Cerita Pendek

Anak

Cerpen Wahyu Arshaka

SUDAH hampir sebulan ini, Dayat kalau makan hanya dengan sayuran, tak ada ikan apalagi daging. Bukan karena ia kena diabetes atau darah tinggi, tapi karena permintaan Lia,istrinya yang menggebu-gebu ingin punya anak perempuan.

“Sudahlah nurut saja! Kata Bu Bidan juga begitu, apa nggak kepengen punya anak perempuan,  Mas kan tahu, anak perempuan itu investasi, dia bisa jadi te ka we di Arab!” ujar Lia istri Dayat.

“Lho, kok Cuma Mas yang makan sayuran terus!”

“Beda Mas, Lia ini perempuan, mau makan apa saja nggak pengaruh, ibaratnya perempuan itu lahan, mau ditanam cabai ya jadi cabai, mau ditanam pisang ya jadi pisang, nah kalau laki-laki itu yang menanam, yang nyebarin bibit, Mas nyebarin bibit perempuan ya jadi perempuan, nyebarin bibit laki-laki ya jadi laki-laki, Mas nyebarin bibitnya kecampur, setengah laki setengah perempuan ya jadi bencong!”

Dayat hanya diam dalam kebingungan, mencoba memahami apa yang baru saja diungkapkan istrinya.

***

Kala waktu Isya tiba, Dayat baru datang dari menarik becak. Setelah menyimpan becaknya, Dia langsung pergi ke dapur dan Lia pergi ke sumur yang ada dibelakang rumah. Seperti biasa pintu dapur dibiarkan terbuka bila Lia ke sumur, hingga Dayat sambil makan dapat sesekali melihat istrinya yang lagi mempersiapkan upacara mandi kembang tujuh rupa.

Tanpa banyak waktu, Lia sudah mengisi penuh bak mandi, Kemudian ia mengeluarkan berbagai kembang yang ada dalam pelastik dan menaburkannya kedalam bak mandi sambil mulutnya komat-kamit membaca jampi-jampi.

Selesai makan Dayat langsung pergi ke belakang dengan hanya memakai handuk, tanpa banyak bicara iapun masuk ke kamar mandi.

”Jangan lupa, sebelum mandi Mas baca doa dulu, biar kita dapat anak perempuan!” pesan Lia.

“Oh, gampang,” jawab Dayat sambil melepaskan handuknya.

Lia meninggalkan Dayat yang sedang mandi kembang. Kini ia sudah ada didapur, dipersiapkannya dupa untuk bakar kemenyan. Tak butuh waktu banyak aroma kemenyan sudah menyebar. Kembali lagi Lia komat-kamit mengucapkan jampi-jampinya.

Lia kemudian menunggu di kamar, dilepaskan pakaiannya, hingga tubuh berlemak itu jelas terlihat lipatan-lipatannya. Lampu sepuluh watt yang menggantung semakin membuat gelap warna kulitnya. Kemudian ia berbaring berselimut kain sarung yang menutup dada dan sedikit paha.

Dayat memasuki kamar, dengan rambut basah dan kembang yang masih menempel, dilepaskan handuk untuk mengelap rambut dan badannya.

“Kenapa harus bakar kemenyan juga?” tanya Dayat.

“Sudah jangan banyak tanya, kita mulai saja, lebih baik sekarang buktikan saja kalau Mas penebar benih yang hebat!”

Tanpa banyak bicara Dayat mematikan lampu, kain gordeng penutup pintu terbuka sedikit, hingga sinar lampu listrik membersit menyinari kamar yang sempit. Lia dan Dayat hanya terlihat bagai bayangan hitam, suara derit ranjang besi tua sesekali terdengar memecah keheningan dan sesekali juga terdenagar napas tersengal.

***

Malam itu Dayat terlihat makan dengan lahap, tak ada sayuran terlihat, beberapa tusuk sate berserakan dipinggir piring. Akhirnya ia bisa kembali makan daging setelah Lia dipastikan mengandung. Sekarang sudah jalan dua bulan, beberapa waktu lalu syukuran pun sudah mereka lakukan, mengundang para tetangga untuk ikut mendoakan, agar anak yang lahir nanti perempuan.

“Mas sudah punya nama untuk anak kita?”  tanya Lia sambil meletakan pantatnya ke kursi.

“Gimana kalau Dea,” Dayat kembali menguyah makanan,”Dea Oktari,” sambungnya.

Lia terdiam,”Ah jangan bagus-bagus, anak kita kan mau kita jadikan pembantu di Arab, biar menghasikan banyak uang kayak oang-orang!” ungkap Lia keberatan.

“Lha, memangnya kenapa!”

Nggak bagus kedengarannya kalau pembantu namanya bagus gitu, jangan jangan nanti dia malu jadi pembantu kalau namanya bagus.”

Dayat terdiam sambil menguyah makanannya,”Sekarang kan lagi zamannya, anaknya Si Ajay namanya Yeni Nabila, anaknya Si Omo namanya Sari Faridaningsih terus Si Yoyo  nama anaknya Amara Ria Ayunisari, masa nanti anak kita namanya Enjum,” Dayat cengengesan.

“Bukannya begitu!” Lia kesal, ”Kita kasih nama jangan terlalu bagus kayak nama artis-artis, kita kasih nama yang ada bahasa Arabnya, misalkan Siti Nurjanah, Nurhalijah, Khodijah. Biar nanti orang Arab nggak kagok nyebutnya,” ungkap Lia.

Dayat terdiam, dicelup-celupkan tangannya ke kobokan kemudian dilapnya beberapakali. Dipandangnya Lia dalam-dalam.

“Memangnya kamu sudah tahu anak kita bakalan perempuan,” Tanya Dayat, datar.

“Bagaimana Mas ini!” bentak Lia, “ kita kan sudah ngikutin saran Bidan, saran Dukun, masa gagal, jangan-jangan Mas diam-diam makan daging di luar!” tuduh Lia.

“Maksud Mas, kalau masalah anak itu kan, Allah yang ngatur, kita kan cuma usaha,” Dayat menjelaskan.

Lia  cemberut, “Pokoknya Lia pingin punya anak perempuan, bila perlu membeli, kayak Mbak Mumun, anak perempuannya kan dapat beli, sekarang dia senang, padahal dulu belinya cuma dua ratus ribu!”

Dayat tak menimpali, ia langsung ngeloyor pergi kedepan, duduk di kursi kayu disudut rumah, dinyalakan rokok dan perlahan diisapnya, sesekali terdengar helaan napas, perasaan cemas perlahan merambati pikirannya. Dayat cemas jangan-jangan anak yang lahir nanti malah laki-laki.

***

Kecemasan jelas terlihat di wajah Dayat, entah berapa batang rokok dihabiskannya dalam sesaat, sesekali ia terlihat duduk namun kemudian kembali berdiri dan mondar-mandir tak karuan. Rintihan Lia semakin membuat degup jantungnya berdetak cepat. Namun hal itu tidak berlangsung lama, wajahnya mendadak terlihat cerah ketika rintihan Lia terhenti dan berganti tangisan Bayi.

            Bergegas Dayat memasuki kamar, terlihat Ibu Bidan sedang membersihkan bayi. Sejenak Dayat tertegun, dilihatnya Lia yang berwajah muram, dialihkan pandangannya ke arah bayi yang baru lahir, Dayat tersentak ketika melihat kelamin bayinya laki-laki.

            Dengan wajah muram Dayat ngeloyor keluar, kembali ia menyalakan rokok dan dihisapnya dalam-dalam, dihelanya napas perlahan, kakinya bergerak menuju pintu depan. Di bangku kayu sudut rumah Dayat termangu dengan rokok ditangan, hanya sesekali diisapnya, pikirannya jauh menerawang, kecemasan kembali datang menghantam.  

***

Dayat kembali makan sayuran dan mandi kembang tujuh rupa, padahal anak keduanya baru berusia dua bulan,. Hal itu kembali ia lakukan tanpa banyak pertanyaan.

Tapi tidak untuk malam ini, sayuran dimeja makan dibiarkan dingin begitu saja, semenjak pulang dari menarik becak, Dayat hanya diam , ada sesuatu yang begitu menyesakan dadanya, sebuah selentingan kabar telah meremukan hati dan semangatnya.

Melihat Dayat hanya membisu, Lia terlihat heran, terlebih ketika lontaran pertanyaannya tak mendapat jawaban.

“Mas pasti bosan makan sayuran, itu berarti Mas tak ingin punya anak perempuan. Pokoknya kalau mas nggak bisa ngasih anak perempuan, lebih baik kita pisah!” ungkap Lia penuh amarah.

Dayat membatu, menahan gemuruh amarahnya yang nyaris meledak, “Memangnya dukun itu bisa ngasih anak perempuan!” bentak Dayat tidak tertahan.

Lia terdiam. “Maksud Mas apa!” tanya Lia keras.

“Jangan pura-pura, kamu menyerahkan kehormatan buat dukun itu kan!”

Lia  terdiam sesaat.

“Oh, maksud Mas itu,” Lia berusaha tenang, “Itukan syarat buat punya anak perempuan, itu cuma pura-pura Mas!”

“Apanya pura-pura, begituan masa pura-pura!”

“Tenang dulu, biar Lia jelasin, dulu itukan yang ngelakonin syarat-syarat itukan cuma Mas, tapi akhirnya gagal. Nah sekarang yang ngejalanin syarat itu jangan hanya Mas, Lia juga harus. Ibaratnya jangan hanya benihnya yang bagus tapi lahannya juga harus subur…..”

“Jadi semuanya betul ….”

“Lia ngjalanin-nya nggak sepenuh hati, itukan cuma syarat biar lahannya subur untuk benih perempuan. Anggap saja ini pengorbanan, kalau kita punya anak perempuan kan kita juga yang senang.”

Dayat mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, urat rahangnya terlihat mengeras, hatinya bagi tertusuk ribuan belati, harga dirinya tercabik-cabik. Perlahan ia melangkahkan kakinya menuju pintu depan, ditariknya daun pintu dengan keras dan dibantingnya sekuat tenaga. Dikursi kayu di sudut rumah ia termangu dengan kalut yang membalut pikirannya. Dalam pikirnya, sekarang ia tak akan peduli dengan keinginan istrinya, nanti dia akan bebas makan apa saja di warung Mbak Yumi, seorang janda yang jadi kekasih gelapnya. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top