Kim Ji-Yeong: Menyuarakan yang Terbungkam
Oleh Wahid Kurniawan
DATA BUKU
Judul: Kim Ji-Yeong, Lahir Tahun 1982 (Kim Ji-Yeong, Born in 1982). Penulis: Cho Nam-joo. Penerjemah: Lingliana. Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2019. Tebal: 192 hlm. ISBN: 9786020636191.
FEMINIS Prancis, Simone de Beauvonir, dalam bukunya The Sex Second (1949) pernah melontarkan pernyataan fenomenal: “One is not born, but rather becomes, a woman.” Pernyataan ini, kendati masih memicu polemik dan tak diamini oleh semua orang, tetapi memberi pemahaman atas kedudukan perempuan di masyarakat. Walaupun menyasar status perempuan pada zaman itu, pernyataan ini terkesan relevan sampai hari ini. Perempuan, sebagaimana kata de Beauvonir, tidak terlahir, melainkan dicetak atau dibentuk.
Pembentukkan ini tentu terjadi di ranah sosial, dengan tangan pembentuknya adalah kaum laki-laki, sehingga dapat dikemukakan bahwa kedudukan perempuan acap kali tertindas, keberadaannya kerap kali dikengkang aturan tertentu, dan suaranya sering kali terbenam. Perempuan, masih kata de Beauvonir, berkedudukan di bawah laki-laki. Ihwal kedudukan perempuan inilah yang menjadi muatan kritik utama dari novel karya Cho Nam-joo ini. Menganggit kehidupan perempuan bernama Kim Ji-Yeong dari kecil sampai berkeluarga, penulis menjadikan tokoh utama tersebut representasi dari banyaknya ketidakadilan yang dialami kaum perempuan.
Dunia dalam kehidupan Kim Ji-Yeong adalah seutuhnya dunia misoginis. Bahkan, sistem patriarki itu sudah terlihat dalam keluarga Kim Ji-Yeong. Oleh pandangan masyarakat saat itu, termasuk sang nenek, kelahiran anak laki-laki lebih diharapkan ketimbang lahirnya anak perempuan. Maka tak heran, sewaktu ibunya, Oh Mi-sook, melahirkan adik laki-laki, keutamaan banyak hal dilimpahkan kepada anak itu. Dan di bagian ini, penulis menggambarkan bahwa bagi sang nenek, Kim Ji-Yeong dan kakak perempuannya “bukan siapa-siapa” dan mereka dilarang menginginkan apa yang menjadi milik cucu laki-lakinya yang berharga itu.
Hal serupa terus saja mengekor kehidupan Kim Ji-Yeong, termasuk tatkala ia duduk di bangku SD. Masalah yang melibatkan kenakalan seorang teman laki-lakinya, justru dianggap hal biasa oleh gurunya. Bahkan, kepada Kim Ji-Yeong, si guru justru mengatakan kalau teman laki-lakinya itu menyukainya. Hal itu sungguh tak dimengertinya, sebab kalau temannya itu menyukainya, bukankah seharusnya ia tak diganggu terus-terusan? Di bagian inilah, penulis seolah menunjukkan kalau permasalahan penindasan semacam itu hanya dianggap persoalan selintas lalu pada masa itu. Tak lebih sebagai permasalahan sesama anak-anak yang tak perlu dikhawatirkan lebih jauh. Padahal, hal tersebut memengaruhi Kim Ji-Yeong dalam sisi psikologisnya, yakni tumbuh keminderan dan rasa tak percaya diri dalam dirinya.
Perlakuan tak jauh berbeda juga terjadi sewaktu ia duduk di bangku SMA. Saat itu, ia merasa terancam oleh kehadiran seorang pemuda yang tidak dikenalnya di perjalanan pulang. Namun, saat Kim Ji-Yeong melaporkan hal tersebut kepada ayahnya, ia justru diomeli dan dianggap mencari masalah sendiri dengan pulang malam-malam. Padahal, saat itu ia pulang dari les privat. Pada bagian ini, barangkali kita tak asing dengan apa yang dialami Kim Ji-Yeong, yakni apabila terjadi suatu kasus pelecehan seksual, hal yang lebih dulu dipermasalahkan adalah kaum perempuan: Pakaian apa yang dikenakan, keluar sendiri di malam hari, atau kurangnya kehati-hatian.
Tak sampai di situ, kritik novel Cho Nam-joo ini terus menderas sepanjang halaman. Dengan ketipisan halamannya, ia mengupas perilaku di masyarakat yang mendiskreditkan kedudukan perempuan. Itu setidaknya sangat terlihat ketika Kim Ji-Jeong tengah menempuh pendidikan universitas. Di kala itu, kakak seniornya merpertanyakan kebijakan universitas yang selalu mengedepankan mahasiswa laki-laki apabila hendak merekomendasi seorang mahasiswa ke suatu perusahaan. Namun, sang dekan menohok dengan jawaban, “Perusahaan akan merasa terbebani apabila seorang wanita terlalu pinar. Coba lihat sekarang, apakah kau tahu betapa mengintimidasinya dirimu?” (hlm. 96)
Benar, bagi sang dekan, keberadaan perempuan yang mumpuni dengan kecerdasan, keterampilan, dan kemampuan tertentu justru dianggap sebuah momok. Dari situ, tampak jelas, penulis menyoroti superioritas dari kaum laki-laki yang sering kali merugikan para perempuan. Di dalam novel, kakak senior Kim Ji-Yeong yang seharusnya mendapatkan kesempatan itu, malah terdepak akibat stigma sang dekan tadi.
Namun begitu, kendati penuh berisikan kritik ketidaksetaraan gender, novel ini bukan novel bertemakan feminisme biasa. Cho Nam-joo secara mendalam mendedahkan tentang kebisuan yang acap terjadi di sekitar kita. Tokoh Kim Ji-Yeong pun tampak menjadi sebuah ironi, yakni mereka yang mengetahui ketidakadilan dan ketidakpantasan terjadi di suatu tempat, tetapi karena desakkan pengaruh di sekitarnya, lambat laun menjadikan mereka diam sama sekali. Bagi Kim Ji-Yeong, ia tahu dengan sadar kalau praktik-praktik tertentu yang terjadi di sekitarnya sungguhlah salah. Namun, selalu saja, suara pemberontakkan hanya berhenti di benaknya saja. Kim Ji-Yeong adalah wujud suara yang terbungkam oleh sistem tadi.
Apa dengan begitu ia kalah? Untungnya, pembungkaman itu tidak dialami oleh semua perempuan yang hadir dalam novel ini. Melalui Kim Ji-yeong, tampaklah penyuaraan ketidakadilan yang mendera hidup perempuan itu. Suara-suara ini hadir mulai dari sang ibu, teman SD-nya, sampai rekan kerjanya. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila menganggap bahwa melalui karyanya, Cho Nam-joo ingin memancing para pembacanya untuk menyikapi ketidakadilan ini. Dari pendedahan seberagam wujud dari ketidaksetaraan tersebut, kita seolah diajak untuk turut bersuara atas wujud ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Lebih dari itu, dengan penggambaran yang sangat realistis, penulis berhasil menjadikan tokoh novel ini terasa dekat. Baik dari kedekatan identitas, status, persoalan, dan perjuangannya. Kim Ji-Yeong pun menjadi sosok yang mewakili dan mengundang simpati. Ia berdiri di tengah-tengahnya. []
———————
Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.