Sajak

Sajak-sajak Y Wibowo

nyanyi kembang kopi 1

ranting-ranting kering dan meranggas
merobek langit memuja bintang, mereka bertukar kisah
sejak mula bukit ini dihuni musang yang melata
berbaris serupa pasukan perang disetiap petang
ketika fajar tak lagi pernah berganti
kelopak kembang kopi berguguran

berlaksa tahun kembang kopi menorehkan catatan
di atas awan dan ingatan
serupa mimpi-mimpi berhamburan

“petiklah tangkaiku,
tak ada luka menjerit
atau murka, kami hanya sepantun madah
berguguransepanjang kaki bukit
sebagai tempat singgah”

disepanjang kaki bukit sebagai tempat singgah
kami sadari telah berpisah badan berpisah jiwa
saat kami rindu masa lalu
tak ada getar, kaki bukit hanya diam termangu

getar suara musang yang dulu meraung berulang-ulang
pada padang terik yang telanjang
jejaknya hilang dibalik silsilah
sungguh, tak mungkin terulang

“kami serupa jejak petualang sebelum harapan diraih, kami berpantang
menandai jalan pulang”

kepada siapa akan dikenang

-Kaki Krakatau, Oktober 2011

nyanyi kembang kopi 2

di bukit yang telanjang
di seruas harapan
anak-anak berebut setangkai kembang kopi
diselipkan diantara gerai rambut dan telinga
riap wajahnya seumpama fajar merona

ahai, siapa tak kan terpana
kerling matanya yang jenaka

disinilah way tenong, jembatan segala doa
segala yang ada dan tiada bermuara
dan kepada pemuja rahasia:
panjatkanlah kepada kembang disegala musim
pergi dan kembalilah dengan penuh takzim

hai, petualang yang berpantang pulang
sepekat mendung menggantung di awan
sekuyup embun yang gemetar jatuh perlahan
bawalah peruntungan masa depan
dan kabarkan;
bahwa disini cinta bersemitiap pagi

Kaki Krakatau, 3Desember 2011

nyanyi kembang kopi 3

( + ): disegala musim, musang merayap dari batang ke batang, mengunduh kopi dari pagi hingga petang menjelang, gaunnya berkibar menebarkan sejuk embun, kakinya menjejak dan mencakar harapan, semua tanpa jawab dan pertanyaan, mereka hanyabertukar kisah: tak ada rindu-dendam, hanya resah yang kami titipkan. dilain waktu, saat subuh meletup, seekor anak musang yang terpisah dari rombongan tersesat di rimbun kabut, barangkali ia tak mengerti jika jalan ke bukitselalu berubah arah, dalam langkahnya semak-semak selalu meninggi, batang dan reranting kopi menjadi licin dan tajam,  serupa bebatuan cadas yang menggores pundaknya.

( – ): kasihan…

( + ): begitulah musang itu tersesat, dalam keterasingan, ia memuja setiap batang, ia jilati seluruh ranting dan tunas-tunas kopi, ia purnakan kesunyian, sunyi yang mengepung dan deras menghujan:

“toean, hamba hanya mahluk yang doyan kopi masak, tak ada
kecut dan masam pada rasanya, jangan toean benci hamba karena tak memilih yang nista”,
gumamnya.

( – ): ow, jadi ia pemilih?

( + ): tentu, ia akan memilah dan memilih, diantara gumpalan kopi, ia mahkotai dengan liurnya, ia memipil setiap biji dengan gigi ajaibnya, meminjam keriangan kanak-kanak ia memamah lupa.

( – ): tapi,…

( + ): ya, tapi mana mungkin seekor musang akan memilih calon pemimpin idamanmu, ia hanya seekor musang yang hasratnya merombengi bulan, kaki dan cakarnyahanya ingatan masa silam, ia simpan dan ia berakkan biji-biji ajaib penuh harapan itu sebagai masa depan penuh harapan. tentu hanya harapan bagi pencandu kopi yang  tetap akan dianggap kampungan.

( – ): o, la la…

-Kaki Krakatau,Januari 2012

nyanyi kembang kopi 4

telah kesekian kali musim gugur
kau tetap menyebutku orang kampungan
seorang yang lahir dari persetubuhan angin dan hujan
tapi sajakku jutaan bintang merah jambu
–disetiap pendar langit tak berpintu
kata-kata berbiak ke delapan penjuru

sudahlah, aku akan terus menggendan kamuorang
dengan tiga tangkai layu kembang
dan secangkir kopi fragmentasi musang

jangan terus memintaku memilih jalan kamuorang
dimana jalan nasibmu yang diperam lautan
berpusar dalam arus keruh bayang-bayang
sementara jalan nasibku telah masak bersama mantra yang bergesekan
; mantra yang diolesi liur musang!

-Kaki Krakatau, Mei 2012

Kalianda, Anak Badai dan Monumen Sebuah Kota

(1)
ia ada dari geriap doa
ribuan tangan yang tengadah mengharap riba
; ketika badai meletup
sebuah kota lahir dari cahaya redup

saat itu detik-detik mengucur deras
disebuah puncak gunung
segerombolan kabut menguar;
kepada moyang rumputan
kepada pias gelombang yang karatan
aku nyatakan kepadamu wahai penguasa semesta alam
sejak mula kalianda lahir dari tete…

(2)
di pinggir cakrawala; batas antara bumi dan kedipan mata
langit gelap, tanah pesisir dilecut petir
kampong-kampung meledak
ujung kota koyak
sejarah petang meremang
sepasukan kelelawar berhambur
dari kutukan riuh tambur

dan dari mantra dukun yang birahi menindih ngarai
anak badai lahir
bersama peziarah menggendam takbir

(3)
di monument yang karatan
tahtanya berhias kelopak anggrek hutan
dengan dibaiat mantra dukun yang birahi
; sepasang pengantin mengaku pemimpin
setelah itu anak-anak menjadi cepat dewasa
memuja segala yang tampak dan yang tiada

maka ketika para perantau pulang
kakinya tercabik duri belukar dan ilalang
sadarlah mereka; saat darah mengalir dari kuntum usia yang hilang
melihat kampung serupa besi karatan
serupa tanda dan lambang yang tak terumuskan

bukan karena rindu-dendam
bukan karena kemilau baying masa silam
tapi gemertak ketimpangan pembangunan

saat itu senja meremang
mereka bergegas mengkremasi ribuan lambing
“kota ini harus dibebaskan,
dari mantra pengantin purba,
dari culas persekutuan”.

seiring gumam mantra dan asap kemenyan
mereka mengumpulkan kumis harimau kumbang
meracik serbuk sirip hiu dan liur babi hutan
menyuling minyak nilam, mengumpulkan kulit penyu,
bulu camar, akar bahar, moncong todak
dan patahan jangkar

lalu bersama para penyabit rumput
mereka bersihkan bongkahan lumut
di bibir sepasang pengantin

(4)
di bawah cerlang bintang
dipuing sebuah monument
anak-anak bertukar kisah;
huruf demi huruf telah kami tulis,
sebagai sebuah pesan –dalam hidup yang memang tak beraturan

Kaki Krakatau, November 2011

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top