Pustaka

Dapur Kepenulisan Mahfud Ikhwan

Oleh Adib Baroya Al Fahmi

DATA BUKU
Judul: Cerita, Bualan, Kebenaran: Mahfud Ikhwan dan Cerita-cerita yang Ditulisnya. Penulis: Mahfud Ikhwan.  Penerbit: Tanda Baca. Tebal:  vi + 144 hlm.  Cetakan: Pertama, September 2020. ISBN:  978-623-939-771-5.

MAHFUD Ikhwan kembali menyapa kita. Tidak dengan catatan-catatan sepakbola, esai mengenai film India, atau prosa. Kini, Mahfud hadir bersama kisah-kisah tentang proses kreatif di selingkar kepenulisannya. Mahfud tampak ingin berbagi kisah, pandangan, dan kegelisahan yang selama ini ada, membersamainya meniti jalan hidup sebagai pengarang.

Selintas, pikiran di benak kita saat mengingat Mahfud, bisa jadi adalah kambing. Mahfud memang sering mengolah dan menyisipkan cerita tentang hewan berkaki empat yang bersuara mengembik itu. Dua judul bukunya pun memakai nama hewan ini, novel Kambing dan Hujan (2015) dan kumpulan cerpen Belajar Mencintai Kambing (2016).

Sedang di novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (2017), Mahfud tak memakai nama kambing dalam judul. Namun, di bagian novelnya, ia menyebut “Dawuk” adalah istilah orang-orang Rumbuk Randu untuk menyebut kambing berbulu kelabu.

Dalam upaya mengisahkan desa, Mahfud tinggal menuangkan kembali pengalaman yang telah ia lewati ke dalam ceritanya. Pengalaman empiris itu diramu jadi bumbu-bumbu penambah cita rasa cerita. Tak pelak, bila Mahfud lihai menyorot romantika sekaligus problematika yang betul-betul ada di desa.

Mahfud pun tidak bisa membantah, jika ia sendiri mengidap romantisisme yang akut terhadap kampung halamannya di pesisir utara Jawa Timur. Namun, pada saat yang sama, ia tidak bisa menjadi seorang pemuja tumpah-darah, hingga mesti bersikeras memperkenalkan tiap jengkal kehebatan dan keunggulannya. Sebuah jarak tertentu-mulai dari psikologis, geografis, maupun intelektual-tampaknya memang perlu, bagi siapa saja yang ingin menuliskan kampung halaman.

Lantas, dari sinilah, keberjarakan menjadi arti penting. Ibarat kata, semacam tustel bagi tukang foto atau keker untuk juru gambar. Tukang foto atau juru gambar tak akan menangkap gambar apapun selain kegelapan jika alat fotografi mereka tempelkan di objek yang mereka potret, demikian juga penulis dengan objek tulisannya, dalam konteks ini katakanlah kampung halaman. Tentu saja, perlu ketepatan memilih sudut pandang (angle). Sebagaimana tukang foto atau juru keker yang baik, “akan tahu berapa jarak yang mesti diambilnya untuk mendapatkan gambar terbaik.” (hlm. 19)

Dengan berjarak, setidaknya membuat Mahfud sadar, ihwal adanya jebakan-jebakan klasik saat menjadikan desa dan kampung halaman sebagai fokus penggalian cerita, sumber ilham, atau bahkan sekadar gema samar yang panjang darinya. Jebakan klasik yang pertama, adalah cara pandang tentang kampung halaman sebagai wakil, “ketertinggalan, kejumudan, kebodohan, kemiskinan, sulit diajak maju, tak bisa dimengerti, tak mau mengerti, dan semua hal yang tampak usang, dan karena itu mesti ditinggalkan.”

Sebaliknya, di sisi yang tak kalah ekstrem, adalah anggapan tentang kampung halaman yang, “sakral, suci, perawan, indah, tak akan berubah, tak boleh diubah, penuh kebijaksanaan, penuh kebaikan, dan semua hal yang jadi penawar sifat-sifat buruk kota: bejat, bobrok, materialistis, individualistis […]”, jelas Mahfud. Dikotomi semacam ini, masih ada dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama lewat sajian-sajian di televisi.

Menyoal desa dan kota ini, alih-alih mempertentangkan distingsi keduanya, yang acapkali digambarkan terlampau beda, Mahfud justru memilih menggambarkan sketsa desa yang sedang dalam proses atau sudah mengurban. Sebab, menurutnya, “Tak ada desa yang tetap, tak berubah, dan dengan demikian ideal.” (hlm. 35)

Terang saja, desa selalu berubah. Mau tidak mau, desa sejalan menuruti laju zaman dengan gairah mencecap impian-kemajuan teknologis. Adapun ironi dan nestapa juga tak luput menyertainya. Perubahan-pergeseran itupun, entah sempat dirasakan atau tidak.

Urbanisasi bersama konsekuensi dan hasrat yang menggeliat itulah yang hendak Mahfud urai. Wajah desa dalam ceritanya, bukanlah telaga dengan permukaan tenang dan menentramkan, bukan pula guci antik di balik lemari kaca. Bagi para pembaca yang sudah akrab dengan karya-karyanya, tentu tak asing dengan perkara ini.

Lerok dalam Ulid Tak Ingin ke Malaysia, misalnya, mempertontonkan desa dan orang-orangnya dengan tulus ingin menjadi bagian dari pembangunan, bagaimanapun caranya, dan apapun tebusannya. Tegal Centong dalam Kambing dan Hujan, sangat menafikan stereotip yang dipegang selama ini, bahwa desa selalu berasosiasi dengan harmoni.

Sedangkan, sebuah desa pinggir hutan semacam Rumbu Randu di Dawuk, mencoba menggambarkan bahwa di desa terpencil sekalipun, kekuasaan yang bergandeng dengan otoritas agama akan menampilkan sisi terburuk manusia-konflik berkepanjangan, kecemburuan sosial, dendam, prasangka, dan seterusnya. Kita boleh-boleh saja, menganggap ini idealisme dan keberpihakan, tetapi tak masalah jika mengecapnya strategi mencari ceruk pasar.

Kita juga bakal menemui karya-karya yang memantik inspirasi saat Mahfud mengarang, ataupun buku-buku yang teranggap babon, hingga secara kuat melatar belakangi jalan kepengarangannya. Beberapa di antaranya yakni, Pater Panchali-nya Bibhutibhushan Banerji, Daratan Tortilla-nya John Steinbeck, Menggenggam Petir-nya Yanusa Nugroho, Lapar-nya Knut Hansum, dan sebagainya. Tak lupa, buku-buku sastrawan cum sejarawan kondang Indonesia: Kuntowijoyo. Membicarakan Mahfud pun seolah-olah tak bisa lepas dari ketokohan seorang Kuntowijoyo ini.

Sebagai penulis yang mengangkat latar rural, konflik, dan kontestasi sehari-hari dari tiap masyarakat yang hidup di dalamnya, Mahfud tergerak untuk membaca terlebih dahulu studi-studi sejarah dan sosial. Sekian buku hasil riset itu menjadi pijakan dalam menggerakkan dan memberi sentuhan pada fragmen-fragmen fiksinya. Langkah ini, membuatnya berpegang pada ingatan, pengalaman, dan bacaan.

Sebelum mengerjakan Kambing dan Hujan, novel yang menyabet juara 1 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014 itu, misalnya. Mahfud menekuni terlebih dahulu Agama Jawa-nya Clifford Geertz; Kaum Tuo-Kaum Mudo-nya Jeroen Peeters; Para Pengemban Amanah-nya Mohammad Iskandar, Islam Murni-nya Abdul Munir Mulkhan, dan lain-lain. Studi-studi sejarah dan sosial dari para antropolog itu, telah memberi sumbangsih besar bagi Mahfud dalam menganggit cerita.

Secercah kisah dari pengalaman Mahfud-mulai dari kiprahnya dalam jagat sastra Indonesia, hingga dapur kepenulisannya yang (senantiasa) mengepul itu-, bakal kita temukan dalam buku Cerita, Bualan, Kebenaran: Mahfud Ikhwan dan Cerita-cerita yang Ditulisnya ini. Dengan demikian, kita diajak untuk mengenal Mahfud lebih dekat, meski terdapat bagian yang terkesan mengulang. []

—————
Adib Baroya Al Fahmi, Mahasiswa IAIN Surakarta, suka  nimbrung di Komunitas Serambi Kata, Solo.

2 Comments

2 Comments

  1. Avatar

    Ahmad Asmu'i

    Januari 15, 2021 at 8:10 pm

    Tetap semangat dan terus berkarya Amiiin

    • Udo Z Karzi

      Udo Z Karzi

      Januari 17, 2021 at 5:50 pm

      Ya, tetap samang@rt.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top