Pustaka

Jarak Kenyerian Sejarah

Oleh Indarka PP

DATA BUKU
Judul: Sejarah Nyeri. Penulis: Yuditeha. Penerbit: Marjin Kiri, Tangerang.  Cetakan: Pertama, November 2020. Tebal: 128 halaman. ISBN: 978-602-0788-07-4.

LAKU manusia dalam bentang waktu tak ubahnya riwayat hidup. Sejarah mencatat sebagai kerja kolektifnya. Kita mesti(nya) tahu, bahwa sejarah bukan sebatas perihal asal dan usul. Lebih dari itu, sejarah adalah segala yang terjadi pada masa silam yang terlingkup ruang dan waktu. Ia diwartakan kembali dengan gamblang, lalu ditransformasikan secara informatif. Atau bahkan, pada tahap tertentu, sejarah amat berguna sebagai pembelajaran hidup manusia.

Sejarah memang terdiri dari banyak unsur yang saling kelindan dan menguatkan. Ia mengandung jawaban dari kata tanya ‘kapan, di mana, siapa, mengapa, dan bagaimana’.  Kita patut memberi apresiasi pada kerja sejarah atas hal ini. Sebab tanpa sejarah, bisa jadi manusia hidup dalam kepongahan tanpa memahami apa yang dinamakan ‘belajar dari masa lalu.’

Belajar dapat dilakukan melalui media apa saja. Dalam hal ini, belajar sejarah memiliki kebaruan yang masih jarang kita jumpai: belajar sejarah melalui sastra. Pada dasarnya sastra memang sarat akan kefiksian, yang lazimnya dipahami sebagai hasil rekaan belaka. Kendati begitu, rasanya penting untuk dipertanyakan: fiksi tidak lahir dari ruang hampa, bukan? Fiksi dapat lahir dari sekat yang samar dan acap luput dari pembacaan seseorang. Tetapi bagi Yuditeha, sekat tipis itu dapat dibaca dengan baik, lantas menghasilkan karya yang layak diperhitungkan.

Buku Sejarah Nyeri besutan Yuditeha merangkum 19 cerita yang berkenaan dengan sejarah (baca: peristiwa silam). Lebih spesifik, buku ini mengisahkan kegetiran hidup manusia, meskipun ada pula kisah bersimpul bahagia. Adapun kata ‘nyeri’ dipakai Yuditeha untuk menegaskan kesan yang melekat seusai membaca setiap cerita karangannya. Hal demikian bisa kita dapati pada pengantar yang hanya sekelumit kalimat itu: Nyeri adalah isyarat pertama, kita akan terus bernyawa atau mati ditelan bumi.

Seperti cerita Sejarah Kunang-Kunang. Berkisah seorang perempuan yang saban hari duduk di sebuah taman, dan selalu bercerita pada temannya bahwa cita-citanya sama dengan deritanya. Anggapan tersebut muncul setelah peristiwa geger Mei melanda dirinya. Cita-cita perempuan itu terbilang konyol, yaitu mewarnai kunang-kunang. “Lampu kunang-kunang itu menyimpan imajinasi. Tak terbatas. Kau bisa melihat lampu kunang-kunang itu tanpa berkedip. Tapi sayang…” Bicaranya terputus. “Yang kusayangkan, lampu kunang-kunang itu tidak berwarna-warni. Lampu kunang-kunang hanya satu warna. Neon saja bisa warna-warni, masa lampu kunang-kunang tidak bisa?” (hlm. 29).

Taman di mana perempuan itu duduk, dulunya berbentuk rawa-rawa. Dulu, kunang-kunang sering datang memendar-mendarkan cahaya terhadap gelapnya malam. Sekarang, kunang-kunang tak pernah muncul lagi. Tugasnya telah tergantikan dengan lampu-lampu yang tentu lebih terang. Cita-cita perempuan tersebut memang tidak masuk akal. Kendati begitu, jika mengingat ucapannya tentang peristiwa Mei yang menimpanya, agaknya dapat kita maklumi. Terlebih, pada akhir cerita kita mendapati keterangan perihal siapa sesungguhnya yang sudi menemani perempuan itu. “Dan mungkin seperti dugaan kalian, mengapa aku tidak pernah sekali pun mencoba menolak mendengarkannya, atau lebih ekstrem lagi hengkang dari sisinya, tentu saja kalian sudah mengerti, bahwa aku hanyalah sebuah patung duduk di taman ini.” (hlm. 31).

Setelah membacanya, kenyerian kita mencuat lantaran rasa emosional. Kisah tersebut beranasir bayang-bayang muram ihwal sejarah hidup yang tak lantas hilang ditelan waktu. Ia terpatri pada embusan-embusan napas atau pada denyut-denyut nadi. Yuditeha nyaris sempurna meracik nyeri, andai ia menggamblangkan geger Mei apa yang dimaksud dalam ceritanya itu. Tetapi kita pun mafhum, tidak ada kewajiban merinci segalanya. Tugas pengarang telah rampung. Adapun sisanya menjadi tugas pembaca dalam ranah interpretasi.

Kemudian kita beranjak pada cerita Sejarah Nyeri, cerita yang paling bertanggung jawab atas buku ini. Yuditeha (lagi-lagi) merangkai cerita yang berkorelasi dengan kelamnya Reformasi 1998. Yuditeha mencipta tokoh ‘aku’ sebagai gadis yang dari kecil diasuh oleh ibu angkat, sebab ibu kandungnya sebenarnya tidak menginginkan kehadirannya di dunia. Kata ibu (angkat), pada kenyataannya kehadiranku di rahimnya adalah sebuah malapetaka bagi perempuan itu (ibu kandungnya). ‘Aku’ bersikap ingin mengutuk ibu kandungnya. Saat ibu mengatakan bahwa perempuan yang melahirkanku pernah beberapa kali ingin melenyapkanku pada saat aku masih di rahimnya, spontan ada keinginan di hatiku untuk mencari perempuan itu dan jika telah bertemu, aku akan mengatainya dengan sumpah serapah. (hlm. 58).

Mari jeda sejenak. Seorang anak yang geram terhadap ibunya karena berupaya membumihanguskannya bahkan sebelum ia menghirup udara di bumi (dunia). Sebuah sikap manusiawi yang timbul dalam lingkup ke-mainstream-an kita-kita. Pada bagian ini, Yuditeha menawarkan dua pilihan kubu yang berhak kita pilih: membela sang anak atau membenarkan sang ibu. Sebagai pengarang, sebenarnya sah-sah saja jika Yuditeha menggiring kita pada satu kubu yang dikehendakinya. Tetapi ia tidak melakukan hal itu. Ia memilih bercerita dengan porsi ‘antara’, sehingga membebaskan kita – jika ingin – berpihak.

Melanjutkan kisah yang terjedakan. Kearifan ibu dalam bertutur membuat anak angkatnya tersadar bahwa apa yang ia yakini adalah kekeliruan. Ibu angkat menerangkan bahwa ibu kandung anak itu merupakan korban keberingasan para perusuh. Saat itu ibu kandungnya mengalami penculikan sekaligus diperkosa. Senyatanya, nyawa yang bersemayam dalam janinnya kala itu, semata-mata bukan kekhilafan pribadi sang ibu kandung, melainkan tragedi kemanusiaan yang berlatar diskriminasi terhadap etnis tertentu. Bahkan ketika ibu angkat menjawab pertanyaan tentang siapa nama ibu kandungnya, serapah yang dari awal dipendam, luruh seketika. “Ling,” jawab sang ibu angkat.

Luapan klimaks ini terletak pada detik-detik sebelum cerita Sejarah Nyeri pungkas. Sebuah teknik menutup cerita yang membuat kita terlegakan. Maka menjadi masuk akal jika Sejarah Nyeri dinobatkan Yayasan Bhineka Nusantara sebagai juara dalam lomba cerpen nasional bertema ‘Tragedi 1998’.

Dalam serangkum cerita-cerita pendeknya, Yuditeha masih konsisten pada gaya kepenulisan yang tak mengundang kerut kening pembaca. Alih-alih memakai metafor selangit, Yuditeha menekankan cerita yang kasual, sehingga dapat dipahami dengan mudah. Pengarang satu ini bisa dibilang berhasil menghadirkan rasa nyeri. Sampai-sampai pada penemuan bahwa jarak kenyerian sejarah itu hanya setipis satu eksemplar buku. []

—————-
Indarka P.P., Alumni Fakultas Syariah IAIN Surakarta, bermukim di Telatah Kartasura.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top