Literasi yang Memerdekakan

Oleh Sylvie Tanaga
“Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.”
― Mohammad Hatta
BUNG Hatta tak sedang berpuisi manakala melontarkan kalimat ini. Di tengah kesibukan, beliau menggumuli buku saban hari selama berjam-jam. Ketika bepergian, kopernya pasti penuh buku. Dalam jeruji sel yang mengekang raga, buku jadi teman hidup yang membebaskan jiwa dan pikirannya –dan akhirnya membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu kolonialisme lewat ikrar Proklamasinya bersama Bung Karno.
Saat pandemi Covid-19 menyergap dan memaksa dunia “diam sementara di rumah”, banyak orang merasa terpenjara, termasuk saya. Ruang gerak untuk melakukan ini dan itu begitu terbatas. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan…. saya mulai mengerti bagaimana rasanya di penjara. Dalam penat yang menguji akal sehat, saya melirik kembali buku-buku di pojok rumah yang beberapa di antaranya belum dibaca sama sekali.
Saya pun berpikir keras kapan pernah membeli buku-buku tersebut dan mengapa tak kunjung tersentuh. Kesibukan selama ini rupanya membuat saya pongah. Saya berpikir membaca buku adalah kegiatan “sampingan” jika ada waktu lebih. Bukan makanan pokok yang menutrisi jiwa dan pikiran. Saya cuma lapar mata saat membelinya.
Betapa Berharganya Buku
Dalam “penjara” inilah saya baru sadar betapa berharganya arti sebuah buku. Ia bukan sekadar goresan tinta dalam gelai-helai kertas. Ia menjelma ruh yang hidup manakala saya membacanya. Ia membawa pikiran bertualang bebas ke mana pun saya inginkan. Saat merenungkannya, ia menimbulkan gado-gado rasa yang menghujam empati dan kesadaran saya sebagai manusia yang kompleks. Singkatnya, buku memerdekakan saya.
Demikianlah, akhirnya saya kecanduan menyantap buku dengan rakus tiap hari, menekuri kata demi kata sembari menangis atau terbahak. Di halaman rumah, di kamar, di toilet, buku jadi sahabat paling setia yang membunuh sepi. Tak pernah protes meski terus-menerus dijamah hingga lecek, tak bosan jadi sarana refleksi dan curahan hati.
Kemudian, saya sadar bahwa “santapan” harian ini adalah sebuah kemewahan. Pertama, saya membaca karya yang mungkin telah ditulis bertahun-tahun hanya dalam satu sampai tiga hari. Seorang teman pecinta buku berceloteh bahwa perjuangan bertahun-tahun sang penulis telah memampukan kita, sang pembaca, melompat menuju masa depan tanpa perlu mengalami sendiri perjalanan yang berdarah-darah.
Kedua, ternyata tak semua orang bisa mengakses buku karena ketiadaan fasilitas (toko buku, perpustakaan, taman baca) ataupun akibat kendala geografis dan finansial.
Beberapa hari lalu, saya baru menonton sebuah film berjudul The Platform. Singkatnya, film tersebut menceritakan sebuah penjara vertikal dimana semua penghuninya hanya boleh mengajukan satu barang untuk dibawa ke dalam sel, apa pun jenisnya.
Seorang penghuni sel yang juga tokoh utama dalam film ini, meminta buku Don Quixote. Tapi kondisi penjara yang brutal karena minimnya makanan menyadarkan sang tokoh utama bahwa ia mungkin telah membuat pilihan keliru. Pada satu titik tak tertahankan, sang tokoh utama terpaksa melahap halaman-halaman bukunya demi bertahan hidup.
Meski adegan tersebut mungkin hanya dimaksudkan sebagai simbol, saya melihatnya sangat mungkin terjadi dalam realita. Ketika saya menganggap buku sebagai “makanan pokok” pembebas jiwa, banyak orang di luar sana masih harus berjuang menghadirkan makanan pokok yang sesungguhnya untuk bertahan hidup, hari demi hari. Merdeka jadi sebentuk kata tak terjangkau, bahkan kian terdengar asing di telinga.
Buku dan kehidupan literasi jadi urusan nomor sekian yang sama sekali tak terasa genting, segenting perut yang berteriak nyaring minta diisi. Ironisnya, sejumlah anggota dewan terhormat dan tokoh publik justru menyalahgunakan kemerdekaan yang mereka miliki untuk sekali lagi merebut kemerdekaan saudaranya sendiri, sembari leluasa menenar dusta penuh sensasi demi menangguk pundi sebesar-besarnya.
Merebut Kemerdekaan
Tak ada cara lain untuk merebut kembali kemerdekaan kecuali melalui literasi.
Di tengah segala tekanan, denyut literasi yang masih terus dipertahankan segenap tenaga oleh rekan-rekan pegiat literasi lokal membawa secercah harapan. Meski kamera lebih suka menyorot si pendusta dan kroni-kroninya, para pegiat literasi tak putus asa menempuh jalan sunyi memperjuangkan kemerdekaan jiwa dan pikiran warganya meski tahu hasilnya tak bisa dipetik dalam jangka pendek.
Komunitas Lakoat Kujawas di Timor Tengah Selatan yang digagas oleh Dicky Senda, misalnya, membuktikan bagaimana literasi bukan pepesan kosong untuk menghibur jiwa-jiwa yang sepi. Perpustakaan yang mereka dirikan bukanlah ruang mati berisi tumpukan buku tapi sungguh “hidup” dengan aneka aktivitas di dalamnya.
Anak-anak bukan obyek yang dipaksa membaca. Mereka bersukacita terlibat dalam kegiatan berliterasi. Mereka mendengarkan dongeng-dongeng tetua yang arif dalam memandang diri dan lingkungannya, lalu menulis cerpen, dongeng, dan puisi. Generasi muda Mollo bukan hanya bangga terhadap identitasnya namun juga berusaha sekuat tenaga melindungi kebebasan yang mereka miliki sebagai warga adat.
Aktivitas literasi untuk mendokumentasikan sajian lokal juga berkontribusi melahirkan aneka kreasi pangan yang memberi pemasukan finansial untuk warga. Pun demikian halnya dokumentasi sejarah dan budaya yang memampukan warga Mollo menjadi penyedia jasa wisata minat khusus yang kompeten dan tak sekadar berorientasi uang.
Jika sebuah komunitas literasi lokal saja mampu menunjukkan hasil yang luar biasa menggembirakan dan memerdekakan warganya dari ketergantungan, bayangkan apa yang bisa dilakukan puluhan lamban baca yang tersebar di seantero Lampung Barat.
Bayangkan jika denyut literasi di Lampung Barat bisa berjalan seiring identitas lokal. Literasi kopi, misalnya, jika terus dikembangkan dengan konsisten dan terencana akan sangat berpotensi melestarikan budaya lokal sekaligus menghidupi para petani kopi. Story-story bersejarah bukanlah label yang bisa ditempel paksa demi menggenjot angka penjualan melainkan identitas khas bernilai tinggi yang tak bisa ditiru begitu saja.
Anak-anak juga bisa didorong untuk memahami potensi kopi dengan memperkenalkan mereka pada buku atau dongeng tentang kopi Lampung Barat. Mereka juga bisa diajak berkolaborasi menyusun cerpen, puisi, ilustrasi atau foto-foto bertema kopi, bahkan berkreasi dengan biji atau ampas kopi. Siapa tahu akan lahir karya-karya inovatif yang melestarikan budaya Lampung Barat sekaligus memberi nilai tambah ekonomi.
Ini belum termasuk potensi-potensi Lampung Barat lainnya yang tak kalah unik dan menarik seperti makanan, tarian, alat musik, dan arsitektur tradisional –termasuk nilai-nilai harmoni yang selama ini berhasil menyatukan warga Lampung Barat yang latar belakang warganya sangat beragam. Kita tahu bahwa nilai-nilai semacam ini begitu penting artinya di tengah kondisi bangsa yang saat ini terbelah begitu tajam.
Potensi-potensi lokal ibarat benih. Jika bertemu lahan-lahan literasi yang subur (misalnya lewat Lamban Baca), bukan tak mungkin akan tumbuh dan berbuah lebat yang hasil akhirnya tak sebatas festival rutin atau kegiatan pengisi kalender pariwisata tanpa makna. Seperti yang dialami warga Mollo, literasi bisa menjadi nadi yang menyuntikkan darah segar bagi upaya pemberdayaan warga jangka panjang.
Bung Hatta memandang buku sebagai agen pembebas pikiran. Tapi dampaknya ternyata lebih dari yang beliau bayangkan. Buku-buku tersebut menjadi agen yang benar-benar menghantar negeri ini pada kemerdekaannya 75 tahun silam. Sebabnya, beliau tak sekadar membaca aneka bacaan bergizi tapi juga merefleksikan dan mempraktikannya bersama para founding fathers lain yang juga membaca buku.
Dialektika berpikir disertai langkah nyata yang dilakukan bersama-sama adalah kunci yang bisa menerobos berbagai penjara. Kita tahu bahwa penjara terbesar masyarakat abad ini bukan semata maraknya kabar burung di dunia maya ataupun pandemi Covid-19, tapi terutama kebodohan dan pembodohan (baca: penindasan struktural), situasi dimana bangsa ini kerap merampas kemerdekaan saudaranya sendiri.
Para pegiat literasi lokal adalah agen penting untuk melawan setiap upaya pembodohan yang bertujuan merampas kemerdekaan warga dengan berbagai wujudnya, mulai dari eksploitasi alam tanpa batas yang memiskinkan hingga penindasan hak asasi manusia. Aktivitas literasi dapat menghidupi warga tanpa mengorbankan jati diri mereka sebagai manusia bermartabat. Menurut saya, inilah esensi dari literasi yang memerdekakan. []
————-
Sylvie Tanaga, penulis dan penyunting lepas, saat ini tinggal di Kota Bandung.

Pingback: My Site
Pingback: Fantasy MMORPG