Cerita Pendek

Di Way Kulur, Tak Ada Lagi yang Kucari

Cerpen Mahan Jamil Hudani

SUARA gemericik air yang mengalir dan menghantam bebatuan itu kini terasa mencekam, menenggelamkanku dalam kesepian, kehilangan, dan kenangan. Lenguhan suara sapi yang kini tak ada lagi, tergiang-ngiang kembali.

Way Kulur, begitu nama sungai ini. Saat aku masih di bangku SD, aku sering bersama teman-teman mandi di sungai ini. Beberapa perempuan desa juga sering mencuci pakaian di sini. Sementara di bagian bawah tempat biasa kami mandi dan mencuci pakaian, orang-orang kampung juga sering memandikan sapi-sapi mereka di sana. Kau yang tinggal di kampung, di sebuah kaki gunung, mungkin memiliki cerita seperti ini, menjadikan sungai tempat mandi dan mencuci. Lebih dari itu, sungai bahkan bisa menjadi tempat pertama kali cinta bersemi.   

Way Kulur adalah sungai pembatas dua kampung, Kampung Subik dan Bedeng Empat. Warga dua kampung sering menjadikan Way Kulur untuk beraktivitas namun lebih banyak warga Kampung Subik yang mandi di sini. Subik  adalah desa besar dibanding desa-desa lainnya di kaki gunung ini. Dulu di kampung ini belum ada listrik dan kran air. Banyak warga hanya memiliki sumur di rumah mereka. Sumur itu memiliki kedalaman delapan hingga sepuluh meter. Tentu cukup melelahkan jika orang-orang harus menimba air dengan kerekan dan ember. Sungai menjadi tempat yang mengasyikkan untuk mencuci tak hanya pakaian tetapi juga barang-barang dapur seperti panci, wajan, piring, gelas dan banyak lainnya. Kau mungkin berpikir tentu lelah juga membawa barang-barang cucian itu. Tidak, banyak warga kampung membawa barang-barang itu dengan gerobak cukup besar yang ditarik sapi. Gerobak-gerobak itu biasanya untuk mengangkut karung-karung padi saat musim tiba. Para lelaki dewasa, sambil mengantar istri atau anak mereka mandi dan mencuci, mereka akan sekalian memandikan sapi-sapi mereka. Para lelaki itu akan mengobrol satu sama lain di bagian bawah setelah memandikan sapi dan mandi sambil menunggu panggilan para istri jika telah selesai mencuci. Pagi dan sore hari sungai ini akan ramai didatangi warga kampung. Pada bagian lain di aliran sungai ini, banyak pula warga sering memancing ikan. Betapa mudah orang mendapat ikan gabus, petok, sepat, mujair, atau baung, juga ikan kecil yang kami sebut seluang. Aku juga dulu sering memancing di aliran Way Kulur ini.

Di sinilah aku pertama kali mengenal Evianti, perempuan kampung sebelah, Kampung Subik. Hampir setiap sore aku mandi di sungai. Tak hanya menatap air yang bening, tapi juga menatap kulit Evianti yang kuning langsat dan bersih. Ia sering mandi dengan balutan kain panjang yang kami sebut sampang, kadang juga berkain jarik. Memang Evianti mandi tak setiap sore, biasanya ia datang ke sungai dua kali dalam seminggu, aku perhatikan itu setelah beberapa bulan. Lalu setelah tiga tahun, saat aku naik di bangku kelas enam, barulah aku memiliki keberanian mengajaknya berbincang dengan malu-malu, bukan berbincang sebenarnya, tapi hanya menyapa. Setelah itu aku sering melihat pipinya yang putih tersipu. Saat itu aku dengan lugu berkata padanya, “Kamu cantik sekali, Vi.” Ia lalu berenang ke tepi, dan aku melihat ia berbisik dengan Nur, temannya, mengatakan bahwa aku telah merayunya, mereka lalu tertawa malu. Selama setahun sepanjang aku duduk di kelas enam, hal itu sering kuulang, dan rona merah di pipi Evi tak pernah hilang. Aku bawa pulang hingga beberapa hari menjelang, saat ia akan kembali datang ke sungai yang mengalir panjang.

Lulus SD, ayah mengirimku sekolah ke pesantren di sebuah pulau seberang. Aku tak berani pamitan langsung dan berbincang pada Evianti, tapi aku beranikan diri memberikan sepucuk surat padanya yang aku titipkan pada Nur, sahabat Evi, sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan kampung ini. Begitulah hari demi hari aku lewati dengan rona pipi merah di paras Evianti. Setelah itu aku memang tak pernah melihatnya lagi. Saat di pesantren, ayah tak mengizinkanku pulang selama tiga tahun hingga lulus SMP. Terasa kejam, ayah ingin aku benar-benar menjadi pribadi yang mandiri dan berhasil nantinya. Saat aku lulus SMP, aku berkesempatan pulang selama dua minggu. Aku pergi ke Way Kulur, tapi tak kujumpai Evianti. Aku mencari tahu keberadaan Evi, menurut Nur yang kutemui, Evi pada saat yang bersamaan sedang berlibur ke rumah neneknya di dusun.

“Sampaikan salamku pada Evianti ya, Nur,” aku mengatakan itu sambil malu-malu. Hanya sedikit kalimat yang mampu kusampaikan padahal betapa banyak yang ingin kutumpahkan, Nur juga hanya mengangguk. Semasa SMA, aku juga hanya pulang sekali. Ayahku memang mendidkku benar-benar untuk menjadi pribadi mandiri. “Sebagai santri, kau memang harus sungguh-sungguh belajar, ayah dan ibu yang akan datang menengokmu setiap tahun,” kata ayahku mantap dan aku hanya mengiyakan meski rinduku pada Evianti sangat dalam menghujam.

Begitulah aku tak mengenal kata pacaran selama di pesantren. Tapi aku tak pernah merasa itu sebagai beban. Way Kulur dan paras Evianti dengan pipi tersipu mengisi hatiku. Entahlah seperti apa dia kini. Aku menyibukkan hari-hariku dengan kitab-kitab dan buku sebagai pengobat rindu.

Lulus SMA, aku melanjutkan perguruan tinggi dan tetap menjadi seorang santri. Pada semester lima, aku bahkan diminta Pak Kyai tempatku mondok untuk ikut mengajar SMP di almamaterku. Pada saat aku duduk di semester enam, sungguh suatu peristiwa yang tak pernah kusangka itu terjadi. Peristiwa penuh makna yang kemudian menjadi pukulan yang sangat mengejutkan sekaligus menyakitkan. Aku mendapat surat dari Evianti. Surat pertama sekaligus surat terakhir.

***

Evianti ternyata sering menantiku datang lagi ke Way Kulur untuk mandi. Tiga tahun selama masa SMP, Evi sering ke sungai itu. Ia tentu tahu jika aku telah pergi jauh untuk mondok dari surat yang kuberikan saat pamitan. Ia menyimpan semua rasa itu dengan malu-malu seperti dulu. Saat Nur datang pada Evianti menyampaikan salamku, ia sangat senang ketika itu, namun ia sangat menyesalkan kami tak sempat bertemu. Ia makin rajin mandi ke Way Kulur saat SMA, ia merasa yakin jika aku menyimpan rindu dan suatu ketika pasti akan datang lagi ke kali itu.

“Gemuruh air Way Kulur seolah menggemakan kalimat yang kau ucapkan padaku dulu, San. Begitu juga suratmu yang dulu kau berikan namun belum sempat kubalas karena kau telah pergi jauh. Aku sering membacanya berulang-ulang,” tulis Evi. Meski selama SMP dan SMA aku tak pernah datang ke sungai, Evianti mencoba memaklumi semua. “Sebagai seorang santri yang bertekat sangat kuat mengejar cita-cita, Kau pasti sungguh-sungguh dalam belajar, itulah mengapa Kau tak pernah pulang. Tapi pada akhirnya aku harus menyerah pada keadaan,” lanjutnya. Evianti lalu panjang lebar menulis tentang perasaannya yang ia simpan dalam-dalam. “Hasan, satu yang mungkin kau juga tahu, sebagai gadis desa, aku tentu sangat menjunjung norma dan etika.” Bagi Evianti ia tak mungkin mengatakan perasaannya padaku saat itu, itulah mengapa ia hanya bisa menunggu. Hingga akhirnya ia tak kuasa menolak keinginan orangtuanya menikah saat usianya telah menginjak usia duapuluh. Di kampung kami, banyak anak perempuan memang menikah pada usia terbilang muda.

Begitulah akhirnya Evianti menikah dengan pemuda di desanya. Suratnya itu mengabarkan hal itu sambil ia mohon doa restu. Ia berkata jika ia tahu alamat pondok pesantrenku dari Joko tetangga dan teman mainku yang sering mandi juga di Way Kulur. Membaca surat Evi, aku sesungguhnya terpukul juga, tapi aku memang tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengikhlaskannya sambil berdoa untuk kebaikan rumah tangganya.

***

Way Kulur telah berubah. Tak ada lagi orang mandi dan mencuci pakaian di sini. Bahkan tak ada lagi gerobak dan sapi yang dimandikan seusai orang-orang pergi ke sawah lalu mengantar anak dan istri. Di sekitar sungai telah banyak ditumbuhi ilalang dan rerumputan tinggi yang susah dilalui. Dulu di tempat itu, di samping atas sungai, ada tanah lapang tempat orang-orang menaruh gerobak sapi dan sebagai jalan masuk menuju sungai, kini juga telah berubah menjadi belukar.

Warga Kampung Subik yang dulu paling ramai mandi ke sini, kini lebih senang mandi di rumah dengan kran dan bak mandi karena listrik telah lama masuk desa. Kampung Subik bahkan mengalami kemajuan yang luar biasa. Rumah-rumah megah, kendaraan pribadi yang menggusur gerobak dan sapi, jalan batu yang berubah aspal, juga pembangunan infrastruktur lain yang luar biasa. Mini market, pasar modern, dan wahana wisata alam juga telah membiarkan Way Kulur menjadi seolah alas tak bertuan.

Aku menatap semua dari agak kejauhan. Sungguh awalnya aku ingin sekali mandi di sini setelah sekian tahun tak kemari. Air Way Kulur bahkan kini telah berubah keruh. Kutatap rona kekecewaan di paras perempuan tersayang di sebelahku, Evianti. Aku sering menceritakan padanya tentang sungai yang jernih tempat orang biasa mandi, gerobak dan sapi.

“Ayah, berarti kita tak jadi mandi di sungai dong?”

“Tidak sayang, Evi tak marah kan?” Ia tersenyum manis sambil menggelengkan kepala tanda tak mengapa, ia mencoba menutupi rasa kecewanya. Eviantiku sayang memang sungguh perempuan yang sabar, padahal ia sudah meembayangkan mandi di sungai yang airnya bening yang sering kuceritakan padanya selama beberapa tahun. l

Peninjauan, Desember 2020

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top