Pustaka

Keikhlasan Mengantarkan Aku Mencintai Buku

Oleh Christina Tri Septiana

NDUK, rene Bapak mau ngomong!”

“Iya, Pak!” sahutku dari dalam kamar, lalu berjalan keluar sambil membawa buku bacaan kesukaanku.

Bapak sedang duduk di ruang tengah, secangkir kopi dan sepiring pisang goreng menjadi temannya di sore itu. Aku mendekati Bapak dan duduk di kursi tepat di depannya. Dengan wajah serius, Bapak memandang ke arahku. Tarikan napas panjang sangat jelas terlihat olehku. Bapak seolah menyimpan beban yang begitu berat untuk diucapkan padaku.

“Begini lho, Nduk! Tahun ini kamu lulus SMP, Mamasmu naik kelas 3 SMA.”

Bapak memulai pembicaraannya tapi wajahnya sangat serius. Sebentar memandangku, sebentar lagi melihat ke arah dinding tempat foto keluarga kami dipajang. Bapak pun melanjutkan ucapannya.

“Mamasmu itu, sebentar lagi naik kelas 3 SMA, pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sementara Bapak, hanyalah buruh serabutan dengan penghasilan yang tidak tetap. Bapak ingin anak-anak bisa sekolah tinggi, biar jadi orang hebat.”

Aku semakin penasaran dengan perkataan Bapak. Apa sebenarnya yang ingin disampaikannya kepadaku. Dadaku semakin berdebar menanti setiap ucapannya.

“Nduk, sekolahmu piye nek liren setahun? Ngelajutke SMA tahun ngarep, ngenteni Mamasmu rampung sekolah.”

Mendengar ucapan bapak, aku terkejut sekali dan hanya terdiam. Tidak mampu berkata-kata. Buku yang aku pegang semakin kuat aku remas. Ada rasa perih dalam hati ini diberi pilihan untuk berhenti sekolah.Tapi, rasa sakit lebih terasa saat aku menatap wajah Bapak, terpancar kesedihan yang mendalam di raut wajahnya yang renta. Aku tahu, Bapak juga harus berjuang mengatasi perasaannya untuk membuat keputusan itu. Apa daya tidak ada pilihan lain.

Aku tarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Sambil menatap wajah tua yang sudah berjuang dengan setiap tetes keringatnya untuk kami sekeluarga. Walaupun dengan berat hati, rasa sayangku pada Bapak membuat aku harus mengambil keputusan bijak.

“Ya, gak apa-apa to,Pak! Kalau aku harus berhenti dulu, biar Mamas-nya lulus dulu.”

Suaraku terdengar perlahan karena ada tangis tertahan yang berusaha aku hentikan. Aku harus mengalah untuk berhenti setahun setelah lulus SMP. Melanjutkan ke jenjang SMA setelah Mamasku lulus. Aku berdiri berjalan ke arah Bapak dan merangkulnya dengan penuh kasih.

“Kamu gak apa-apa, Nduk? Gak nesu karo Bapak, kan?”

Gak kok, Pak!”

Pelukanku semakin erat di tubuh rentanya. Aku harus ikhlas dengan pengorbanan ini. Mungkin dengan ini akan meringankan sedikit beban di pundak Bapak, untuk mewujudkan keinginan dan harapannya, bahwa anak-anaknya harus bersekolah dan lulus semuanya.

Waktu terus berjalan begitu cepat. Aku yang seharusnya duduk dibangku SMA, saat itu hanya berdiam diri di rumah dengan membantu pekerjaan di rumah. Waktuku yang kosong semakin aku isi dengan membaca buku. Buku adalah tempat pelarianku dan diari menjadi saksi curahan hati yang aku rasakan. Lama-kelamaan membaca menjadi hobi yang menggila. Buku apa saja aku baca.

Seiring berjalannya waktu, Bapak menepati janjinya. Aku pun melanjutkan sekolahku di tingkat SMA dan bisa menyelesaikannya sampai lulus. Oleh karena keterbatasan beaya, aku tidak bisa melanjutkan sekolah. Cukup sampai di jenjang SLTA.

Belasan tahun telah berlalu, aku yang sekarang sudah berkeluarga dengan dikaruniai dua orang putera, menjadi ibu rumah tangga, dan aktif di kegiatan gereja. Tugas tambahan sebagai Pemangku Pekon Kubuperahu aku jalani. Kegemaran akan buku tetap saja berlangsung. Hingga di suatu waktu, aku dihubungi oleh Ibu Penatua di gereja kami. Beliau meminta agar aku ikut ambil bagian dalam kegiatan sosial di gereja sebagai pengelola lamban baca. Berkat perjuangannya, di gereja kami akan didirikan lamban baca. Tidak menunggu waktu lama, aku yang memang senang dengan membaca buku langsung menyatakan bersedia dan siap membantunya untuk mengelola lamban baca.

Berkiprah di Lamban Baca Karunia aku lakukan dengan tulus ikhlas. Ikut membimbing anak-anak di gereja kami. Apabila donasi buku dari para donatur kami dapatkan, Ibu Ketua akan segera menghubungi dan kami segera melakukan pencatatan dan pelebelan buku-buku tersebut. Aku belajar banyak di lamban baca ini. Tertib administrasi dan ikut membimbing anak dalam kegiatan literasi.

Di suatu hari kami kedatangan tamu di lamban baca. Tim GLD datang berkunjung di pimpin oleh seorang Ibu yang dikenal dengan sebutan Bunda bersama anggotanya. Tim GLD ini memberi motivasi kepada anak-anak untuk rajin membaca, dan juga kepada para orang tua/ ibu-ibu yang mengantarkan anaknya di lamban baca. Kebahagian terpancar di wajah kami semua, karena suasana di sore itu penuh keceriaan. Bernyanyi, bermain, dan kuis-kuis yang diberikan membuat anak-anak bahagia. Aku menjadi pengelola yang banyak mendapat hadiah karena mampu menjawab pertanyaan dari tim ini.

Di kegiatan Pesta Literasi juga, aku ikut berperan mempersiapkan anak-anak dalam mengikuti acara ini. Bersama anak-anak, kami lembur membuat poster literasi diet sampah plastik. Saat akan menuju lokasi lomba, karena jarak tempuh lamban baca dengan Lapangan Indrapati Cakranegara itu tidak terlalu jauh, jadi kami tempuh dengan berjalan kaki. Oleh Ibu Ketua, aku ditugasi untuk mendampingi anak-anak berjalan kaki. Anak-anak berbaris rapi dengan poster ditangan mereka masing-masing. Saat dalam perjalanan menuju ke lokasi, kami bernyanyi lagu Mars Lampung Barat Kabupaten Literasi. Dalam perjalan itu ada beberapa orang yang bertanya, ketika rombongan kami lewat.

 “Mau demo di mana, Mbak?”

Aku dan anak-anak pun tersenyum gembira, karena banyak orang mengira kami mau melakukan demo. Padahal, itu bentuk kreativitas Lamban Baca Karunia Liwa dalam mengekspresikan kampanye diet sampah di ajang Pesta Literasi.

Bersama Lamban Baca Karunia Liwa, banyak manfaat yang aku dapatkan. Keikhlasan dan pengorbanan yang pernah aku lakukan pada belasan tahun lalu, menjadikan aku seorang yang selalu ikhlas melakukan banyak hal. Memberi pertolongan sebisa yang aku mampu. Tuhan telah merencanakan hal terindah dalam hidupku. Pengorbananku membuat kehidupan keluarga Mamasku sekarang ini berjalan dengan baik. Kehidupan aku juga bersama keluargaku selalu diberkati Tuhan. Tidak berlebihan, tapi cukup dan bahkan masih bisa berbagi. Bapakku bisa menikmati masa tuanya dengan kebahagiaannya. Ini bisa aku rasakan, jika pulang ke rumah Bapak, saat mengunjunginya.

Setahun tidak melanjutkan sekolah membuat aku menyenangi buku, bahkan jatuh cinta. Kecintaan pada buku juga yang mengantarkan aku, ada, dan ikut berkiprah di lamban baca ini. Semua sudah digariskan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Sampai detk ini, aku selalu mensyukurinya sebagai sebuah nikmat yang Tuhan anugerahkan untuk aku.  Walaupun kecil, setidaknya inilah yang bisa aku persembahkan untuk mendukung program pemerintah dalam memajukan literasi. Semoga jaya literasi, dan majulah lamban bacaku…. []

  • Pemenang Keempat Lomba Menulis Antara Aku, Buku, dan Lamban Baca yang diselenggarakan Tim Gerakan Literasi Daerah (GLD) Lampung Barat, 2020.
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top