Buku: Antara Iswadi, Oyos dan Chen Lung
Oleh Hardi Hamzah
KETIKA membaca FB Iswadi Pratama mencari Putu Wijaya setelah memberinya buku. Dia menyayangkan tidak bertemu Putu. Cerita tentang buku, saya juga ingat pernah menberi Iswadi buku Bhahgawad Gita. Saya ingin sekali ia memaknai Bhahgawad Gita, utamanya pada Seloka 32 dari bab x yang bunyi kalimatnya: “Aku menjelma menjadi kematian.”
Kematian di dalam kitab itu adalah “kala”, yakni sang waktu. Lalu, saya bertanya, adakah fakta alternatif dalam waktu. Ya, setidaknya setelah bersekian kali saya mati gaya atau kak Is yang mati waktu atau menjadikan kala itu sunyi dalam waktu yg berlainan. Setidaknya setelah berkali kali sy menghubunginya, Pertanyaan ini jawabnya ada pada fakta alternatif yang ditawarkan Oyos Saroso HN.
Fakta alternatif ditawarkan Oyos ketika sekian tahun lalu, kami berdua membedah buku bang Ansori Djausal dan Khaidir Asmuni, Komunitas Gelembung Sabun. Kami berdua didaulat menggantikan sejarawan Anhar Gonggong. Dalam diskusi buku itu Oyos mengkritik keras tentang gelembung-gelembung sabun yang menurutnya bisa ada dalam fakta kehidupan yang menyimpang. Asumsi ini agaknya yang kemudian muncul dalam tulisan satirenya tentang pilgub di provinsi lampung di Pilar.
Fakta alternatif memang selalu ada dalam buku sederhana yang diterbitkan oleh The Guardian. Buku itu dikutip jubir kepercayaan Donald Trump yang membohongi publik dengan fact alternative. Sedikitnya jumlah yang hadir pada pelantikan adalah karena adanya fakta alternatif kesibukan masyarakat. Padahal jelas ini kebohongan besar.
Namun demikian, buat Oyos fakta alternatif itu bukanlah kebohongn, tetapi kenyataan yang dibolakbalikkan oleh elite politik di antara kebingungan masyarakat. Ini yang saya rasakan dari buah pikir Bung Oyos dalam tabloid Akar yang pernah dipimpinya, ketika ia membahas sebuah buku yang saya lupa judulnya.
Lain lagi dengan sahabat saya Chen Lung. Sahabat saya ini mengingatkan saya pada Hamlet drama cerita William Shakespare, yang selalu pura pura gila, tetapi memberikn kesejukan dalam fakta. Semua tidak ada yang benar, tutur Chen Lung lewat suara kerasnya via telpon di depan Polda Metro Jaya.
Kawan yang biasa ceplasp-ceplos ini, lalu berkata keras, “Lo jangan ngeharepin jual buku dan ilmu dengan elite politik. Semua mereka itu pura-pura.”
Chen Lung memang tidak suka pura-pura.
Di tepian tiga cerita itulah, saya memaknai bahwa setiap orang bisa mati kerena waktu, bisa hidup karena fakta alternatif, dan bisa hidup terus karena tidak pernah pura-pura. Dan, bisa hidup abadi karena doa. Bukankah kita bervisi sama ketika memaknai ayat 4 dan terakhir dari Surat Adh Dhuha? []
————
Hardi Hamzah,
kolumnis