Kolom

Kemesraan Enggang, Ababil, dan Covid 19

Oleh Hardi Hamzah

EMMANUEL Kant, filsuf jomblo tidak pernah keluar dari kota kecil Konigsberg. Namun, kenyataannya dia menghasilkn sesuatu yang mendunia bagi kekuatan humanisme. Imanuel Kant menunjukkan pada kita bahwa ruang dan waktu sesungguhnya tidak hanya dimiliki oleh proses keberadaan manusia. Dus, ruang dan waktu bagi Kant tidak memisahkn antara subjectum dan objectum.

Kategori mana memberikan visi baru bahwa ruang sebagai proses masa depan dan waktu sebagai proses sejarah terpadu dalam nilai-nilai tempat mana subjek dan objek berproses. Artinya, pemikiran Kant menolong kita untuk memahami antara satu dan yang lain berada dalam proses yang terus-menerus, sehingga orang tidak perlu “menuhankan” apa-apa yang mereka telah hasilkan. Ini mengingatkan kita ketika Nabi Ibrahim AS menghancurkn berhala-berhala. Bahwa setiap orang tidak boleh menuhankn benda-benda yang dibuatnya. Dan, di masa soliter semacam ini benda-benda hanyalah penghibur.

Dalam konteks humanisme universal sebagaimana Imanuel Kant, St Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Ananta Toer agaknya mempunyai visi yang sama. Pada tokoh Tuti di Layar Terkembang, Takdir mengkiaskan sebuah kehidupan kebersamaan yang bertumpu pada rasionalitas dan emansipatoris. Demikian pula dengan Pramoedya. Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram melipat kesendirian ke dalam kantung besar masyarakat yang antipreseden, sehingga dalam kesendirian orangg bisa berbuat banyak. Begitu juga dalam Keluarga Gerilya, Pram mengajak kita tahu tentang betapa pentingnya humanisme untuk membela bangsa, di mana seorang anak sampai tega membunuh ayahnya karena ayahnya menyimpang dari humanisme kebangsaan.

Mikro analisis di atas, menolong saya untuk perlahan-lahan memahami bahwa solitaire (menyepi), jauh dari kematian, kendati kita seolah setiap hari dihadapkan rasa was-was kematian.

Denyut virus yang menekuk nekuk sejarah dan sistem sosial kita, mestinya kita tidak terhuyung dalam psykosomania. Kiranya bangsa yang besar ini dituntut untuk meaktualisasikan, apa itu nilai kebangsaan, apa itu nilai kebersamaan dan apa itu dosa, sehingga kita jauh dari hujat- menghujat.

Bukankah Notradamus dan Ibnu Kholdun mengajarkan kepak sayap manusia menuju masa depan. Mungkin kita perlu mengingat kembali burung burung enggang dan burung burung Ababil yang dengan virus menghancurkan Abrahah. Kata kuncinya, lonceng kematian masih jauh, lonceng kehidupan sedang diotak-atik. Keduanya dirangkul mesra lewat optimisme humanisme universal. []

————
Hardi Hamzah, kolumnis

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top