Sosok

Inggit Putria Marga: Cinta itu untuk Dikerjakan

LAMPUNG sudah sejak lama dikenal sebagai lumbung para penyair. Ratusan penyair lahir dan pernah tinggal di daerah yang kaya akan sumber alam dan budaya daya ini. Berbagai puisi dari penyair Lampung menghiasi kolom sastra media di berbagai penjuru Tanah Air. Selain itu, berbagai ajang lomba nasional pun turut menyertakan nama penyair asal Lampung.

Beberapa minggu ke belakang, Lampung dikejutkan pengumuman dari ajang Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Inggit Putria Marga, penyair asal Lampung, berhasil menjadi pemenang untuk puisi. Untuk kategori prosa Kusala Sastra Khatulistiwa diraih novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang dari Banten.

Beberapa akun isntagram terlihat memosting nama dan foto serta bukunya. Berbagai komentar yang menyimbolkan kegembiraan terlihat. Bahkan, redaktur Seni dan Budaya salah satu koran turut memosting pengumuman pemenang lomba tersebut di akun facebooknya dan tak lupa menyampaikan kata selamat kepada Inggit Putria Marga.

Masyarakat Lampung turut bergembira mengetahui kabar baik tersebut. Bagaimana proses Inggit menerbitkan buku, judul, memilah puisi ke dalam buku, bagaimana Inggit menulis puisi dan puisi bergenre  apa yang dia suka hingga siapa pengarang favoritnya pasti menarik kita simak.

Berikut petikan wawancara wartawan Lampung News Muhammad Alfariezie bersama Inggit Putria Marga di kediamannya yang terletak bilangan Tanjunggading, Bandarlampung, Selasa, 20 Oktober 2020.  

Inggit Putria Marga, Pemenang Kategori Puisi Kusala Sastra Khatulistiwa 2020 (DOKPRI)

Waktu itu kira-kira sekitar sepuluh tahun yang lalu, buku Anda yang berjudul Penyeret Babi sempat masuk lima besar di ajang yang sama. Nah, ceritain dong apa beda buku puisi Penyeret Babi dan Empedu Tanah?

Perbedaannya simple aja sih. Kalau puisi-puisi yang ada di buku Penyeret babi temanya masih beragam. Tidak menutup kemungkinan. Sebabnya, pengetahuan dan daya literasi saya waktu itu belum seperti sekarang. Jadilah, buku itu tidak mendapat tempat yang sama seperti Empedu Tanah.

Nah, entah mungkin karena karunia atau kerja keras, saya mampu memperbaiki kekurangan buku puisi Penyeret Babi. Empedu Tanah inilah jawabannya. Kalau di Penyeret Babi temanya beragam, puisi-puisi di buku Empedu Tanah saling berkait. Jadi, menjadi satu-kesatuan yang memungkinkan pembaca untuk mengikuti atau mencari tahu makna keseluruhan buku tersebut.

Selain itu, pada buku puisi Empedu Tanah, saya lebih memilih gaya penulisan puisi seperti prosa. Menurut saya, menyampaikan makna melalui kisah-kisah yang mengandung struktur puisi lebih memungkinkan pembaca untuk masuk ke dalam imaji penyair sehingga tidak terjadi pengaran seolah-olah menggurui seseorang. Masalah makna yang pembaca dapatkan bukanlah persoalan yang harus dipecahkan pengarang. Pembaca bebas menentukan makna sendiri berdasarkan pengalaman. Ya, seperti menonton berita atau film. Dari adegan per adegan pembaca bisa menentukan sendiri makna yang terkandung tanpa sutradara memberi tahu apa yang ingin ia sampaikan.

Ceritakan  bagaimana proses kreatif Anda menciptakan buku, mulai dari menentukan puisi hingga menyatukan puisi-puisi ke dalam judul buku Empedu Tanah?

Semua puisi yang ada di buku Empedu Tanah lebih adalah karya-karya yang sudah melalui tahap seleksi yang menurut saya cukup ketat. Jadi, sebelum buku Empedu Tanah itu ada, saya lebih dulu mengirimkan puisi-puisi ke media nasional. Sebut saja medianya, Kompas. Ketika itu, Kompas dianggap sebagai barometer bagi beberapa penyair karena proses kurasi naskah yang ketat. Penyair-penyair di atas angkatan saya seperti Joko Pinurbo, Acep Zamzam Noor masih mengirimkan puisi di sana. Itu artinya, ketika puisi saya dipublikasi Kompas memiliki suatu energi.

Kira-kira 80% puisi yang ada di buku Empedu Tanah ini sudah dipublikasikan di Kompas.  Berarti, puisi-puisi itu bukan hasil kurasi saya sendiri, melainkan beberapa puisi pilihan redaktur Kompas.

Lalu, jika melihat puisi-puisi dalam buku Empedu Tanah terdapat suatu kisah yang mengharukan sekaligus menyentil perasaan. Apakah kisah-kisah itu berdasarkan pengalaman pribadi, imaji atau lain hal?

Kalau dari pengalaman pribadi justru enggak lho. Tapi, jika ditanya apakah itu realita yang pernah terjadi dalam kehidupan sehari-hari, maka jawabannya iya. Kemudian apakah itu imaji? Jawabannya adalah puisi-puisi dalam buku Empedu Tanah merupakan suatu kisah yang menggabungkan imaji pengarang dengan kehidupan sehari-hari.

Sebagai pengarang kan kita harus pandai menangkap suatu fenomena tertentu sehingga suatu peristiwa yang tidak memiliki arti menjadi bernilai ketika menjelma dalam bentuk tertulis. Apalagi sebagai manusia kita hidup di lingkungan sosial yang setiap detik dan setiap menit menyaksikan berbagai peristiwa baik yang menyedihkan maupun yang menggembirakan. Sebagai pengarang, saya lebih tertarik menangkap fenomena sosial sebagai bahan tulisan bergenre puisi.

Terlihat juga sudut pandang ‘aku’ sebagai hantu yang bercerita dalam puisi Anda di buku Empedu tanah? Bagaimana Anda menemukan ide yang bernilai itu?

Peristiwa meledaknya krakatau atau kapal yang tenggelam itu kan ada di dunia ini. Tapi, kalau saya menggunakan sudut pandang sebagai pengamat atau peneliti atau seorang wisatawan yang kembali menceritakan bagaimana kisah-kisah bersejarah itu maka kurang asyik dong, karena sudah banyak pengarang yang melakukan hal itu. Melalui dan menggunakan imajinasi berdasarkan berbagai pengalaman dari membaca, menonton, dan merenung maka saya menentukan sudut pandang ‘aku’ sebagai hantu yang menceritakan suatu peristiwa di balik kejadian yang mengharukan tersebut.

Sebelum menentukan judul Empedu Tanah, apakah ada judul lain yang sempat terpikir oleh Anda untuk menjadi makna keseluruhan dari buku tersebut?

Ada. Judulnya “Meseum Hubungan yang Hancur”. Saya mendapat judul itu, seingat saya dari Museum yang terletak di Peru. Isi museum itu adalah benda-benda yang memiliki simbol kisah pahit seseorang. Jadi, di dalam museum itu ada kapak yang bernarasi tentang historis yang mengandung unsur-unsur kepedihan pemiliknya. Tapi, setelah saya menelaah lebih dalam dan mencari referensi maka ketemulah suatu kesimpulan yang membuat saya enggan memakai judul itu karena ternyata sudah digunakan oleh beberapa penyair.

Kalau Empedu Tanah sendiri memiliki makna khusus enggak sih?

Empedu Tanah sendiri adalah tanaman obat yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit bahkan kanker sekalipun. Secara sengaja, puisi-puisi yang ada dalam buku Empedu Tanah adalah mengisahkan berbagai pengalaman-pengalaman yang pahit atau memiliki kepedihan batin tentang hubungan yang hancur dengan dirinya sendiri, dengan keluarga hingga lingkungan. Intinya ada sesuatu yang hancur dalam puisi-puisi tersebut. Dari situ saya berusaha mencari suatu metafor yang singkat jelas dan padat untuk memberi simbol bagi kumpulan puisi yang saya buat. Karena saya juga lulusan pertanian dan suka menanam berbagai tanaman maka ketemulah kata Empedu Tanah. Jadi, saya mengartikan judul buku Empedu Tanah ini sebagai salah satu obat untuk menyembuhkan kepedihan batin seseorang yang mengalami kepahitan dalam hidupnya, baik secara sosial percintaan atau karena perasaannya sendiri. 

Lalu, kenapa musti berkisah?

Ketika membuat puisi yang berkisah tentu saja saya lebih kreatif dalam merangsang diri untuk melalakukan sesuatu yang lebih dari pada kemarin. Saat berkisah tentu kita harus pandai memainkan plot, menentukan tokoh dan penokohan hingga membuat rancangan sebab akibat. Nah, subjektivitas saya ya yang seperti itu.

Kenapa Anda tidak menulis puisi liris yang bertema cinta?

Jawabannya simple. Menurut saya, cinta itu untuk dikerjakan. Ya kerjakan saja cinta dan rasakan bagaimana cinta itu lalu maknai sendiri cinta itu bagaimana. Kalau cinta dituliskan, mungkin cinta itu akan selesai.

Ya, ketika di awal menulis pada masa mahasiswa saya juga memang jarang, malah mungkin tidak pernah menulis puisi cinta.  

Tapi, jika dikemudian hari ada yang menyanggah, puisi-puisi yang ada di dalam buku Empedu Tanah ini adalah Prosa, lantas bagaimana sikap Anda?

Saya kira bukan juri Kusala Sastra Khatulistiwa yang lebih berhak menjawab tuduhan itu jika memang dikemudian hari ada yang menyanggah puisi-puisi adalah karangan prosa. Juri-juri dalam ajang tersebut telah menobatkan saya sebagai pemenang di kategori puisi. Lalu, untuk apa lagi saya menjawab jika memang ada yang menyanggah kalau buku Empedu Tanah bukan puisi.

Oleh karena itu, defenisi puisi saat ini musti diperbahurui dong. Karena ini juga kan memiliki arti penting bagi penyair-penyair di waktu yang akan datang.

Dalam buku Empedu Tanah hanya terdapat 30 judul puisi. Kenapa sih kok hanya mencetak buku setipis itu?

Kalau pertanyaan seperti itu maka saya kembali bertanya. Begini, kenapa musti banyak-banyak kalau tiga puluh saja sudah cukup, iya kan? Dari tiga puluh itu, saya rasa pembaca akan lebih matang dan jelih menangkap makna yang ingin saya sampaikan dalam buku Empedu Tanah.

Dalam menulis puisi, apa hal yang paling Anda teliti hingga mendetail?

Pasti kalimat. Kalimat harus benar secara teori yang telah disepakati. Saya harus menaati aturan-aturan berbahasa yang baik dan benar. Kalimat diciptakan agar manusia dapat berkomunikasi secara baik dan benar sehingga tidak terjadi salah paham. Kalau kalimat kita dalam menulis masih acak-acakan, nah bagaimana nanti pembaca dapat menemukan suatu makna yang menggugahnya?

Apakah Rima menjadi bagian penting dalam karangan puisi Anda?

Penting tapi saya tidak mau terlalu over. Takutnya nanti malah overdosis atau terkesan berlebihan atau mungkin juga akan noise ketika rima itu dipaksakan terlalu banyak dalam puisi. Kalau menurut saya, jangan terlalu memaksakan puisi itu memiliki banyak rima. Ya disesuaikan saja dan dipilah-pilah mana baik dan buruk dalam menentukan rima dalam puisi.

Lalu, ketika menentukan judul apakah Anda menyelesaikan tulisan itu lebih dulu atau menulis judul sebelum puisi itu Anda ciptakan?

Lebih sering puisinya dulu saya selesaikan. Untuk lebih detailnya saya mencari kapan tempat peristiwa itu terjadi atau siapa tokoh utama dalam cerita itu dan dari bagaimana atau kenapa kisah itu terjadi.

Kalau penyair atau buku-buku puisi yang sering Anda baca apa saja sih?

Octovia Paz saya suka. Kalau di Indonesia saya suka WS Rendra dan Sapardi. Kalau Rendra, terutama sekali karena dia mampu membuat suatu karya yang menyentuh pikiran dan perasaan. Pikiran yang kacau dan perasaan yang pedih seolah-olah sirna ketika membaca karya-karya Rendra. Sedangkan Sapardi tentu saja karena daya imajis dalam puisi-puisinya sehingga sebagai pembaca saya tidak merasa digurui. Tapi, sebagai pembaca saya diajak masuk ke alam yang senantiasa ia renungkan.

O iya, ada satu puisi yang paling diminati beberapa masyarakat. Judulnya Tiga Malam diakhir Agustus. Apasih makna dari puisi itu? Karena banyak orang awam yang ingin tahu makna dari gagasan utama puisi itu?

Ya kalau seorang penyair disuruh menjelaskan makna dari puisi maka kurang asyik juga dong. Nanti malah pembaca malas mencari tahu maknanya sendiri sehingga penyair terkesan menggiring pembacanya untuk mengikuti makna si pengarang.

Tapi, saya cerita sedikit aja tentang puisi itu. puisi itu lebih permainan plot. Plotnya adalah hari ini, kemarin dan hari setelah besok. Tapi, semua plot itu masih bersangkutan dengan tema yang saya garap. Mungkin itulah kreativitas yang kental dari diri saya.

Dalam menulis puisi, genre apa sih yang paling memengaruhi Anda?

Puisi imajis seperti milik Ezra Pound atau kalau dari Indonesia Sapardi Djoko Damono. Ya intinya puisi-puisi yang tidak banyak ajaran secara langsung yang terkesan seperti menggurui pembaca gitu deh.

Saat ini Anda sudah dinobatkan sebagai juara Kusala Sastra Khatulistiwa 2020, kasih motivasi dong untuk penyair-penyair muda di Lampung agar bisa mengikuti jejak sukses Anda.

Pertama harus melatih diri untuk terampil menulis. Setelah terampil barulah memperdalam wawasan secara membaca dan bergaul dengan benar seperti dengan sastrawan-sastrawan yang karyanya sudah diakui oleh unsur-unsur penting dalam karya sastra itu sendiri. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top