutku dulu dengan membiarkan hidup ini berjalan sewajarnya, tanpa ajian apapun, karena kekuatan manusia itu letaknya hanya pada doa dan rasa ikhlas dalam menjalani takdir. Tidak lama kemudian aku terbangun dalam mimpiku, dan aku melihat sosok misterius itu berputar-putar di atas langit-langit rumahku dengan corak warna kabut atau seperti sekumpulan asap tipis yang kerap sekali berubah-ubah warna, dari warna biru sedikit kehitam-hitaman, merah bercampur hijau, hijau sedikit gelap dan warna ungu kebiru-biruan, terakhir kabut itu berwarna abu-abu dan lalu pecah menghilang di langit-langit rumahku. Makhluk misterius itu ingin sekali menjadi bagian dalam hidupku, tapi aku menolaknya dengan menggeleng-gelengkan kepalaku. Tidak lama kemudian kami sekeluarga mendapatkan kabar via telepon bahwa nenekku telah menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul empat pagi setelah melakukan salat tahajud dalam posisi masih menggenggam sebuah tasbih. 

***

Saat aku tiba bersama keluargaku di rumah nenek, aku melihat mahluk itu kembali, makhluk itu menangis dan berputar-putar di langit-langit rumah nenek, bulikku yang curiga dengan sikapku, menghampiriku. 

“Kamu lihat apa Ri?” tanya bulikku sambil menyentuh bahu kiriku. 

“Itu ada asap sedang menangis, Bulik,” kataku lirih.

Lalu bulikku menatap ke arah di mana mataku tertuju.

“Dia sedang berputar kesana dan kemari bulik,” kataku kembali sambil menunjukkan arah putarannya dengan jariku.

Merasa mulai tak nyaman, Bulik menggandengku keluar dan menitipkan aku ke saudara sepupuku yang tertua.

“Ton, jago adikmu yo, mesake adikmu dewean wae ra ana kancane,” pinta bulikku.

Yo bulik,” kata kakak sepupuku yang tertua. 

***

Kejadian demi kejadian tidak menyenangkan aku alami, dimana makhluk itu ingin sekali membantuku tapi aku selalu menolaknya, entah kenapa dalam pikiranku aku selalu ingat pesan nenek dalam mimpiku, satu jam sebelum nenek meninggal, untuk tidak menerima peninggalan kakek buyutku, yaitu sebuah ajian yang tidak pernah aku tahu manfaat dan tujuannya. 

Dia terus mengikuti ke mana aku pergi, dan jika ada orang yang ingin berbuat jahat dia akan memberitahuku dengan cara mengubah warnanya menjadi merah menyala dan berputar-putar seperti pusaran angin di tubuh orang tersebut. Pernah juga di suatu ketika, ibuku kehilangan dompetnya dan mahluk itu menunjukkan kepadaku di mana dompet ibuku berada. Tapi aku tak menghiraukannya, meskipun aku diberi tahu bahwa dompet ibuku dicuri oleh seseorang yang kami kenal baik. Dan diawal kuliahku, aku juga pernah bertemu dengan seorang bapak yang spontan datang menghampiriku dan mengatakan kepadaku bahwa aku adalah salah satu anak laki-laki yang memiliki keistimewaan. 

“Boleh bapak lihat tangan kirimu?” pinta bapak itu kepadaku.

Aku sodorkan tangan kiriku ke arahnya, setelah dengan serius dia mengamati setiap garis-garis ditangan kiriku, dia meminta kembali kepadaku untuk ditunjukkan bagian telapak tangan kananku.

“Coba sekarang perlihatkan tangan kananmu?” pintanya kembali.

Tidak lama kemudian, dia mengatakan kepadaku bahwa aku ini memiliki bakat yang dapat menyembuhkan dan mengobati orang sakit, bakat ini diturunkan oleh leluhurku yang bukan berasal dari tanah Jawa, dan katanya aku ini adalah keturunan ketujuh. 

“Ketujuh?…” kataku. 

“Iya, kamu adalah keturunan ketujuh” jawabnya. 

“Jika aku ketujuh, siapa yang keenam sebelum aku?” tanyaku kepadanya. 

“Kakek buyutmu dan sebelum dia meninggal, dia menitipkan ajian ini kepada nenek buyutmu. Tapi karena tidak ada lagi anak laki-laki dari garis keturunannya yang cocok dengan ajian ini, maka dia menitipkannya kepada menantunya, yaitu nenekmu. Sebuah benda berbentuk seperti batu permata. Tapi, karena pemahaman antara nenekmu dengan nenek buyutmu berbeda dalam masalah keyakinan, maka setelah nenek buyutmu meninggal. Ajian ini dibuang oleh nenekmu di sebuah sumur tua yang tidak berfungsi lagi, sampai akhirnya lahirlah kamu yang memiliki karakter dan sifat yang sama seperti pemilik ajian ini sebelumnya. Perlu kamu ketahui bahwa garis darah pasti akan kembali pada asalnya,” katanya dengan sangat menyakinkan.

“Maaf Pak, saya tidak paham dengan apa yang bapak katakan tadi. Saya tidak mengerti masalah-masalah seperti ini,” kataku. 

“Jika kamu ingin lebih paham dan mengerti tentang apa yang saya katakan tadi, mari ikut saya selama satu minggu saja. Biar nanti saya ajarkan kamu bagaimana caranya menguasai ajian ini, yang fungsinya hanya untuk membantu orang yang sakit dan butuh pertolonganmu,” katanya. 

“Maaf Pak, terima kasih. Saya tidak bisa dan saya benar-benar tidak mau. Saya ingin menjadi manusia yang biasa-biasa saja. Sekali lagi saya mohon maaf dan terima kasih,” kataku dan tak lama kemudian aku meninggalkannya.

Dalam perjalanan menuju kampus bayangan itu muncul kembali, mengikutiku, dan sepertinya dia marah kepadaku dengan cara mengelilingi tubuhku berkali-kali seperti pusaran angin dengan suara seperti lantunan musik yang menakutkan, sampai akhirnya aku berhentikan langkahku.

“Aku tidak pernah mengganggumu, aku mohon jangan ganggu aku, kita ini sama-sama makhluk yang diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya,” kataku dan lalu aku berdoa. Makhluk itu pun menghilang. Hingga suatu saat mahluk itu muncul kembali di hari pernikahanku, aku melihatnya, tapi aku berusaha bersikap biasa saja, dia mendekatiku lalu menunjukkan kepadaku bahwa ada suatu benda yang di tanam seseorang di bawah tiang tenda pernikahanku, makhluk itu memberi tahuku bahwa ada seseorang yang tidak ingin pernikahanku dengan istriku berjalan dengan baik, setelah makhluk itu memberitahukan perihal itu kepadaku, tiba-tiba saja kepalaku menjadi pusing dan merasakan mual yang tinggi, hampir saja aku terjatuh jika tak segera ditopang oleh istriku.

“Kamu kenapa?” tanya istriku.

“Masuk angin kayaknya aku ini,” jawabku, lalu istriku mengantarku ke dalam kamar.

“Istirahat aja dulu, biar aku sendiri saja yang menyambut tamu di luar,” kata istriku.

“Aku mau mandi,” kataku. 

“Katanya kamu masuk angin?” tanya istriku yang saat itu bingung dengan kondisiku. 

“Siapkan saja handuk,” pintaku, lalu istriku meminta kepada adik perempuannya untuk mengambilkan aku handuk. Setelah mandi aku sempatkan diri untuk salat dhuha dan tetap bersikap biasa-biasa saja seperti tidak terjadi sesuatu, tapi ibu perias pengantin sempat bingung dan menanyakan sesuatu kepadaku. 

“Maaf Mas, tadi saya lihat Mas duduk di bangku, tapi ternyata ada disini, tadi itu kembarannya ya?” katanya kepadaku. 

“Oh, itu tadi saya, Bu,” jawabku, dan mencoba bersikap tenang. 

“Masa si?” tanya ibu itu kembali.

“Saya ga punya kembaran Bu,” kataku, dan lalu aku berjalan menuju bangku pelaminan menemani istriku kembali.

***

Pada malam pertama pernikahan, istriku pernah bercerita kepadaku bahwa dia sempat melihat sosok makhluk berambut panjang bertubuh transparan seperti sebuah kumpulan kabut putih  sedikit berwarna kecoklatan muncul secara tiba-tiba dalam kamar, saat aku masih tertidur pulas, dengan tegas istriku mengatakan kepadanya.

“Tolong jangan ganggu dia, dia ini milikku,” ucap istriku.

Tak lama kemudian makhluk itu berangsur-angsur menghilang. Padahal, saat kejadian istriku belum mengetahui sama sekali tentang cerita makhluk itu. Sampai akhirnya dia tahu setelah aku menulis cerita ini. 

***

Di  malam kedua pernikahanku, makhluk itu datang menghampiriku:

“Masihkah kau menyukai kesendirian?…”

“Tidak, sekarang aku sudah ada teman,”

“Bagaimana denganku?”

“Maaf, ruang kita berbeda!” []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top