Cerita Pendek

Teman Saya Kebelet Kawin

surat cinta

SAYA akan kisahkan sebuah romantika seorang teman yang dirundung asmara sampai tak enak makan, tak nyenyak tidur, … Ahai, saya tak melebih-lebihkan kok. Benar demikian adanya.

Kejadiannya, 1980-an. Setelah cerita panjang lebar mengenai gadis pujaannya berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan sampai saya bosan, teman ini (namanya sengaja tak disebutkan) memintakan bantuan saya.

“Kasihin surat ini ke dia ya,” kata dia penuh harap.

“Surat apa?”

“Ya, suratlah…”

Yaelah, saya kok lebih sering jadi tukang antar surat yang beginian ketimbang bikin sendiri, lalu menyampaikan kepada seseorang yang barangkali saja memang menunggu-nunggu pernyataan rasa dari saya seorang.

Nah, kok malah saya yang jadi ge-er. Hahaa…

Baiklah, demi teman, saya bersedia menyampaikan surat cinta bersampul merah jambu. Hihii… Kebetulan si gadis adik kelas satu SMA. Namanya juga tak perlu disebutkan ya.

Tapi, saya ogah kasih surat di sekolah.

“Di kosannya. Ini alamatnya,” kata Teman tadi sambil menuliskan alamat dan denah tempat tinggal si Gadis.

Terpaksalah saya pergi ke tempat Gadis setelah minta ongkos angkot terlebih dahulu kepada Teman.

Saya bukan cowok yang ganteng-ganteng amat dan tidak pula terlalu gentle. Meskipun tampang dan kualitas, tidak memalukan, saya tetap tak punya keberanian untuk mengutarakan isi hati kepada cewek. Kala itu.😛😛 Tapi, terima kasih Teman telah memfasilitasi saya berkunjung ke seorang gadis — alasannya mengantar surat. Hehee…

Saya enggan cerita tentang pertemuan dengan Gadis dan bagaimana Gadis menerima surat Teman.

Saya juga lupa-lupa ingat surat bagaimana surat-menyurat berlangsung antara Teman dan Gadis. Hanya sekali saya membawa surat balasan dari Gadis.

Setelah itu, Teman minta tolong lagi.

“Antar saya ke dokter?” ujarnya.

“Lo, sakit? Kayaknya sehat-sehat saja…”

“Kepala saya pusing, panas-dingin, dada berdebar-debar terus,” keluhnya.

Ya sudah, saya antar Teman ke dokter. Kondisi badannya ia sampaikan semua ke dokter. Dokter pun senyam-senyum, memeriksa, dan memberikan resep obat. Pulang.

Tiga-empat hari, Teman tak merasa sembuh. Kini ia mengeluhkan dokternya. Ganti dokter. Tak juga sembuh.

Terpaksa gonta-ganti dokter, dari dokter umum, dokter penyakit dalam, dokter paru-paru, dokter jantung hingga psikiater. Yang tidak saya tahu, dukun…. Kurang paham kalau diantar  yang lain. Hehee… Tetap saja, walau kelihatannya Teman sehat-sehat saja, ia tak sembuh juga.

Sakit  apa Teman, pusiing saya. Ai, bodoklah. Saya ogah mengantarnya lagi ke dokter.

Biarin aja. Sehat kok dia bilang sakit mulu. Ngeselin aja.

Bener-bener, dia aja bingung,  dokter bingung, saya bingung, semua bingung Teman sakit apa.

Sekian lama… Orang tua Teman menengoknya. Bapaknya banyak bercerita mengenai harapan agar anak-anak bisa kuliah dan menjadi sarjana. Tapi, agaknya harapannya itu tidak akan terwujud. Anaknya tak ingin kuliah.

Saya lalu menanyakan soal sakitnya Teman.

Lama Bapak Teman tak menjawab sampai ia berkata, “Itulah… Kata dokter, dia tidak sakit. Cuma, kepengin kawin.”

Aguiii… 😄😄😄 []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top