Pustaka

Suluh Bercinta dengan Filsafat (Islam)

Oleh Muhammad Ghufron

DATA  BUKU
Judul: Mengenal Filsafat Islam. Penulis: Haidar Bagir. Penerbit: PT. Mizan Pustaka. Cetakan: Pertama, November 2020. Tebal: 196 hlm. ISBN: 978-602-441-017-9

ABSURDITAS filsafat yang ditilik sebagai suatu hal yang mengawang-awang, tidak jelas, dan kadang bertendensi menyesatkan, semakin mengisolasi eksistensinya di ruang publik. Anggapan ini seakan telah menjadi kebenaran umum (General Truth) yang perlahan menumbuhkan hipotesis argumentatif; bahwa filsafat dengan segala kerumitannya tidak layak dipelajari dan cenderung mereduksi akal sehat.

Paling bagus orang akan menganggap filsafat sebagai “ilmu tinggi” yang hanya dipahami oleh sekelumit orang yang memiliki selera agak aneh. Padahal, filsafat merupakan realitas induk dari segala paradigma dan perkembangan dunia. Dengan kata lain, filsafat sebagai fondasi yang mendasari perkembangan ilmu-ilmu.

Dalam filsafat pelbagai konsep ihwal ketuhanan, keadilan, kebebasan, kebahagiaan, dan konsep lain yang memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia terus digemakan dan dirumuskan.

Haidar Bagir berikhtiar mengantarkan kita ke gerbong semesta bercinta dengan filsafat , terkhusus filsafat Islam. Mengenal Filsafat Islam merupakan sebentuk perwujudan ikhtiar itu. Sebuah pengantar filsafat yang ringkas, komprehensif, praktis, dan transformatif. Melaluinya, Haidar Bagir perlahan menyadarkan kalangan luas bahwa filsafat sebenarnya tak se menakutkan itu.

Berfilsafat berarti berusaha menyusuri lorong kebijaksanaan. Di saat kompleksitas kehidupan sesak  dengan pesolek materi duniawi, berfilsafat menuntut kita menarik diri dari riuh pesolek itu. Jalan sunyi menghampar bagi mereka yang sedang meniti jalan kebijaksanaan. Sunyi pada titik ini bukan berarti tak ada eksistensi, justru eksistensi itu maujud ketika proses berpikir bekerja mencari suatu hikmah di balik selubung kehidupan ini.

Pada gilirannya seseorang berasio memahami suatu hal dengan penuh bijaksana. Mereka digiring pada pergumulan intelektual puncak suluh kebahagiaan berpendar. Ini telah mengingatkan kita pada eudamonia Aristotelian.  Yaitu sebuah hasil  dari perenungan filosofis yang merupakan puncak kebahagiaan yang sanggup mendegradasi kebahagiaan apa pun.

Kendati filsafat berangkat dari domain spekulasi-spekulasi, bukan berarti spekulasi itu dapat dipahami sebagai dugaan-dugaan yang bersifat sembarang atau arbitrer. Justru sebaliknya, filsafat dikenal dengan kesetiaannya menakhtakan prosedur berpikir yang ketat. Dari situ kemudian lahir prinsip-prinsip logika yang pada tataran lebih lanjut melahirkan metode-metode saintifik.

Begitulah laku berfilsafat. Berperan sebagai pembuka wawasan berpikir agar manusia sebagai hewan yang berpikir (al-hayawan an-nathiq) dapat berbuat adil, bijaksana, dan apresiatif dalam meniti berbagai aliran kepercayaan dan agama. Terbukti, sikap sekulerisasi yang memisahkan antara ilmu pengetahuan, agama, dan filsafat menimbulkan krisis mutakhir; kemanusiaan, ekologi, alienasi, dan sebagainya. (hlm 50)

Di titik ini, filsafat Islam berkontribusi besar dalam upaya menyolusi krisis itu melalui dekonstruksi kerangka berpikir transformatif. Salah satunya dengan menawarkan pada  manusia modern pandangan-pandangan dunia yang utuh penuh makna dan holistik. Tentu saja mencakup kajian epistemologi, metafisika, etika, kosmologi, dan psikologi.

Secara eksplisit, simplikasi kajian-kajian tersebut memanifestasi kemanfaatan filsafat Islam. Pertama,  membekali seseorang untuk memajukan sikap kritis. Kedua, dapat mendorong kaum muslim agar benar-benar memahami kompleksitas persoalan dalam upayanya membangun sistem-sistem kehidupan islami. Ketiga, dapat berpartisipasi mencari sistem-sistem terbaik bagi kepentingan semua orang.

Ketiga manfaat filsafat Islam tersebut setidaknya merepresentasikan peran filsafat Islam yang dapat memberi justifikasi logis pada ajaran-ajaran Islam. Sebuah peran yang secara deskriptif elementer berusaha mencirikan pengertian filsafat Islam. Yaitu sebagai suatu cara mendekati ajaran Islam dari luar teks-teks Islam. Tentu untuk mendekati ajaran Islam tersebut, filsafat Islam memaksimalkan potensi akal sebagai karunia terbesar Allah SWT.  

Secara historis genetis, filsafat Islam pada mulanya dikembangkan oleh al-Kindi (801-873) saat berusaha melakukan sistematisasi pada filsafat Islam. Sebelum itu, ada catatan bahwa Iransyahri-lah seorang filosof pertama dalam sejarah Islam. Akan tetapi, karena perannya dalam merumuskan filsafat Islam secara sistematis, maka al-Kindi-lah yang hingga kini kesohor sebagai filosof pertama dalam Islam.

Dalam bukunya Filsafat Pertama (Al-Falsafah Al-Ula), dirinya menunjukkan bahwa concern Filsafat Pertama (metafisika) sesungguhnya sama dengan teologi. Hal ini tidak terlepas dari pemikiran Al-Kindi yang masih dekat dengan teologi Islam yang sudah lebih berkembang dalam dunia pemikiran Islam. Selain itu, dirinya memang dikenal sebagai seorang pengikut Mazhab rasionalistik dalam teologi Islam (Mu’tazili). (Hal-96).   

Pada taraf lebih lanjut, filosof Al-Farabi kemudian melakukan klasifikasi cakupan filsafat Islam yang meliputi filsafat Islam teoretis dan praktis. Teoretis meliputi ilmu-ilmu teoretis ; fisika, matematika, logika, dan metafisika. Praktis meliputi ilmu-ilmu praktis ; etika, ekonomi, dan politik. Begitulah filsafat Islam pada akhirnya mengalami pengerucutan dan spesialisasi hingga berkembang ke dalam disiplin-disiplin.

Selain itu, paradigma filsafat Islam juga banyak mendapatkan pengaruh dari aliran Neo-Platonisme. Sebuah aliran yang dikembangkan terutama oleh Plotinus. Pengaruh ini bersumber pada sebuah ringkasan Ennead karya Plotinus, yang kemudian di salah pahami sebagai karya Aristoteles. Dunia Islam  menganal karya ini sebagai Atsulujia Aristuthalis (Theologia Aristoteles).   

Meski begitu, bagi Haidar Bagir, hal yang demikian tidak dapat dikatakan bahwa jika para filosof Muslim tak menemukan atau menyalahpahami karya Plotinus itu sebagai karya Aristoteles, maka filsafat Islam tak akan bersifat Neo-Platonik, tentu saja sebagai gantinya bersifat sepenuhnya Aristotelian. Salah satu cirinya ialah hylomorfisme (berasal dari kata hyle “materi”, dan morph “bentuk”). (Hal-104)

Menurut prinsip hylomorfisme, semua benda terbentuk sebagai gabungan antara materi dan bentuk. Materi adalah bahan yang merupakan dasar, sedangkan Bentuk merupakan aktualisasi materi. Jadi pada dasarnya, hylomorfisme ini bersifat sepenuhnya materi. Segala sesuatu yang maujud ini menurut Aristoteles bersifat sepenuhnya materiel.

Akhirnya, meskipun tidak secara komprehensif mengkaji filsafat Islam, tetapi sublimasi buku ini bak suluh yang sanggup menerangi wawasan pembaca agar tak mudah terjatuh pada kubangan stigma negatif dunia filsafat, khususnya filsafat Islam. Dilengkapi glosarium istilah-istilah yang familier dengan filsafat Islam serta memunculkan sari-sari utama kajian filsafat Islam membuat pembaca lebih muda mencerna setiap bab-bab yang ada dalam buku ini. []

———————
Muhammad Ghufron, Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di LPM Humaniush

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top