Mengapresiasi Sains dengan Sebagian Kejanggalannya
Oleh Ahmad Farisi
DATA BUKU
Judul: Sumbangsih Darwin untuk Sains dan Agama. Penulis: Francisco Jose Ayala. Penerbit: IRCiSoD. Cetakan: November, 2020. Tebal: 290 hlm. ISBN: 978-623-6699-08-9.
“SAINS sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.” Begitulah sains kata Stephen Hawking. Sains dianggap segala-galanya. Seakan tak ada hal lain-selain sains yang dapat menjelaskan bagian-bagian alam semesta ini selain sains. Karena itu, Haidar Bagir, dalam artikelnya yang berjudul , Ekstrimis Agama Sudah Lumrah. Ekstrimis Sains, waduh! yang termuat dalam buku Sains “Religius”, Agama “Saintifik” Dua Jalan Mencari Kebenaran, yang merupakan buku kumpulan dari artikel-artikelnya bersama dengan Ulil Abshar Abdallah, Haidar Bagir memberi kritik pedas pada statement Stephen Hawking itu.
Menurut Haidar Bagir, dengan berstatement seperti itu, kelesuan Hawking untuk bersusah payah belajar ilmu-ilmu yang tak kalah filosofisnya dalam menguak kebenaran selain sains, yakni filsafat dan agama, misalnya, sangatlah tampak. Begitulah Haidar Bagir melihat si Hawking, yang dengan kata agak kasar—bisa dikatakan sebagai seorang saintis yang pongah.
Jika Stephen Hawking punya nasib demikian di mata Haidar Bagir, maka kurang lebih demikian pula nasib Charles Darwin. Bahkan, boleh dibilang lebih menyedihkan dari nasib Stephen Hawking, yang sepanjang pengetahuan saya hanya dikritisi oleh seorang Haidar Bagir. Sebab, pada perkembangannya, Charles Darwin, dan teori evolusinya, bukan hanya dikritisi, tetapi disejumlah negara , buku-bukunya dilarang beredar. Bahkan, pada tahun 1968, di Amerika Serikat tepatnya, teori evolusi Darwin mendapat pelarangan serius dari Mahkama Agung AS untuk tidak diajarkan di sekolah-sekolah.
Semua itu, disebabkan karena teori evolusi Charles Darwin yang mengatakan bahwa manusia merupakan “tahap akhir” dari evolusi primata. Menurut mereka, kaum agamawan khususnya, selain kesimpulan dari Darwin ini salah, hal lain yang menyebabkan mereka menolak Darwin dan teorinya karena teori Darwin dianggap secara nyata mendustakan dan mengaburkan penjelasan agama tentang asal-usul manusia yang disebut-sebutnya bermula dari manusia pertama bernama ayah Adam dan pendampinya, Hawa.
Bagi kita, dan jelas bagi kebanyakan pula, seperti halnya kesimpulan Stephen Hawking, kesimpulan Darwin tentang asal-usul manusia melalui teori evolusinya memang tampak janggal. Dan, besar kemungkinan memang seperti itulah sains, tampil dengan kejanggalan-kejanggalan yang mau tidak mau harus kita apresiasi sebagai sebuah proses untuk mencari kebenaran. Bahkan, di satu sisi, seharusnya kita bisa terbuka dan berterimakasih kepada saintis macam Charles Darwin ini.
Sebab, dengan Darwin mendeklarasikan teori evolusi yang bagi kita penuh kejanggalan itu, kita menjadi tersadar dan tertantang untuk sekali lagi, atau bahkan berkali-kali untuk membuka lembaran-lembaran teks suci untuk mencari dan mengetahui lebih dalam lagi bagaimana awal mula manusia itu tercipta. Kita bisa membayangkan, bagaimana seandainya jika Darwin tak mendeklarasikan teori evolusinya ini, besar kemungkinan lembaran-lembaran teks suci yang menceritakan awal mula manusia itu tak akan dibuka dan dipelajari secara lebih mendalam lagi. Sebab, tak ada pendapat berbeda yang bisa menantang kita.
Karena itu, sekali lagi, kehadiran sains dan kejanggalan-kejanggalannya harus tetap kita apresiasi. Kita hargai semua itu sebagai sebuah proses berpikir dalam rangka mencari ‘kebenaran’—yang semua kita membutuhkan itu. Sains, dalam mendefinisikan semesta, memang bisa saja salah. Namun, hal itu harus kita maklumi dengan memberikan kritik konstruktif yang tepat agar apa yang hendak dijelaskan oleh sains menemukan titik kebenaran yang pas. Bukan menyalahkan dengan alasan-alasan yang kosong dan kering makna. Apalagi menolak dan tidak menerima dengan alasan-alasan yang bernada permusuhan. Jelas hal itu bukan solusi.
Menurut Francisco J. Ayala, teori Charles Darwin adalah sebuah anugerah untuk sains dan juga untuk agama (halaman 8). Karena itu, harus kita apresiasi dengan tangan terbuka. Pun penuh kejanggalan-kejanggalan di dalamnya. Apresiasi dalam hal ini saya artikan menjadi dua makna: Pertama, mengepresiasi dalam arti sepakat dengan temuan sebuah sains. Dan, kedua, mengapresiasi dengan ketidaksepakatan. Mengeapresiasi dengan ketidaksepakatan dimaksud, sebagaimana saya sebut di atas adalah menghargai temuan sains yang kita tolak dengan kritik konstruktif dan ilmiah. Sebagaimana seorang Haidar Bagir yang tak menyapakati kesimpulan Stephen Hawking dengan setumpuk argumentasi dan kajian ilmiah yang valid. []
———————
Ahmad Farisi, Pembaca buku di Garawiksa Institute Jogjakarta