Pustaka

Integrasi Dialektis Ilmu dan Adab

Oleh Moh. Rofqil Bazikh

DATA BUKU
Judul: Adab di Atas Ilmu. Penulis: Imam Nawawi. Penerjemah: Hijrian A. Prihantoro. Penerbit: Diva Press. Cetakan: Januari 2021. Tebal: 200 hlm.

TUNTUTAN mencari ilmu sudah postulat yang termaktub di dalam teks keagamaan. Baik al-Quran maupun hadits begitu kentara mendudukan posisi orang yang mencari ilmu. Allah akan mengangkat derajat orang yang menuntut ilmu setinggi-tinggi. Hal itu, dilegetimasi oleh diutusnya nabi dan contoh yang diberikan olehnya. Nabi sendiri diutus juga untuk menyempurnakan akhlak. Sementara, akhlak atau etika itu sendiri masih berkaitan erat dengan ilmu.            

Pada dasarnya, ilmu itu secara eksplisit hendak merekonstruksi akhlak. Karena, pengetahuan dan ilmu yang paling puncak justru berdampak pada perubahan tingkah laku. Ilmu yang tidak dapat diaplikasikan dan mengubah pemiliknya, hanyalah nonsens belaka. Ilmu menjadi hal yang sia-sia apabila tidak dapat memberikan apa-apa di wujud konkretnya. Kita, akan menemukan titik temu antara ilmu dan implementasi dari ilmu itu sendiri.

Dalam persoalan mutakhir, dapat dijumpai krisis etika. Sekitar dua tahun lalu, seorang guru dianiaya siswanya hinga menghembuskan nafas terakhir. Apapun alasan yang mendasari hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Apalagi, cuma mengoretkan cat kepada murid(yang sengaja tidur) karena sang guru adalah pengajar mata pelajaran kesenian. Sungguh miris ketika dicerna dengan akal sehat, hal tersebut semestinya tidak terjadi. Di lingkungan sekolah yang notabene adalah tempat mencari ilmu, sama sekali tidak bisa mensinergikan dengan etika.

Lagi-lagi dari kasus tersebut seolah-olah citra ilmu sudah gagal. Tetapi, kegagalan itu sejatinya bukan kegagalan ilmu, melainkan kegagalan dari pemiliknya. Ia hanya menjadikan ilmu yang selama ini diajarkan hanya berpusat pada otak, bukan pada gerak anggota badan. Sama sekali tidak ada implementasi dari eksistensi ilmu dalam dirinya.

Sejujurnya jauh-jauh sebelum itu, Imam Nawawi sudah menulis ihwal etika dan ilmu itu. Karena kesadaran yang mendorongnya, yakni integrasi antara kedua hal tersebut. Imam Nawawi juga bukan orang asing, utamanya dalam khazanal intelektual Islam. Berkat penguasaan dan kepedualiannya terhadap ilmu-ilmu agama, ia kemudian medapat gelar “muhyi ad-din”. Dalam terjemahan literarnya, sang penghidup ilmu agama. Hal yang juga menarik dari Imam Nawawi adalah dirinya yang memilih untuk menjadi bujang. Hal itu menunjukkan betapa kecintaannya pada ilmu mengalahkan pada apapun. Ditambah lagi, nikah yang ditinjau dari segi leksikal memang sunnah.

Di awal, Imam Nawawi menjelaskan tentang posisi niat, keteguhan dan kejujuran. Sengaja Imam Nawawi memulainya dengan niat karena mengikuti ulama-ulama sebelumnya. Tidak sedikit riwayat yang menyebutkan bahwa ulama salaf memulai karangan mereka dari pembahasan mengenai niat. Kemudian, diikuti dengan hadits nabi tentang niat tersebut. Hal itu mereka lakukan sebagai fondasi betapa penting menjaga kesahihahan niat(hal.30).

Serta, Imam Nawawi juga menjabarkan secara panjang lebar fadilat dari ilmu itu sendiri. Upaya untuk mengintegrasikan ilmu dan adab juga menjadi pokok bahasan di sini. Sebagaimana di sebutkan di awal, antara ilmu dan adab memang tidak pernah bisa dipisahkan. Ilmu menjadi sebuah konsepsi, sementara adab berada di ranah implementasi.

Di bagian tengah penulis juga menjelaskan ilmu-ilmu yang secara khusus memang dianjurkan oleh syarak. Serta, ilmu-ilmu yang tidak secara terang diperintahkan oleh syarak. Tetapi Imam Nawawi tidak hendak mendikotomi keduanya. Melainkan hanya pada taraf diperintah secara jelas oleh agama atau pun tidak.

Meski buku ini terjemahan, tetapi jauh kesan dari kaku. Dengan gaya berbahasa yang cukup lihai, penerjemah mampu melenturkan proses terjemahan. Tidak ada kesan yang seolah-olah membuat terjemahan ini terasa leksikal sekali, karena kebebasan yang dilakukan penerjemah. Selain, buku ini juga menghidupkan dialektika antara ilmu dan etika, terdapat banyak hal-hal lain di dalamnya. Utamanya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan proses mencari ilmu.

Dinamika selalu ada dalam perjalanan mencari ilmu. Banyak hal yang terjadi ketika sedang dalam proses mencari tersebut. Buku ini juga berusaha untuk merekam serta mencarikan solusi yang tepat. Baik, bagi orang yang mencari ilmu maupun orang yang menjadi pendidikan dalam proses menuntut ilmu. Kedua kubu yang sama-sama tidak boleh dipisahkan karena kedudukan yang sangat urgen. Persoalan-persoalan lain secara terus akan tumbuh. Dan buku ini diharap menjadi jalan terang untuk selalu menjawab tantangan dan berbagai macam persoalan. []

————————–
Moh. Rofqil Bazikh, Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga, pegiat literasi di Garawiksa Institute Yogyakarta.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top