Pendapat

UU Cipta Kerja, Tidak Buruk Tapi Perlu Perbaikan

SOMETHING are not in my control. Kalimat sederhana yang jika kita pahami memiliki arti bahwa ada hal yang tidak bisa kita kendalikan. Misalnya, percepatan pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja pada Senin, 5 Oktober 2020  oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Semula direncanakan akan disahkan pada rapat paripurna pada tanggal 8 oktober 2020.

Saya mengira bahwa para anggota DPR ingin merumuskan strategi jitu dalam menangani pandemi karena melihat lemahnya peran menteri kesehatan. Tetapi, nyatanya justru menciptakan polemik baru dengan disahkannya RUU Cipta Kerja. Itulah wakil rakyatku sangat pandai dalam memanfaatkan situasi.

Beberapa permasalahan yang timbul dan menjadi sorotan adalah terkait dengan pesangon, penghapusan upah minimum sektoral, hingga peran ormas pada penerbitan sertifikat produk halal. Jika itu bukan masalah utamanya, pertanyaannya adalah apakah hari ini omnibus law menyejahterakan karyawan? Meningkatkan produktivitas? Ataupun meningkatkan daya saing?

Omnibus law sudah dibahas lebih kurang 6 bulan yang lalu, dan disahkan tanggal 5 oktober kemarin. Sedikit kekecewaan saya sebagai mahasiswa, Pengesahan UU Cipta Kerja di tengah kondisi pandemi Covid 19 seakan-akan menunjukkan bahwa Pemerintahan hari ini sudah tidak lagi pro rakyat karena menomorduakan problematika utama negeri ini dan justru menciptakan problematika yang baru.

Hari ini, 7 Oktober banyak mahasiswa yang lantang menyuarakan menolak RUU Cipta Kerja dan terjadi demonstrasi dimana-mana. Ini mengartikan masih banyak mahasiswa dan masyarakat diluar sana yang peduli dengan kondisi tanah air kita walaupun ditengah kondisi pandemi seperti ini. Walaupun diluar sana banyak informasi yang berlebihan terkait dengan RUU Cipta Kerja, tetapi bisa dibilang RUU Cipta Kerja banyak mengandung pasal-pasal bermasalah.

Seperti Pasal 77A pengusaha dimungkinkan untuk untuk menetapkan waktu kerja yang melebihi ketentuan sehingga menghilangkan batas waktu maksimal pekerja dalam bekerja. Pasal 88C, upah minimum kota/provinsi dihapuskan yang menyebabkan jumlah upah yang diterima pekerja di suatu kota/kabupaten tidak sesuai akibat perbedaan biaya hidup. Pasal 88D, pada pasal ini tingkat inflasi tidak menjadi acuan penentuan upah minimum sehingga melemahkan standar upah minimum pekerja. Dan masih banyak pasal bermasalah yang lain seperti Pasal 62 ayat (1), Pasal 71, Pasal 93 ayat (2).

Walaupun RUU Cipta Kerja Omnibus Law menimbulkan kontroversi tetapi masih ada hal-hal positif yang bisa diambil dari UU tersebut. RUU Cipta Kerja juga dirancang untuk menjadi solusi bagi persoalan fundamental yang menghambat ekonomi nasional, seperti ribetnya regulasi, rendahnya daya saing, dan terus meningkatnya angkatan kerja yang membutuhkan lapangan kerja baru. Pelaku usaha akan mendapatkan pendampingan hukum jika terjadi sebuah perkara, mengurus pendirian perseroan terbatas (PT), baik perizinan dan urusan lain-lain tidak perlu menghadapi proses birokrasi yang berbelit-belit lagi, setelah RUU Ciptaker disahkan.

Maka dari itu Saya pikir hal terbaik yang bisa dilakukan pada hari ini adalah melakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi. Karena seharusnya fokus pemerintah pada hari ini adalah bagaimana menuntaskan pandemi Covid-19. Bukan mempercepat disahkannya RUU Cipta Kerja. []

M Rizki Al Safar
Aktivis HMI Bandar Lampung, mahasiswa Pascasarjana Universitas Lampung

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top