Panggung

Angkatan 90, Sastra, dan Upaya Bikin Buku

MANUSKRIP DAN BUKU: Jurnalistik Kampus (1992), Naskah Puisi Sarasehan dan Temu Penyair Lampung 1994 (1994), Daun-daun Jatuh Tunas-tunas Tumbuh (1995), Anak Muda Minta Perubahan (2000), dan Etos Kita: Moralitas Kaum Intelektual (2002)

BAIKLAH, saya mau bikin orat-oretan sekaitan perkembangan sastra di Lampung sepanjang pengetahuan saya. Tidak terlalu ilmiah, apalagi disertai dengan catatan kaki.

Saya cuma tergerak untuk melengkapi Catatan Herman Batin Mangku, “Generasi Sastra, Generasi UKMBS” di Facebook-nya, 18/6/2017, yang dimaksudkan sebagai catatan atas kliping tulisannya “Panggung Puisi Kita Dewasa Ini” tertanggal 9 November 1994.

Saya beruntung karena sebagai aktivis pers mahasiswa, saya sempat diberi amanah menjadi Redaktur Budaya (1991-1993) dan staf Litbang karena sulit berkembang, hehee… (1994-1996) di Surat Kabar Teknokra Unila. Dalam posisi itu, saya bisa lebih leluasa memperhatikan perkembangan sastra di kampus dan juga Lampung.

Pada 2005–2006, dengan dibantu Juperta Panji Utama yang meminjamkan koleksi buku sastranya, saya yang di Litbang DKL mencoba mekakukan “riset” sastra Lampung. Meskipun penelusuran saya terhadap sastra dan sastrawan Lampung belum selesai karena saya keburu harus ke Borneo pada 2006, sedikit banyak saya mendapatkan gambaran tentang sastra di Lampung.

Saya coba menuliskannya.

***

Sebelum mulai, saya perlu menjelaskan, Angkatan 90 yang saya maksudkan dalam tulisan ini bukan sebuah angkatan dalam periodesasi sastra seperti yang kita kenal dengan Angkatan Pujanggga Baru, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan 45, Angkatan 66, Angkatan 80, dan Angkatan 2000. Kalau itu, jelas berat. Biarlah kritikus yang bikin periodesasi sastra.

Angkatan 90 itu hanya angkatan saya masuk kuliah di FISIP Unila. Penamaan dan tulisan ini terinspirasi dari Buka Bersama (Bukber) Angkatan 90 FISIP Unila, Sabtu, 17 Juni 2017 lalu. Secara kebetulan pula saya kenal penyair yang sejawat sesama Angkatan 90 di FISIP Unila, Iswadi Pratama. Ada juga penyair Juperta Panji Utama (Angkatan 90 Fakultas Pertanian Unila) dan Ahmad Yulden Erwin (Angkatan 90 Fakultas Ekonomi Unila).

Yang saya maksud sebenarnya Angkatan 90-an. Selama jadi mahasiswa dalam dekade ini, saya ikut-ikutan pula demo. Walau saat Reformasi 1998 saya justru jadi pengangguran kelas berat. Eh, tapi saya tak hendak membahas yang pelitik-pelitikan.

Saya hanya mau bilang, penyebutan Angkatan 90 itu enak. Meskipun saya menyebut Angkatan 90, saya juga tetap perlu membicarakan sastra Lampung serba sedikit tahun 1980-an berdasarkan pembacaan saya dan pengalaman diam-diam ngikut acara sastra di Bandar Lampung. Sejak 1986 saat saya mulai bersekolah di SMAN 2 Bandar Lampung, secara nyumput-nyumput saya melihat geliat sastra di Lampung.

Beberapa buku sastra bikinan sastrawan Lampung saya beli kok, meskipun koleksi saya itu kebanyakan hilang ditilep mahasiswa Bahasa dan Sastra yang jadi tetangga saya atau tercecer entah ke mana. Beberapa koran yang memuat karya sastra (puisi, cerpen, esai) saya beli juga. Saya tukang kliping juga. Tapi, dalam tulisan ini saya ingin sekadar menyebutkan nama-nama yang saya temukan di buku-buku sastra — kebetulan kebanyakan puisi.

Saya menemukan nama-nama: Syaiful Irba Tanpaka, Khorina Verina PP, Hendra Z, Lasma Dwina Rosmalianti Tulisita Sihite, Isbedy Stiawan ZS, Yulisa, Syamsul Lesmana, Christian Heru Cahyo Sapoetro, Panji Utama, Amah R Kapitan, Panji Sastra, Susi Herawati, Zen E Antura, dan Iwan Dedi dari antologi puisi Parade Penyair Lampung (diterbitkan Kelompok Empat Belas, Bandar Lampung, 1986). Buku yang dipengantari Drs Sutjipto ini diterbitkan untuk Acara Parade Penyair Lampung yang diselenggarakan oleh Kelompok Empat Belas dan Sanggar Sastra Cia Lampung di Gedung Loka Bina Karya Tanjungkarang pada 27 April 1986.

Dalam soal penerbitan buku, Isbedy Stiawan ZS memang telah memulainya sejak doeloe. Buku puisi Isbedy itu: Darah (1982), Badai (1984), dan Akhir (1986). Syaiful Irba Tanpaka tak ketigalan dengan buku puisinya, Mata-mata (1994). Lalu, ada Aan Sarmany Adiel HA dengan buku puisinya, Serai Serumpun (1973), Desa Tercinta (1974), Bermalam di Alam Mimpi (1976), dan Transpersal (1987).

Pada 1987, Radio Suara Bhakti (Rasuba) menerbitkan antologi sajak Memetik Puisi dari Udara. Buku puisi yang dieditori Arie S Muchtar dan Sutjipto ini memuat karya-karya penyair: Hendra Z, Tini Gedungmeneng, Iwan Nurdaya-Djafar, Rojali, Isbedy Stiawan ZS, Zen E Antura, Panji Utama, Muhtar Ali, Christian Heru Cahyo Sapoetro, Dadang Ruhiyat, Abdullah Syukri, Achmad Rich, AA Abadhy, Asaroedin Malik Zulqornain Ch, Syaiful Irba Tanpaka, Hendrik IP Hawary, Ahmad Geboh (nama lain dari Ahmad Yulden Erwin), Khoirina Varina PP, Panji Sastra Sutarman, dan Yulisa.

Masih tahun yang sama, diselenggarakan Temu Penyair se-Bandar Lampung di Aula FKIP Unila, Bandar Lampung, 14 November 1987. Dari acara ini lahir antologi puisi yang dieditori Isbedy Stiawan ZS dan Iwan Nurdaya-Djafar dan diterbitkan Kelompok Seni Budaya Unila, Bandar Lampung. Tercatatlah nama-nama: Iwan Nurdaya-Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Sugandhi Putra, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, AJ Erwin, Panji Utama, Christian Heru Cahyo Sapoetro, D Pramudya Mukhtar, Yustina, Hermasyah, Udhi Mashudi, Raswan, Jalu Mampung, Heni S Zainuri, dan Oeviex.

Lalu, ada Forum Puisi Indonesia 1987 yang digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang menghadirkan tak kurang dari 80 penyair. Penyair asal Lampung yang tercatat mengikuti kegiatan ini adalah Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Djuhardi Basri, Sugandhi Putra, Naim Emel Prahana, Iwan Nurdaya-Djafar, dan Achmad Rich.

AJ Erwin dan Panji Utama ikut meramaikan sastra Lampung dengan buku antologi puisi berdua, Tap, diterbitkan Himpunan Remaja Pencinta Seni (HRPSL), Bandar Lampung, 1988. HRPSL juga melahirkan antologi puisi bersama Pewaris Huma Lada (1988), yang memuat karya-karya penyair Lampung: Pondi, M Syahran W Lubis, Panji Utama, Andika Sidik, Christian Heru Cahyo Sapoetro, Mohammad Ozal, dan AJ Erwin.

Lalu, menutup era 1980-an, Iwan Nurdaya-Djafar dan Sugandhi Putra menelurkan antologi berdua Seratus Sajak, diterbitkan Fajar Agung, Jakarta, 1989. Dan, DKJ mengundang tiga penyair Lampung (Isbedy Stiawan ZS, Iwan Nurdaya-Djafar, dan Sugandhi Putra) untuk baca puisi di Teater Arena Taman Ismail Marzuki (TIM). Plus Syaiful Irba Tanpaka yang membantu membaca puisi-puisi ketiganya.

Akan halnya saya, masih tetap mengikuti perkembangan dan memperhatikan situasi saja. Hehee…

***

Memasuki tahun 1990 ketika saya melepaskan seragam putih abu-abu dan mulai belajar menjadi mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan Persiapan FISIP Unila; cerita tentang sastra kampus (Unila) dan Lampung semakin penuh warna-warni. Pertama-tama, saya kenal Iswadi Pratama sebagai teman satu angkatan dan satu jurusan. Selain buku bahan Penataran P4, ia suka membawa-bawa sebuah jilidan. Belakangan, saya baru tahu jilidan itu berisi sajak-sajak karyanya. Saya yang belum kenal dia, bertanya-tanya dalam hati, “Iswadi ini penyair tah?”

Maspril Aries, mahasiswa Ilmu Pemerintahan tingkat akhir yang kasih materi tentang Surat Kabar Mahasiswa dalam sebuah sesi penataran, bertanya, “Siapa yang bisa baca puisi ini?”

Sementara kami yang lugu-lucu-culun masih terbengong-bengong, Iswadi mengacungkan jari dari belakang. Ia kemudian membacakan sajak yang disodorkan Maspril berjudul “Almamater” karya Iwan Nurdaya-Djafar. Ow, jadi benar Iswadi Pratama itu penyair rupanya. Yang nulis puisi, Iwan Nurdaya, tentulah penyair pula. Kalau Maspril, kayaknya dia penyair juga deh waktu itu. 🙂

Belakangan saya tahu, tiga sekawan Juperta Panji Utama, Ahmad Yulden Erwin, dan Iswadi Pratama adalah penyair terdepan di era 1990-an. Untungnya, saya boleh jadi teman dan pengagum mereka bertiga. 🙂

Pada kesempatan pertama Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Teknokra membuka pendaftaran anggota baru, saya mendaftar setelah sebelumnya diajak kakak tingkat mengelola Majalah Republica FISIP. Jadilah, saya ikut-ikutan “bekerja” (caelah) di dua pers mahasiswa sekaligus: Surat Kabar Mahasiswa Teknokra dan majalah Republica.

Duh, jadi ngelantur ke dunia jurnalistik. Tapi, memang susah sih memisahkan sastra dengan jurnalisme. Itu sudah, setelah ini saya mau cerita tentang sastra dan jurnalisme yang terkait dengan kegiatan sastra.

***

Begitulah, ceritanya saya jadi wartawan kampus. Sebenarnya, dari nama-nama yang tergabung di pers mahasiswa, Teknokra dan Republica FISIP, termasuk Pilar Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Warta Unila; terdapat bibit-bibit kesastrawanan. Selain menulis karya jurnalistik, mereka juga menulis puisi, cerpen, dan esai. Sekadar menyebut nama: Eddy Rifai, Hersubeno Arief, Maspril Aries, D Pramudya Mukhtar (yang juga aktif di UKMBS dan //Warta Unila//), Hartono Utomo, Raswan, Tb Udhi Mashudi, Iman Untung Slamet, Budisantoso Budiman, Desmalena Hernawati, Rozali Umar, Affan Zaldi Erya, Sakwan Rejab, Anton Bachtiar Rifai, Asrina Novianti, Fadilasari, dan Leni Setyaningsih (Teknokra), Heri Mulyadi (Republica), Alex R Naingolan (Pilar Ekonomi), serta Rosita Sihombing dan Kus Winarto (Warta Unila). Beberapa nama seperti Kus Winarto, Rosita Sihombing, Alex R Nainggolan dan Asrina Novianti masih produktif menelurkan karya sastra hingga sekarang. Belakangan Heri Mulyadi pun seperti bangkit berkarya.

Saya kurang paham, kenapa para aktivis pers mahasiswa di Unila ini kurang berkembang di dunia sastra. Barangkali benar kata Anton Bachtiar Rifai, “Sastrawan yang berhasil, ngumpulnya di UKMBS. Kalo sastrawan gagal, ngumpulnya di Teknokra.” Tapi, Maspril Aries punya pandangan lain. Kata dia, ” Bukan sastrawan gagal, Bro Anton Bahtiar Rifa’i. Tapi, manusia setengah sastrawan — modifikasi dari lagunya Iwan Fals.” Entahlah, nyak mak pandai (saya tidak tahu). Tapi, setahu saya, sampai sekarang Anton Bachtiar Rifa’i masih pengagum berat Rendra dan Kantata Takwa. Hehee…

***

Benar, melalui Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS), tiga sekawan Panji Utama, Iswadi Pratama, dan Ahmad Julden Erwin menerbitkan antologi sajak Belajar Mencintai Tuhan (1992). Buku ini dipengantari Yoke Muelgini. Lebih dari itu ketiga penyair melalui buku ini mengapungkan Manifesto Gerakan Puisi Pencerahan 90.

Pada 1993, Isbedy Stiawan ZS bersama penyair daerah lain, Koko Bae dan Ismet NM Haris melahirkan buku Cap Jempol, Antologi Tiga Penyair Kota, yang diterbitkan Dapur Sastra Musi, Palembang.

Sekarang saya pinjam klipingnya Herman Batin Mangku yang menulis “Panggung Puisi Kita Dewasa Ini” (Lampung Post, 9 November 1994). Tulisan ini dibuat setahun mengenang gagasan gubernur waktu itu, Poejono Pranyoto, pengukuhan lahirnya Dewan Kesenian Lampung (DKL), 17 September 1993. Dalam tulisan yang dibuat setahun mengenang gagasan gubernur waktu itu, Poejono Pranyoto, pengukuhan lahirnya Dewan Kesenian Lampung (DKL), 17 September 1993, tersebutlah penyair-penyair: D Pramudya Mukhtar, Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Ahmad Julden Erwin, Kuswinarto, Gunawan Parrikesit, Christian Heru Cahyo Saputra, Panji Utama, dan Rifian A. Chepy.

Masih tahun yang sama, tepatnya 25 November 1994, Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra (Himbas) Unila menyelenggarakan Sarasehan dan Temu Penyair Lampung 1994. Saya tidak terlalu ingat siapa yang menjadi nara sumber dalam sarasehan. Yang jelas, acara ini meninggalkan jejak berupa manuskrip Naskah Puisi Sarasehan dan Temu Penyair Lampung 1994. Ada nama-nama Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Christian Heru Cahyo Saputro, Panji Utama, Iswadi Pratama, Muhtar Ali, Ari Pahala Hutabarat, Rifian A Chepy, dan Adreas dalam manuskrip tersebut.

***

Usai Musyawarah Besar (Mubes) SKM Teknokra, 1994 yang memilih Affan Zaldi Erya sebagai Pemimpin Umumnya dengan Pemimpin Redaksi Anton Bachtiar Rifa’i dan Pemimpin Usaha Moh. Ridwan; saya di-Litbang-kan 🙂 bersama Syafarudin, Rozali Umar yang tak lama kemudian lulus kuliah, dan siapa lagi saya lupa.

Selain menerbitkan pers, dalam program kerja Teknora yang disahkan Mubes, tercantum juga program penerbitan nonpers seperti jurnal dan buku-buku.

Bersama Syafarudin di Litbang, saya membahas kemungkinan bagi Teknokra untuk menerbitkan buku. Saya — yang kemudian diiyakan Syafarudin — mengusulkan agar Teknokra menerbitkan tiga buku, yaitu buku Jurnalistik Kampus dan kumpulan kolom tetap Teknokra, “Etos Kita”, keduanya sudah saya persiapkan manuskripnya. Dan, satu lagi — setelah berkonsultasi dengan Iswadi Pratama — saya mengusulkan untuk memetakan penyair kampus (Unila) dalam bentuk penerbitan antologi sajak yang memuat karya-karya mahasiswa Unila.

Saya suka puisi dan juga suka buku. Saya gembira — sebagai redaktur budaya Teknokra yang banyak menerima naskah sastra dari mahasiswa — karena peminat sastra di kampus hijau sebenarnya cukup banyak. Saya berpikir, sayang kalau puisi-puisi itu tak disatukan dalam buku. Saya pun membuat selebaran bejudul “Memetakan Penyair Kampus”. Isinya, mengajak mahasiswa mengirimkan karya untuk dihimpun dalam buku yang akan diterbitkan Teknokra.

Dari tiga usul tersebut, ternyata yang duluan disetujui malah penerbitan buku puisi. Teknokra pun membentuk kepanitiaan penerbitan dan peluncuran buku puisi itu yang diketuai Moh. Ridwan. Lahirlah antologi sajak Daun-daun Jatuh Tunas-tunas Tumbuh (SKM Teknokra, 1995) yang dieditori Panji Utama, Iswadi Pratama, dan Ahmad Julden Erwin. Sebelum terbit, ada workshop menulis puisi yang diisi oleh Isbedy Stiawan ZS dengan harapan setelah workshop, peserta yang ikut boleh memperbaiki sajak-sajak mereka. Buku puisi yang luks ini kemudian diluncurkan dengan mengundang redaktur budaya Harian Republika Ahmadun Yosi Herfanda sebagai pembahas.

Daun-daun Jatuh Tunas-tunas Tumbuh memuat puisi-puisi karya Ahmad Yulden Erwin, Anshori Djausal, Ari Pahala Hutabarat, Asep Setya Wahyu Teja Laksana, Buddy Elpiji, Darmalia, Didi Pramudya Mukhtar, Fajar Suparyanto, Hendriawan, Heri Kurniawan, Herman Abror, Istikomah, Iswadi Pratama, Kuswinarto, Maulana Suryaning Widy, Muhtar Ali, Neri Juliawan Mazaisir, Pangsa Adhi Iswanto, Panji Utama, Rifian A Chepy, Riyadi, RP Ivan S Bonang, Uki [Arter Basuki], Watyendra Kasbin, dan Z Karzi.

Itu tentang buku puisi. Dua buku usulan kami, mengalami nasib berbeda. Atas usulan Lembaga Studi Sosial Budaya (LSSB) yang kami (Basuki Rahmat, Sugiyanto, dan Udo Z Karzi), ketiganya alumni Teknokra), dirikan; buku Etos Kita: Moralitas Kaum Intelektual akhirnya diterbitkan SKM Teknokra bekerja sama dengan Gama Media, Yogyakarta pada 2002; delapan tahun kemudian setelah digagas.Satu lagi, Jurnalistik Kampus masih setia menjadi manuskrip yang saya simpan di Lepau Buku UZK.

Tahun 1995 agaknya menjadi tahun puisi bagi Lampung. Pada tahun ini, terbit juga buku Jung, Segabung Puisi Penyair Lampung yang dieditori Isbedy Stiawan ZS dan Iwan Nurdaya-Djafar, diterbitkan Dewan Kesenian Lampung (DKL). Buku puisi ini memuat sajak 22 penyair: .Achmad Rich, Ahmad Julden Erwin, Anshori Djausal, Budi Elpiji, Christian Heru Cahyo Saputro, Dadang Ruhiyat, Djuhardi Basri, Eva Lismiarni, Isbedy Stiawan ZS, Iswadi Pratama, Iwan Nurdaya Djafar, Iwan Sablenk, Ivvan Sumantri Bonang, Muadin Efuari, Naim Emel Prahana, Panji Utama, Syaiful Irba Tanpaka, Sugandhi Putra, Sutarman Sutar, Samudra Kertagama, Thamrin Effendi, Ucok Hutasuhut, Zubaidi Mastal.

Panji Utama pun menerbitkan kumpulan sajak Pasar Kabut: Menggali Kubur Sendiri, Membangun Lorong-Lorong (Ombak, Bandar Lampung, 1995).

Gongnya, Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka di Taman Budaya Jawa Tengah, Semarang, 14-20 Agustus 1995 mengundang penyair dari berbagai pelosok tanah air. Dari Lampung, ada Christian Heru Cahyo Saputro, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Djuhardi Basri, Ahmad Julden Erwin, Iswadi Pratama, Dadang Ruhiyat, dan Gunawan Pharrikesit. Karya-karya mereka diabadikan dalam buku Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (Taman Budaya Jawa Tengah, Semarang, 1995).

Dewan Kesenian Jakarta (DKL) menyelenggarakan Mimbar Penyair Abad 21 (1996). Dari Lampung tercatat Panji Utama, Iswadi Pratama, dan Ahmad Yulden Erwin. Tersebut juga Oyos Saroso HN dan Budi Hutasuhut. Pada 1996 pula Isbedy Stiawan ZS kembali menyumbangkan buku bagi khazanah perpuisian Lampung. Judulnya, Kembali Ziarah (Aura Press, Jakarta). Disusul Panji Utama dengan buku puisi Kibaran Bendera: Hikayat Sang Debu (Ombak, Bandar Lampung).

***

Begitu saja. Pada 1996 saya ‘wis udah’ dari Unila. Saya mulai bergelut dengan kehidupan nyata. 1997 mulai krisis ekonomi melanda negeri sampai dengan lengser keprabonnya Presiden Soeharto, Mei 1998. Sempat menghindar untuk tidak menjadi wartawan dengan menjadi guru atau apa pun pekerjaan lain yang mungkin bisa saya jalani, ee… begitu Reformasi tergoda lagi kepengen jadi jurnalis. Sampai sekarang!

Eit, oret-oretan saya ini jangan dianggap sebagai tulisan sejarah. Sebab, ia tak lebih dari catatan alakadarnya yang tentu saja sangat subjektif dari seorang penyuka sastra dan buku. Tak lebih. Jelas banyak bolong-bolongnya. Kalau ada yang ingin melengkapi, saya sangat senang. Maaf kalau ada yang kurang berkenan. Terima kasih.

Tabik. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top