Hukum Mati Bukan Vaksin Korupsi

Oleh Yusril Izha Mahendra
BERDASARKAN Laporan Tren Penindakan Korupsi Semester 1 Tahun 2020 yang dipublikasikan Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat setidaknya 169 kasus korupsi berdasarkan modus yang digunakan dengan kerugian negara mencapai Rp.18,1 Triliun, dari jumlah tersebut modus paling dominan yaitu penggelapan dan mark up dengan masing-masing sebanyak 47 dan 33 kasus. Bila ditinjau lebih lanjut dengan membandingkan jumlah kasus dan kerugian yang diakibatkan dapat dikatakan tahun ini meningkat cukup signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Pada semester 1 tahun 2018 terdapat 139 kasus korupsi dengan kerugian negara Rp. 1.07 Triliun, sedangkan semester 1 tahun 2019 kasus korupsi mengalami penurunan namun sebaliknya jumlah kerugian negara meningkat, yaitu 122 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp.6,92 Triliun.
Tidak termasuk dalam hitungan data di atas, menjelang akhir tahun publik cukup dikagetkan dengan beberapa kasus korupsi yang terjadi. Selain jumlahnya yang besar dan latar belakang dari pelaku korupsi tersebut. Namun, juga dana yang mereka salah gunakan untuk kepentingan pribadi. Pertama adalah menteri KKP Edhy Prabowo dalam kasus korupsi ekspor benih lobster. Kedua adalah menteri sosial Juliari Batubara dalam kasus bantuan sosial Covid-19.
Tidak keliru bila kemudian korupsi menjadi bahan perbincangan semua kalangan dengan basis data maupun bumbu-bumbu emosi setiap individu mulai dari tingkat keluarga hingga tingkat elite pemerintah negara. Dari perbincangan-perbincangan tersebut timbul beberapa pertanyaan mendasar seperti, sejak kapan korupsi muncul dan kapan akan berakhir. Mengacu pada pendapat yang dikemukakan Lord Acton yaitu power tends to corrup,absolut power corrupts absolutely, sehingga jawaban yang cukup realistis adalah korupsi telah ada dan dipraktikan sejak manusia mengenal kekuasaan dan mempunyai kesempatan menyalahgunakannya dan akan berakhir bersamaan dengan berakhirnya pula manusia.
Korupsi itu Virus?
Bila kemudian kita analogikan korupsi dengan virus, pertanyaan yang cukup relevan untuk diperbincangkan adalah vaksin apa yang diperlukan dan berapa tingkat efektivitasnya, seperti halnya vaksin virus Corona Sinovac, Novavax, AstraZeneca dan Pfizer yang memiliki tingkat efektivitas berbeda.
Tidak sedikit yang menawarkan atau merekomendasikan hukuman mati untuk pelaku korupsi khususnya kasus dengan skala atau keadaan tertentu. Namun pertimbangan pertama apakah hukuman mati tersebut efektif atau sebatas luapan emosi? persoalan tersebut dapat kita jawab secara empiris dari negara-negara yang lebih dahulu memberlakukan hukuman mati bagi koruptor.
Sebagai salah satu negara yang konsisten sejak lama memberlakukan hukuman mati bagi koruptor nyatanya masih membuat Cina tidak terbebas dari permasalahan korupsi namun kebalikannya. Hal ini dibuktikan dengan jumlah kasus korupsi yang meningkat setiap tahunnya, dapat dilihat dari tahun 2016-2019 yang masing-masing 413.000 kasus, 527.000 kasus, 638.000 kasus dan 619.000 kasus (sumber: Statista). Kesimpulan yang tidak berbeda pun dapat kita dengan menggunakan ukuran Indeks Persepsi Korupsi (ICP) 2019 yang diterbitkan Transparency International, Cina berada pada peringkat 81 dengan skor 41.
Di Indonesia pun sama, dengan dasar instrumen UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tertulis dalam pasal 2 ayat 2 menyebutkan secara eksplisit bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan bagi palaku korupsi dalam keadaan tertentu. Tidak mampu menekan lonjakan kasus korupsi setiap tahunnya.
Hal sebaliknya bila kita melihat negara-negara dengan skor ICP tertinggi seperti Denmark, New Zealand Finlandia dan negara lainnya yang masuk dalam 20 besar tidak memberlakukan hukuman mati bagi koruptor. Sehingga untuk sementara dapat disimpulkan bahwa menjadikan hukuman mati sebagai vaksin utama virus korupsi memiliki tingkat efektivitas yang rendah.
Gagal Merumuskan Masalah
Salah satu penyebab dari gagal atau tidak optimalnya pemberantasan korupsi di Indonesia adalah gagalnya memecahkan atau merumuskan masalah (sumber dan instrumen) secara tepat serta mekanisme memerangi korupsi masih didasari “persepsi” bukan “informasi objektif”. Bila kita menggunakan kerangka analisis ekonomi politik sumber korupsi mencakup 2 hal pokok yaitu kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit. Sementara itu instrumen korupsi umumnya menggunakan mekanisme patronase politik dan penyalahgunaan kekuasaan. Dari interaksi masing-masing sumber dan instrumen tersebut menghasilkan klasifikasi : 1) Manipulasi dan suap, 2) mafia dan faksionalisme, 3) kolusi dan nepotisme, 4) korupsi terorganisirdan sistemik (Susan Rose-Ackerman of Yale University, 1997, Michael Johnston of Colgate University, 1997).
Berdasarkan klasifikasi tersebut mayoritas kasus korupsi yang terjadi masuk dalam golongan manipulasi dan suap yaitu hasil interaksi penyalahgunaan kekuasaan dan hegemoni elit. Ciri yang paling menonjol dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut adalah pejabat pemerintah tingkat rendah. Kemudian contoh klasifikasi korupsi terorganisir dan sistemik yaitu kasus korupsi yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara, yakni interaksi antara kekuasaan kelompok elit dan patronase politik. Intinya adalah bahwa kekuasaan kelompok kepentingan, elit kuat mempengaruhi formulasi kebijakan, mengeksploitasi kepentingan ekonomi, pelaksanaan kebijakan dan mengkapitalisasi kemiskinan. Kelompok yang terlibat dalam korupsi tersebut terdiri dari golongan elit kuat, melekat pada kekuasaan, berdisiplin tinggi dan hierarkis.
Perang besar melawan virus korupsi saat ini dapat dimulai dari pembenahan institusi atau aransemen kelembagaan yang harus diperjuangkan sebab ia tidak akan membaik dengan sendirinya atau datang dari langit (spontaneous gifts). Sebab salah satu pemicu atau faktor yang mendorong untuk melakukan tindakan korupsi adalah birokrasi yang kaku, terlalu terpusat dan tidak jujur. Hal tersebut selanjutnya dapat mengakibatkan proses lebih lama, birokrasi yang lambat, dan mengakibatkan waktu dan biaya lebih yang harus dikeluarkan. Akibat dari faktor tersebutlah kelompok atau pihak yang dapat disebut Grease the wheel hypothesis (GWH) menyebut korupsi sebagai pelumas (oli) yang berdampak positif. []
——————
Yusril Izha Mahendra, Mahasiswa Ekonomi Pembangunan FEB Universitas Lampung.
