Pustaka

Usaha Melengkapi Puzle Sejarah-Budaya Lampung

MESKIPUN saya merasa akrab dengan judul-judul esai yang ada dalam Monograf Lampung Lampau: Sejumlah Catatan Budaya dan Sejarah Lampung karya Arman AZ (diterbitkan Lampung Literature, Januari 2021), saya merasa harus membaca ulang secara pelan-pelan di sela-sela berbagai aktivitas. Ini buku sangat merangsang saya karena langsung atau tidak langsung berkaitan dengan saya ketika menerbitkan buku, ketika menjalankan kerja jurnalistik sebagai ‘jabrik’ opini dan budaya yang bertugas memuat tulisan teman-teman, ketika bertemu lalu berbicara munggak-medoh (ngalor-ngidul) atau diskusi kecil, dan ketika dalam aktivitas literasi dan keseharian sebagai ahli waris dari ‘kebudayaan Lampung’ saya bertemu dengan hal-hil yang juga dibahas dalam buku ini.

Baca-kaji ulang barangkali lebih tepat yang harus dilakukan ketika membolik-balik buku ini. Hampir semua sudah pernah saya baca sebelum dibukukan. “Historiografi Lampung, Mau ke Mana?” misalnya dimuat dalam buku yang juga dieditor juga Arman AZ, Mencari Lampung dalam Senyapnya Jalan Budaya: Kado 50 Tahun Udo Z Karzi (2020). Ada juga “Mencari Jejak Rappard dan Stehn di Suoh” yang menjadi Juara III Lomba Menulis Dukung Taman Bumi Suoh, yang kebetulan saya menjadi jurinya. Aih iya, ini PR saya dan panitia (c.c. Donna Moza Sorenty) untuk membukukannhya. 😛

Esai lainnya, pernah dimuat Lampung Post, TerasLampung.com, etnis.id, Majalah Bastera Kantor Bahasa Lampung, dan Jurnal Bappeda Pringsewu. Ketika masih tercecer di berbagai media, kecuali “Literatur Sejarah Pringsewu”, agaknya hampir semua sudah saya akses. Tapi, terasa sangat lain dan lebih dalam perasaan saat membaca lagi Arman dalam satu kesatuan berbentuk buku, pikiran saya terhubung dengan banyak tempat dan waktu.

Sembari membaca buku, saya perlukan untuk melihat kliping-kliping artikel Frieda Amran untuk rubrik “Lampung Tumbai” (Lampung Post, 2014–2015) dan “Lappung Beni” (Fajar Sumatera, 2016–2017) berikut produk lanjutannya buku Mencari Jejak Lampung Masa Lalu Lampung (2015, edisi kedua 2016) dan //Meniti Jejak Tumbai di Lampung: Zollinger, Kohler dan PJ Veth// (2017). Termasuk buku Arman yang baru, Katalog Naskah Kuno Lampung di Tropen Museum & Museum Volkenkunde Vol 1 (2020). Saya lirik juga beberapa buku saya seperti Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan (2013), novel Negarabatin (2016), Mamak Kenut (2012), dan lain-lain yang serbasedikit membahas bahasa, literasi, sastra, tradisi, kebiasaan, dan pernak-pernik sosial-budaya Lampung. Sebelumnya ada Adat-Istiadat Lampung (Hilman Hadikusuma), Perkawinan Adat Lampung Saibatin (Ali Imron), dst. Ada juga literatur lain semacam Sejarah Sumatra (William Marsden),  Bahasa Sanksekerta dan Bahasa Melayu (James T Collin), dll yang menyelipkan serbasedikit pula tentang sejarah, bahasa, dan budaya Lampung.

***

Tujuh belas esai Arman dalam buku ini sangat sarat data mengenai beberapa hal yang luput dari perhatian kita, mulai dari cerita rakyat, novel, sastra, pers, historiografi,  literatur Lampung di Belanda, bahasa Lampung, kamus, flora dan fauna, gunung berapi, laporan perjalanan, manuskrip, -pemainan tradisional hingga pengetahuan pengobatan.

Dari buku ini, kita baru tahu di Lampung penah terbit koran , Medan Ra’jat. Nama Atje Padmawiganda ada di balik  keberadaan koran tertua di Lampung ini. Medan Ra’jat diterbitkan tahun 1916 oleh Lampungsche Snelpersdrukkerij “Thia Eng Thiam” yang kantor pusatnya beralamat du Kampong Tjina, Telok Betung. Semboyan koran ini.: “Damailah Segala Bangsa Pendoedoek Hindia-Sa’iya Sekata Peangkat Derdjat Bangsa”. Di Padang juga pernah ada koran bernama saya, tetapi terbit tahun 1930-an. Artinya, pengunaan nama Medan Ra’jat lebih dulu Lampung ketimbang di Padang. Lalu, Medan Ra’jat berganti nama Hindia Moeda (2017). Lama kemudian 1930-an, baru ada koran Soeara Lampung (SL), Fadjar Soematra (FS), Pengharapan Banten (PB).

Arman juga memberitahukan ada sebuah roman Melayu Tionghoa yang isinya tentang Lampung. Roman berjudul Ratoe dari Gedong Ratoe ditulis Gan San Hok, diterbitkan tahun 1935 oleh Drukkerij Hahn & Co di Kamp Doro 3 atau Suikerstraat, Surabaya. Bahasanya menggunakan ejaan lama dan masih bisa dipahami. Roman ini diketukan Juperta Panji Utama di Perpustakaan Universitas Leiden. Ratoe dari Gedong Ratoe berkisah tentang cinta Abdoelkadi dengan Soenantri yang penuh liku, duka, bahkan meminta korban nyawa.

Berkaitan dengan leksikografi Lampung, buku ini juga menceritakan upaya pemulangan Kamus bahasa Lampung yang disusun H.N. van der Tuuk selama bderada di Lampung (1868—1869) setebal hampir 600 halaman. “Apa pun bentuknya, keberadaan kamus ini penting mengingat aspek budaya, sejarah, dan bahasa Lampung. Hemat kami, kamus van der Tuuk adalah salah satu harga diri Lampung yang sekian lama ditelantarkan,” tulis Arman (hlm. 54).

Masih berkenaan dengan bahasa dan sastra, dalam buku ini juga dibahas Les Manuccrits Lampongs. Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1861—1866) Baron Sloet van de Beele mengoleksi 40 naskah beraksara Lampung yang ditulis di kulit kayu, rotan, tanduk, dan kertas yang diserahkan kepada van der Tuuk untuk diteliti dan ditransliterasi ke bahasa Perancis. Hasil telaah van der Tuuk atas permintaan Baron ini yang kemudian menjadi manuskrip Les Manuscrits Lampongs.  Isi manuskrip ini mengejutkan. Salah satu naskah yang didapat dari pribumi bernama Pengeran Jalil di Menggala. Pada saat itu usianya 80 tahun dan naskah ini sudah disimpan Jalil turun-temurun, empat generasi, diperkirakan umur manuskrip 200 tahun. Bisa diperkirakan naskah itu dibuat tahun 16-an. Di belakang Les Manuccrits Lampongs terdapat sejumlah prosa pendek (Bandoeng Tangis Lampung, Tjarita Badan Miskin, Tjarita Miskin, Bandoeng Lampung, Soerat Sama Moelie, dan beberapa tanpa judul). Dan, masih banyak lagi.

Satu lagi, di tengah miskinnya referensi mengenai kampung halaman saya, Liwa, Arman menulis satu esai berjudul “Lampung dalam Reportase J. Pattulo & Captain Jackson” (hlm. 73—79). Kutipan sedikit dari bab ini. J. Pattulo (1822) menulis: ‘Lewah is govern by a pangeran and twelve proattens, who are in alliance with the Honorable Company’. Pattulo mencatat nama-nama dusun di Ranau kala itu: Banding Auging, Warku, Tanjong Jatie, Padang Ratoo, Ungkusa, Pila, Gadong. Sementara nama-nama 12 dusun yang disebutkan dipimpin oleh 12 proatin di Liwa kala itu: Bumi Agong (sekarang: Kampung Adat Bumi Agung di Pekon/Kelurahan Pasar Liwa dipimpin Suntan Makmur), Surubaya (sekarang: Kampung Adat Serbaya di Pekon/Kelurahan Pasar Liwa dipimpin Suntan Zaki, terdapat Makam Keramat Serbaya), Kasugihan (sekarang: Sugehan Tuha di Pekon Way Empulau Ulu), Paggar, Negri (Yang dimaksud Negeri Tuku di ujung Sukamarga, Pekon Way Empulau Ulu), Banding (di Sugehan Tuha, Pekon Way Empulau Ulu, penduduknya pindah sebagian ke Banding, Pekon Watos dan sebagian lagi ke Bandarjaya, Pekon Way Empulau Ulu), Perwatta, Waye Mengaku (Way Mengaku), Tanjung (di Pekon Sebarus), Gadong (Gedong atau Gedung ditinggalkan setelah kebakaran awal 1900-an dan warganya pindah ke Sebarus sekarang), Sungi (Sungi, di Sukamarga, di sisi Kayu Lada; Sekarang Sungi pindah di Negeri Agung, Pekon Way Empulau Ulu), dan Genting.

Tentu tidak semua bisa disinggung dalam ruang yang sangat terbatas ini.

Meski masih tangeh (jauh) untuk membangun konstruk sejarah-budaya Lampung yang lebih  utuh, saya bersepakat dengan Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa dan Kebudayaan Lampung Universitas Lampung Dr Farida Ariyani, M.Pd.  dalam pengantarnya bahwa apa yang dilakukan Arman dengan buku ini, cukup membantu kita membaca ulang aspek budaya dan sejarah Lampung. Sebagian potongan yang hilang, telah ditemukan. Sebagian ruang yang kosong, telah terisi. (hlm vi)

Jalas, buku ini sangat membantu pembaca – terutama ulun Lampung — untuk mengembalikan ingatan (sejarah) dan budaya Lampung. Karena itu ia wajib dibaca bagi siapa saja yang mempunyai perhatian dengan Lampung dan kelampungan.  Sejalan dengan dibukanya S1 Pendidikan Bahasa Lampung menyertai Magister Bahasa dan Kebudayaan Lampung yang lebih duluan ada di Universitas Lampung, buku semacam ini semoga semakin menggairahkan studi kelampungan kelak sebagaimana saya berharap akan banyak lahir karya sastra dan sastrawan Lampung. Tabik. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top