Hikayat Orang-Orang Desa di Senjakala Moralnya

Oleh Agus Wedi
DATA BUKU
Judul: Aib dan Nasib Penulis: Minanto. Penerbit: Marjin Kiri. Cetakan: I, Juli 2020. Tebal: 263 hlm.. ISBN: 978-602-0788-00-5.
SETELAH Karya Felix K. Nesi, Orang-Orang Oetimu (Marjin Kiri, 2018), barangkali hanya novel Aib dan Nasib karya Minanto (Marjin Kiri, 2020) yang membahas potret kehidupan orang-orang desa beserta senjakala moralnya. Di tangan Minanto, karakter tokoh bernasib aib ditampilkan sebagai narasi utama. Ia bahkan tidak ragu “memusatkan” dalam sekujur penceritaan novel Aib dan Nasib ini.
Sebagai karya sastra genre etnografis, yang secara pekat menyoroti isu-isu lokalitas, Minanto cukup baik menceritakannya. Ia tidak hanya menampilkan kompleksitas masalah sosial budaya-politik, logika komunal dan filsafat hidup, tetapi juga menunjuk pada suatu data fisik daerah hingga lanskap geografisnya.
Novel yang mulai dianggit sejak 2018 ini memilih latar desa Tegalurung, Indramayu, Jawa Barat. Suatu tempat yang dekat dengan kehidupan penulisnya. Barangkali itulah yang menjadi gairah Minanto merajut kisah dengan eksperimentasi ketat dan berlapis-lapis dalam titimangsa cerita yang lumayan singkat dan padat tapi mulus.
Sejak membaca halaman pertama, kita dibawa menjelajah bentangan dunia niskala novel ini. Kisah yang berangkat dari sebuah motif konflik orang desa yang berjalinan penghianatan, kemiskinan, air mata, penyiksaan, amarah, dendam, dan kisah cinta yang buram serta rimba media massa dan politik elektoral orang-orang Tegalurung abad 21 (modern). Di dalam hikayat ini, kita bisa merasakan bagaimana masyarakat mengalami kekisruhan dan sederet tantangan selama ini.
Aib dan Nasib membentangkan kisah perilaku orang desa (Jawa) mutakhir. Narasinya bermula saat segerombolan anak muda desa Tegalurung, Indramayu, Jawa Barat bersekolah dan suka nongkrong. Perilakunya tidak hanya aneh dan bodoh, tapi absurd untuk terjadi pada masa kini. Misalnya, tokoh Boled Boleng, Bagong Badrudin dan tujuh teman lainnya melakukan perbuatan tidak senonoh. Melakukan pencurian, nonton bokep bersama dan melakukan persetubuhan pada pepohonan (pelapah pisang), hewan dan orang.
Di novel ini, metode Minanto menggambarkan pemuda Tegalurung dengan apa adanya. Meski sekilas, pemuda-pemuda Tegalurung “dipatenkan” sebagai orang yang mengalami keterbelahan jiwa. Digambarkan sering melakukan pemerkosaan perempuan yang hanya ingin sekedar terlihat gagah dan jantan di hadapan orang dan teman-temannya. Dengan motif ini, mereka akan di cap sebagai anak keren tapi tak berakhlak. Saya rasa, Minanto memberikan perhatian pada konsekuensi tindakan, tanpa mengabaikan pentingnya sebuah kebebasan. Ia sengaja menghadirkan itu sebagai gambaran orang yang menemukan kebebasan serta potret pendidikan sekolah dan didikan orang tua yang gagal. Sekaligus membuyarkan tipikal kehidupan pedesaan di benak kita selama ini.
Susur galur dan pengalaman riwayat kehidupan manusia, keterpengaruhan perilaku tidak baik di desa adalah sesuatu hal yang lumrah, bahkan niscaya. Apalagi, adanya hubungan ikatan kuat dari pergaulan modern yang telah ada dan tersebar di dunia digital sehingga mereka (bisa) “tertindas” dan berhak menirunya—lantaran beberapa sebab: gagap teknologi dan mutu pendidikan rendah, yang pada akhirnya menjadi sebab ambruknya moralitas.
Ketika menelusuri halaman per halaman novel ini, hasil pembacaan saya mengesankan bahwa Minanto sengaja memasukkan narasi itu–entah sebagai siasat untuk menyampaikan runutan kisah dan dinamika yang terjadi di Tegalurung atau ingin menggambarkan bahwa kehidupan desa (termasuk di kota-kota Indonesia) sering berjalinan dengan tindakan kriminal, diskriminasi dan perilaku amoral. Disinilah kita perlu melihat sebuah proses Minanto yang ingin mengatakan,“kekhilafan bisa terjadi, tetapi perlu perbaikan”.
Kita mungkin setuju saja dengan Minanto. Bahwa, gambaran tipikal kehidupan pedesaan di benak kita tidaklah seperti apa yang dibayangkan oleh kebanyakan orang selama ini. Alih-alih baik, damai dan harmonis, kita dapati aneka rupa konflik orang-orang desa yang berjalinan dengan nasib dan aib. Lalu, adakah penyebab dari kebudayaan itu?
Seperti yang disuguhkan dalam novel, ketika orang desa tidak berminat (lagi) sama pendidikan, bahkan mengosongkan bangku pendidikan keagamaan, makjlis taklim, dan fondasi “moral epithumos” lupa digarap, maka dengannya pergaulan orang desa didominasi budaya modern lewat media sosial. Sebuah apologi menegaskan jati diri untuk menciptakan kebenaran-kebenaran berbasis psikologi yang menjadi kebenaran kolektif, dengan ditandai like-share di gawai pada dunia utamanya. Disitulah mereka tercampak dan terseret dalam contoh-contoh kehidupan amoral. Hasilnya kita alami sekarang: orang hidup sering disorientasi, hilang kebijaksanaan. Memiliki banyak orang pintar, tapi pintar menipu.
Novel ini mengingatkan atas hegemoni budaya modern dalam kehidupan pedesaan. Nilai-nilai budaya modern hidup dan menjadi bagian dari kehidupan orang desa mutakhir. Akibatnya, daur kehidupan terjadi dan didominasi oleh budaya modern, kemudian mencapai pada titik kondisi yang bertautan dengan budaya populer (pop). Sehingga budaya itu mampu menembus dan menghegemoni lapisan sosial kehidupan desa.
Mursito BM dalam buku Budaya Popo: Tuan Ruma Kita (UNS Press, 2018) telah mengingatkan secara kritis bahwa budaya itu adalah hasil kontruksi sosial yang diciptakan oleh industri kapitalistik. Di mana produk yang dihasilkan hanya berbasis pada keuntungan masif semata, bukan sosial religous magis. Bahkan unsur-unsur adiktifnya membentuk perilaku masyarakat desa (modern) yang individualistis dan melenceng kepada kehidupan yang sangat “baru.” Dari sini budaya apa pun termasuk budaya modern perlu disikapi secara bijak. Maskipun nilai-nilainya telah tertancap menjadi bagian dari kehidupan kita, tetapi setidaknya, kita tahu bahwa budaya itu tidak sepenuhnya selaras dengan kehidupan desa. Maka itu, kita dituntut memikirkan kebudayaan desa kembali.
Adapun bagian tokoh bernasib aib lainnya, dengan timpaan kisah dan plot yang sama-sama kuat nan seimbang adalah, ketika mengisahkan kehidupan Gulabia dan kehidupan Eni. Minanto menyentil kehidupan perempuan yang begitu buram akibat kemiskinan dan patriarkis. Eni perempuan bersahaja dan penuh semangat. Tapi dalam kehidupan hari-harinya, Eni terbebani dan dilanda kekurangan. Kehidupanya, meski punya suami, tetap saja hidup di rel resesi atau tersingkir dari nafkah dan kerja. Hingga akhirnya, ia harus menjadi tulang punggung keluarga, dan menjadi TKW ke-luar negeri.
Berbeda dengan nasib Eni, Gulabia perempuan cantik pacarnya Kicong. Ia berpacaran sejak SMA. Dengan pergaulan intens, Gulabia hamil tapi ditinggal pergi Kicong. Kemudian berkenalan dengan tukang supir angkot yang ditinggal istrinya menjadi TKW, Kartono. Akibat perbincangan yang vital, persetubuhan pun terjadi. Setelah itu, bapak Gulabia memaksa Kartono untuk bertanggungjawab. Dalam perkawinan itulah, Gulabia mengalami kekerasan. Perkawinan yang diandaikan bisa menutupi lubang aib dan masalah, justru menjadi ajang penyiksaan psikologis dan fisik seksual. Kartono menyiksa Gulabia setiap waktu saat di mana Kartono senggang. Memaksa tunduk patuh berhubungan intim beradegan tangan dan kaki diikat. Perlakuan-perlakuan inilah yang membuat Gulabia keguguruan dalam usia kandungan 6 bulan.
Dalam cerita itu, tampak keberhasilan Minanto berkisah saat mencoba merinci cerita pada kejadian sejatinya. Ia bersiasat untuk menyampaikan pengembaraan kehidupan perempuan yang selalu kalah. Dengan memberikan citraan secara detail, pembaca dapat membayangkan kisah fiksi ini seolah nyata. Bahwa, ketertindasan perempuan penyebab utamanya lahir dari kontruksi budaya patriarkis. Bahkan, ia lahir dari peranan nagara, agama, dan etika moralitasnya.
Kesabaran menjahit cerita dari banyak tokoh yang merepresentasikan kaum feriferi dengan fragmen-fragmen ringkas dan dengan alur maju-mudur yang disiplin menghasilkan novel yang bernilai. Sayangnya, novel pemenang nomer 1 Sayembara Novel Dewa Kesenian Jakarta 2019, masih banyak salah ketik di sana sini dan bertebaran kata tak baku dan typo. Ini bisa kita dapati pada halaman 115, “Eni memilki kamar sendiri”. Harusnya, memiliki. Begitu juga bahasa klise, seperti penyebutan, “Gusti pangeran” yang dipakai banyak tokoh.
Di atas semua itu, dalam novel ini, Minanto mampu bermain kisah dengan cerdik dan bisa merombak tembok citra penilaian atau stigma sosial pedesaan. Tetapi yang penting dari hikayat ini, barangkali, sebagai penulis Minanto tak menawarkan solusi atas ambruknya moralitas, rendahnya mutu pendidikan, dan gagapnya teknologi yang menghiasi bagian-bagian cerita di desa Tegalurung. Tapi ia seperti mengajak kita untuk memikirkan bahwa kisah itu terbukti ada dan nyata. []
————–
Agus Wedi, Pembaca buku dan aktif di Komunitas Serambi Kata Surakarta
