Pasukan di Garis Depan


Oleh Zabidi Yakub
“INNALILLAHI wainna ilaihi raji’un,” gumam Nindya lirih ketika membaca kabar ada mahasiswa tewas tertembak aparat polisi di Kendari, yang dikirim temannya melalui pesan whatsapp. Wartawati foto sebuah media online itu sesaat tercekat. Baru saja bangun, sepagi itu dia dihadapkan pada berita menyedihkan.
Tak terbayang olehnya, sakitnya diterjang peluru tajam. Dia yang kemarin diterjang water canon saja jatuh tersungkur ke aspal. Baju seragam kantor yang dikenakannya basah hingga tembus ke pakaian dalamnya. Kamera yang jadi senjatanya meliput aksi demonstrasi pun terlempar dan ikut kuyup.
Kemarau memang luar biasa panjang tahun ini. Cuaca kota Jakarta yang polusi udaranya tak bersahabat, membuat semakin berat tarikan napas. Ditambah hantaman water canon yang mendera tubuhnya, membuat Nindya merasakan sakit tak terperi. “Apa rasanya kalau digebuki seperti pencopet yang diamuk massa,” pikirnya.
Saking panasnya udara, bajunya yang basah bisa kembali kering setibanya dia di kantor jelang magrib. Tapi, berlama-lama meliput aksi demo mahasiswa dalam balutan pakaian yang basah, tak urung membuatnya menanggung aib yang tak kalah mengenaskan. “Badanku sakit semua dan merasa seperti masuk angin,” keluhnya.
Buntut kena terjangan water canon yang memaksanya menyandang pakaian basah hingga balik ke kantor pakaiannya jadi kering, tak ayal membuatnya memutuskan untuk izin tidak masuk kerja esok harinya. “Badan gua sakit-sakit semua, kagak kuat gua kalau besok masih harus ngeliput lagi. Gua minta izin istirahat sehari,” rengeknya pada redaktur foto yang membawahinya.
Beruntung kamera digital yang digunakannya merekam gambar kebrutalan aparat kepolisian yang berupaya membubarkan mahasiswa dengan menembakkan water canon, terhindar dari rampasan aparat yang merasa tidak berkenan gambarnya direkam. Sekadar basah masih bisa disiasati oleh redaktur foto andalan kantornya, yang berusaha mengeringkannya dengan hair dryer.
Bagaimana pun chaos-nya situasi demo, seperti apa pun paniknya massa, yang berusaha menyelamatkan diri dari terjangan water canon atau pentungan aparat, kadangkala masih ada keberuntungan-keberuntungan yang tak terduga datang menghampiri. Dan, keberuntungan yang tak boleh dianggap kecil adalah ketika ada yang menolong tak lama setelah dirinya terjatuh.
“Untung ada beberapa mahasiswi yang cepat menolong saya. Mereka angkat dan menuntun saya menyingkir ke tempat yang lebih aman. Kalau tak cepat mereka angkat, mungkin saya akan terinjak-injak oleh orang-orang yang panik di tengah bentrok dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Saya sangat bersyukur, masih ada solidaritas tolong menolong,” ceritanya.
Di keseharian mahasiswa beraktivitas di kampusnya masing-masing, mungkin tak begitu terasa iklim solidaritas di antara mereka. Sibuk dengan urusan studi dan dunianya masing-masing adalah keniscayaan. Tapi, buat sebuah aksi demo, jangankan urusan pribadi, yang biasa mager pun mau tidak mau akan terpanggil untuk ikut bergerak turun ke jalan. Demi sebuah pesan: menyuarakan tuntutan.
Begitu juga kehidupan wartawan. Sebagai pasukan di garis depan peliputan, tak dikenal individualistis. Tak semua acara kenegaraan atau event seremonial bisa di-cover seorang diri. Pasti dibutuhkan kerjasama tim yang solid agar bisa memperoleh hasil liputan yang qualified. Kerjasama dengan media lain pun adalah sebuah keharusan. Saling tukar menukar konten berita dan gambar itu jamak dilakukan.
Apalagi di tengah disrupsi media, pemain baru yang unggul secara konten berita akan keluar menjadi pemenang dan bisa menggilas pemain lama. Oleh karena itu, untuk bisa bertahan, solusinya adalah dengan upaya memperbaiki diri. Ada istilahnya ‘musuh-musuh yang tidak kelihatan,’ ada yang berhasil mengatasinya, tapi banyak juga yang gagal. Karenanya, dibutuhkan kolaborasi di antara sesama media.
Apa yang diderita Nindya, masih terbilang beruntung bila dibanding Vany, wartawan Televisi digital berplatform YouTube, yang telepon selulernya dirampas secara paksa oleh polisi. Kejadiannya bermula ketika Vany meliput kerusuhan di sekitar Gedung DPR pada pukul 20.00 WIB. Saat itu Vany melihat sejumlah polisi di depan Restoran Pulau Dua Senayan yang berusaha menghalau massa di sekitar flyover Bendungan Hilir.
Pikir Vany, itu momen yang sangat mubazir bila diabaikan. Dia pun mengambil gambar dan merekam video. Tanpa dia sadari datang anggota Brimob dari arah belakangnya dan langsung memukul dengan tameng hingga dia nyaris terjerembab. Saat dia berusaha berdiri, polisi yang memukulnya itu mengambil telepon selulernya dan membantingnya ke trotoar. Datang pula seorang polisi lainnya memungut dan memasukkan telepon seluler itu ke kantongnya sendiri.
Tindakan represif aparat kepolisian tidak hanya menyasar mahasiswa, wartawan yang jelas-jelas bertugas menegakkan salah satu pilar demokrasi, yang dilindungi oleh undang-undang pun tak luput dari perundungan. Anehnya, aparat kepolisian seperti tak ambil peduli meski wartawan sudah menunjukkan identitas sebagai wartawan yang dilengkapi atribut kartu pers atau ID Card yang mereka kalungkan di dada.
Seorang wartawan Kantor Berita Antara di Makassar, menjadi korban pemukulan polisi saat aksi unjuk rasa terjadi di depan Gedung DPRD Sulawesi Selatan yang berujung bentrok. Wartawan koran ternama di Jakarta pun seakan tidak imun dari aksi persekusi aparat polisi. Ia mengaku, mengalami tindakan intimidasi oleh polisi karena merekam pengeroyokan polisi terhadap seorang pria yang jatuh tersungkur di samping JCC.
Pria yang dikeroyok polisi itu tubuhnya sudah lunglai, jalannya pun harus dipapah. Tapi, cara polisi memapahnya itu sangat kasar. Setengah dipaksa jalan, setengah diseret. Momen itulah yang direkamnya. Rupanya polisi tidak senang tindakan brutal mereka direkam. Seorang pejabat polisi memintanya berhenti merekam. Meski sudah menjelaskan identitasnya wartawan sebuah koran ternama, tetap saja polisi memaksa agar video itu dihapus tapi ditolak oleh yang bersangkutan.
Baik wartawan maupun aparat kepolisian, sebenarnya mereka bekerja di bawah korps yang sama-sama dilindungi oleh undang-undang. Wartawan bekerja dibatasi oleh rambu-rambu kode etik jurnalisti, demikian juga aparat kepolisian dalam bekerja harus sesuai standar operasional prosedur. Wartawan bertugas mencari dan menyampaikan berita kepada masyarakat. Polisi bertugas sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat.
Bagi siapa saja yang melakukan kekerasan dan menghalang-halangi wartawan dalam melaksanakan tugas peliputannya, maka si pelaku tersebut dapat dikenakan hukuman selama dua tahun penjara dan dikenakan denda paling banyak sebesar limaratus juta rupiah. Insiden kekerasan yang dialami Nindya, Vany, dan lainnya, berupa perampasan telepon seluler atau bentuk perundungan lainnya itu adalah hal yang serius. Tidak seharusnya terjadi di negara demokratis. []
Bukit Kemiling Permai, 3 Oktober 2019
————–
Zabidi Yakub, lahir di Bandingagung, Ranau, Sumatera Selatan, 28 Oktober 1961. Bermukim di Bandar Lampung sejak 1994, mengabdi di Harian Lampung Ekspres Plus sejak masih Surat Kabar Mingguan Tamtama hingga kini. Tahun 1998, dan 2004—2010 sebagian puisinya sesekali muncul di koran tersebut, juga beberapa artikel dan kolom pada rubrik “Kacamata Zabidi”. Sebagian puisi dan catatannya terhimpun dalam Sehirup Sekopi (2018). Sajak-sajaknya yang lain termuat dalam Negeri Para Penyair: Antologi Puisi Mutakhir Lampung (2018).
